Kamis, 12 Juli 2007

perkawinan campur



Masalah perkawinan campur selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Apalagi dalam masyarakat Indonesia yang plural, baik dari sisi agama, ras, suku dan kelas. Interaksi lintas golongan terbuka lebar yang dapat berlanjut pada hubungan perkawinan.

Dalam beberapa tahun terakhir ini memang terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah perkawinan campur di Indonesia. Tetapi perjuangan pasangan berbeda agama untuk menikah adalah perjuangan panjang, karena setelah UU Perkawinan No.1 tahun 1974 berlaku, maka hukum Perkawinan Indonesia tidak mengenal adanya perkawinan antar agama.

Kisah percintaan antara Andi Vonny yang memeluk agama Islam, dengan Andrianus yang beragama Kristen bisa menjadi contoh menarik. Kantor Urusan Agama (KUA) menolak permohonan pernikahan mereka dengan alasan calon suami pemohon adalah pemeluk agama Kristen, sedangkan kantor Catatan Sipil menolak mencatatkan perkawinan mereka dengan alasan calon istri memeluk agama Islam.

Karena ditolak maka Andi Vonny dan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri supaya penolakan permohonan dari KUA dan Kantor Catatan Sipil itu dinyatakan tidak beralasan. Tetapi Pengadilan Negeri menolak permohonan mereka dengan alasan penolakan yang dilakukan oleh KUA dan Kantor Catatan Sipil adalah beralasan sesuai dengan UU No.1 tahun 1974. Andy Vonny dan calon suami tidak menyerah, ia membawa kasus ini sampai Mahkamah Agung yang akhirnya mengabulkan permohonan kasasi mereka.


Andi Vonny dan Andrianus termasuk beruntung dibandingkan pasangan lain. Bagi pasangan yang tetap ingin mempertahankan agamanya masing-masing, biasanya mereka melakukan perkawinan di luar negeri. Meski begitu, lebih banyak lagi pasangan berbeda agama yang "terpaksa mengikuti" keyakinan agama pasangannya supaya pernikahan mereka bisa disahkan secara hukum, atau banyak pula hubungan yang harus kandas di tengah jalan karena banyaknya hambatan yang muncul baik dari keluarga maupun negara.

Tema yang menarik tersebut diangkat dalam sebuah seminar bertajuk "Perkawinan Campuran Dengan Permasalahan Hukumnya", yang diselenggarakan oleh kantor Suria Nataadmajdja & Associates, Rabu (31/5) di Jakarta.

Selain perkawinan berbeda agama, dibahas pula perkawinan berbeda kewarganegaraan. Fenomena yang sekarang muncul adalah banyak pasangan yang melakukan nikah siri agar si anak kelak tidak harus mengikuti kewarganegaraan ayah yang warga negara asing. Hal ini karena menurut pasal 62 UU No.1 tahun 1974, kewarganegaraan anak yang belum dewasa dari suatu perkawinan campuran mengikuti kewarganegaraan ayahnya.

Padahal perkawinan semacam itu jelas sangat merugikan perempuan. Karena jika suatu saat perkawinan berakhir (baik karena perceraian atau kematian), pihak istri akan sulit memperjuangkan hal-hal yang seharusnya menjadi haknya, misalnya dalam hal pemeliharaan anak atau masalah kewarisan. Revisi UU
Seminar tersebut mencoba mengupas lebih dalam aspek hukum dari terjadinya perkawinan campur. Ternyata terdapat dua pandangan berbeda dari ahli hukum tentang UU No.1 tahun 1974, pandangan yang pertama mengartikan perkawinan beda agama tidak diberlakukan dalam Undang-undang ini, sedangkan pandangan lain mengartikannya sebagai pelarangan perkawinan beda agama.

Priharum J.Sudarsono, seorang pemerhati masalah hak-hak perempuan, mengungkapkan sudah saatnya UU Perkawinan yang saat ini berlaku direvisi. "Bulan Juli mendatang, baru masalah RUU tentang kewarganegaraan yang akan dibahas di komisi 8 DPR-RI, kelak tentang UU Perkawinan," katanya.

Upaya untuk mendapatkan kesetaraan gender memang masih panjang, tapi dengan mengetahui apa yang menjadi hak perempuan dalam perkawinan sudah sebuah langkah berarti. (An)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri Komentar sehat dan membangun