Kamis, 11 April 2013

7 Alasan Tiba-Tiba Mantan Mengajak Menikah

"Would you marry me?" tanyanya tiba-tiba si mantan muncul dengan sebuah pertanyaan besar setelah ia menghilang beberapa saat lalu. Kalau diingat-ingat lagi, setahun lalu ia memilih putus saat Anda menanyakan soal komitmen hubungan Anda dan dia. Tetapi kok tiba-tiba dia mengajak menikah?


Ya, sebenarnya sih Anda masih mencintai dia, tetapi kali ini Anda jadi lebih banyak curiganya. Ada apa ya dia mendadak mengajak menikah?

Keburu curiga juga tak ada gunanya, lebih baik intip 7 alasan pria masa lalu yang mengajak Anda menikah berikut ini.

Beranjak dewasa
Ia menyadari bahwa hanya Anda yang memang ada di hati dan pikirannya. Iapun mulai berpikir dewasa dan berpikir panjang ke depan. Ia jenuh dengan tingkah dan ulahnya sendiri yang kekanak-kanakan kemarin.

Dan, ingin memperbaiki kesalahannya, ia mengajak Anda menikah, menjalani hubungan yang lebih serius dalam lingkup rumah tangga. Di saat ini, ia merasa lebih jantan dan lebih dewasa.

Teman-temannya banyak yang menikah
Menengok kiri dan kanan, semua temannya sudah pada menikah. Sedangkan ia tak mungkin bertahan terus menerus dengan pernyataan 'masih ingin bebas'. Ia sudah kehilangan teman-teman seperjuangan yang dulu juga berkoar-koar ingin bebas.

Merasa tua
Di usianya yang sudah kepala tiga, ia mendadak jadi merasa tua. Merasa tak pantas lagi mengencani wanita usia 20an tanpa ikatan jelas. Ia juga enggan hanya dimanfaatkan saja oleh wanita-wanita muda untuk kemudian ditinggalkan setelah kebutuhannya tercukupi.

Bosan main-main
Gonta ganti pacar, ia tak menemukan sosok yang dicari dalam diri wanita lain. Justru ia sadar bahwa semua hal sudah ditemukan di dalam diri Anda. Dan kini, ia ingin menjalani kehidupan normal dan bahagia bersama Anda.

Diputus kekasih barunya
Karena ditinggalkan kekasih barunya, ia merasa kesepian dan trauma. Ia merasa bahwa cinta yang diberikan Anda adalah cinta yang terbaik, sehingga ia ingin meraihnya kembali.

Kedengarannya memang cukup egois, apalagi jika ia kembali hanya karena ia patah hati. Tetapi, semua terserah Anda sih mau menerimanya lagi atau tidak.

Jatuh cinta sekali lagi
Sejak putus dengannya, Anda jadi bertekad untuk memperbaiki diri dan mengubah penampilan. Setahun berlalu, tentu saja sudah banyak kemajuan besar di dalam diri Anda. Nah, setelah bertemu lagi dengan Anda, ia jadi jatuh cinta kembali. Iapun mendambakan Anda menjadi pendamping hidupnya.

Ia cemburu
Mendengar Anda sudah punya gandengan lagi, ia jadi cemburu. Tak terima punya saingan, iapun mengajak Anda menikah. Ia ingin merebut Anda dari orang lain. Dan biasanya ini terjadi saat Anda masih berhubungan baik dan masih dekat dengan si mantan.

Ia sadar bahwa ternyata Anda punya banyak kelebihan serta ia nyaman dengan diri Anda. Dan semoga saja kesadarannya tidak terlambat dan keburu Anda jadi milik orang lain.

Tuh, sudah tahu kan apa saja alasan si dia ingin mengajak menikah. Well, semuanya kembali pada Anda. Apakah jawabannya akan "Yes, I do" atau "No, thank you" (vem/bee)



“Saya Terpaksa Menikah Dengan Orang Yang Tidak Saya Cintai”

Memang masih banyak cerita seperti itu di zaman yang dibilang modern ini. Seperti kisah seorang wanita berikut ini. Walau begitu ia tetap berjuang meraih cinta sejati yang tak pernah mengenal kata terlambat.

Pernahkan Anda berada dalam suatu momen krusial, di mana kebahagiaan Anda ke depan sudah ditentukan, tapi Anda justru...diam seribu bahasa? Yang ada Anda hanya mengangguk-angguk bak robot, berbicara ala kadarnya seperti anak kecil yang minim penguasaan kosa kata, tersenyum tanpa ketulusan, mengikuti segala lontaran suara yang kurang lebih bernada sama: “Kamu menikah saja ya sama si Mr.Nice, dia kan,well, baik, pintar, dan pekerjaannya bagus.” Yes, sangat layak dijadikan suami. Tapi, masalahnya...Anda tidak cinta dia. “I’m already in love with another man!” jerit hati Anda.

Walau begitu, saya tetap menikah dengan Mr.Nice. biaya pernikahan sebesar Rp 700 juta tetap digelontorkan, gaun pernikahan tetap dirancang, kartu undangan tetap disebar, dan janji menikah tetap diucap. Selama semua itu berlangsung, saya tetap merasa numb, tak kuasa berkata apa-apa, tak mampu mengucapkan apa yang sebenarnya diinginkan oleh hati, yaitu, kalau saya lebih ingin bersama si dia, lebih ingin menikah dengan dia, the other guy.
Meskipun pada kenyataannya, he’s actually the first guy. Saya sudah lama berhubungan dengan, panggil saja, Mr First, sejak masa SMU. Saya kenal dia dari lingkaran pertemanan, dan, saat pertama bertemu, hmm, inginnya sih ada anekdot romantis untuk diceritakann (“Wajahnya membuat lutut saya lemas!” atau “Senyumannya membuat saya gugup!”), tapi sayangnya, tiada kesan pertama – it was definitely not love at first sight. Saya baru mengenalnya lebih dekat setelah dia melakukan pendekatan. Dan setelah beberapa minggu menjalani kencan dan segala manuver yang menyertainya, akhirnya kami pun jadian. Begitulah awal relationship saya dengan Mr.First. Very ordinary.

Walau begitu hubungan kami cukup solid, tak terpisahkan sampai kami masuk ke jenjang kuliah. Orangtua saya pun awalnya sangat menyukai Mr.First, yang kehadirannya sudah tak asing lagi di tengah keluarga besar. Dari luar, memang hubungan kami terlihat sempurna, very much in love, dan memiliki cirlce of friends yang mengenal dekat satu sama lain. Dalam suatu relationship, jelas hal itu merupakan bonus. Namun, di balik itu, sebenarnya ada ganjalan yang cukup besar: my boyfriend is a drug addict.

Tapi, saya juga tidak ingin bohong, I’m no angel, karena saya pun pernah mencobanya, tapi itu lebih karena ingin having fun dan (hampir) semua teman-teman ikut melakukannya. Namun saya tak pernah membiarkan diri saya sampai masuk ke dalam tahap kecanduan, dan yang saya sesali, Mr.First terlanjur masuk ke dalam tahap itu. Oleh karena itu, ada masa-masa ketika saya terus menempel dengan si dia karena saya ingin memantau apa yang dia lakukan. Oke, mungkin ini terdengar terlalu mulia (dan suatu hal yang sepertinya hampir semua wanita ingin lakukan kepada pasangan mereka), tapi saya tetap bertahan di relationship karena saya ingin mengubahnya. I was trying to “fix” him.

Saya sampai rela bolos kuliah hanya untuk mengikutinya ke mana pun. Bagi beberapa pria, mungkin saya tipe wanita yang wajib dihindari, tapi saya tak peduli, I love him too much that I don’t want to see him ruin his life.

Tak bisa dipungkiri, perjalanan menuju ke situ begitu terjal dan rumit. Pertengkaran kerap terjadi, dan salah satu yang terbesar adalah saat kami bertengkar di rumah saya, yang konsekuensinya semua orang bisa mendengar dan mengetahui akar permasalahan, termasuk orangtua saya! Sejak itulah – setelah hampir 10 tahun pacaran – orangtua saya mulai tidak menaruh hati pada Mr.First. Kepercayaan mereka terhadapnya langsung pudah dan ekspektasi sebagai calon menantu pun buyar. Yang akhirnya memaksa hubungan saya bersama Mr.First dijalani secara diam-diam. Lalu masuklah Mr.Nice ke dalam hidup saya...lagi. Nice, But Not Enough for Love.

Mengapa saya bilang “lagi”? karena sebenarnya saya sudah mengenalnya sejak SMP, karena dia tetangga saya, dan karena sebenarnya dulu saya cukup dekat, yah, “cinta monyet” lah kalau boleh dibilang. Namun kemudian Mr.First muncul dan saya versi “agak dewasa” lebih memilih bersama dia. Sampai akhirnya, orangtua saya mempertemukan kami kembali, dan tak lama statusnya dipromosikan menjadi calon suami yang ideal. He’s such a sweet guy, baik dan mapan – segala kualitas yang semestinya bisa menjerat perhatian saya. Tapi tetap, hati saya tertambat di tempat lain.

Dan sayangnya, hati saya seolah tak kuasa “berbicara” saat berada di depan orangtua saya, saat tak hanya mulut tapi segala gerak-gerik dan ekspresi menegaskan approval mereka pada sosok Mr.Nice, saat mulut mereka mengucapkan kata-kata yang sebenarnya direspon oleh hati saya yang memberontak (tapi tetap tak bersuara dan bertindak): “Kamu menikah saja sama dia ya.”

Saya hanya bisa mengangguk mengiyakan. Pasrah. Sementara hubungan dengan Mr.Nice terus berjalan, romansa saya dengan Mr.First juga terus berlanjut. Saat yang bersamaan ia perlahan mulai menunjukkan kemauannya menjauh dari dunia obat-obatan, yang membuat saya melihat secercah harapan dalam relationship ini. I know, semua ini terlihat begitu complicated, bahwa hidup saya mesti berjalan di atas kebohongan, dan yang sebenarnya bisa dengan mudah dituntaskan dengan kejujuran. Tapi apabila Anda pernah berhadapan dengan seorang ayah yang begitu baik, dan seorang ibu yang tengah bergumul dengan penyakit diabetes yang kian melemahkan kondisinya, yang kemudian merusak ginjalnya, then you’ll know the feeling. Anda pasti tidak ingin mengecewakan mereka.

Lantas saya pun menikah dengan Mr.Nice, dalam pernikahan besar-besaran yang selama berjalan yang bisa saya pikirkan hanyalah Mr.First. Tapi apa yang bisa saya lakukan sekarang? It’s too late – sekarang saya sudah jadi istri orang, dan, mau tidak mau, saya mesti menjalankan kewajiban saya sebagai seorang istri di malam pernikahan. I felt nothing. Dan sebagai istri seseorang, saya tetap bertemu dengan Mr.First (di minggu pertama setelah saya menikah!), and we had sex. Kok bisa saya melakukannya? Saya tidak tahu; saya tidak memikirkan tentang hal lainnya. Saya tak pernah mencoba untuk menimbang-nimbang konsekuensinya. Sampai beberapa minggu kemudian..ketika hasil tes menunjukkan saya hamil.

Keputusan yang Pasti

Jujur, awalnya saya tak tahu anak yang saya kandung ini anak siapa, tapi lambat laun, entah kenapa, saya sangat yakin kalau anak ini adalah buah cinta saya dan Mr.First.

Dan mulai saat itulah, hati saya perlahan-lahan menunjukkan keberanian untuk mengungkapkan segalanya, untuk mengutarakan keinginan yang selama ini tertimbun oleh suara-suara yang bukan milik saya, bahwa my first and only choice is Mr.First. Dan, setelah masa menikah hanya sekitar dua minggu, saya menyampaikannya ke sang suami, yang hanya bisa terdiam, terlebih saat saya mengatakan saya ingin cerai. Ia tetap terdiam (dengan ekspresi nelangsa) di tengah ucapan permintaan maaf saya yang bertubi-tubi dan air mata yang tak henti mengalir. Ia tahu saya hamil, tapi saya tanpa segan mengatakan, “Saya yakin kalau ini adalah bayi saya dan dia”. Lalu ia bertanya dengan suara datar apakah saya benar-benar yakin akan keputusan saya, dan saya pun mengangguk pasti.

Lalu ia berkata, kalau saya mau cerai, maka saya harus mengurusnya sendiri. Dan itulah akhir dari percakapan kami, setelahnya ia kembali ke rumah orangtuanya. Dan keberanian itu tetap bertahan saat berhadapan dengan orangtua saya. Tentu, awalnya saya menerima resistensi, namun orangtua mana sih yang menginginkan anaknya untuk cerai? Tapi tekad saya sudah bulat, dan giliran mereka yang hanya bisa mengangguk mengiyakan. Pasrah. Ini kehidupan saya, dan masalah siapa yang paling tahu saya bahagia atau tidak, ya tentu adalah saya sendiri.

Lalu, setahun kemudian, akhirnya saya resmi cerai dari Mr.Nice dan tak lama, saya pun melahirkan anak saya yang pertama. It’s a boy, yang saya yakin memiliki mata sang ayah, yaitu Mr.First. Dan saat itu ia pun berada di samping saya, kami berdua tak percaya kalau hal ini benar-benar terjadi. Kalau kita sekarang telah menjadi orangtua. Walau begitu, keluarga Mr.Nice tak begitu saja menerima situasi – mereka bersikeras untuk mengetahui siapa ayahnya yang sebenarnya. Lalu kami pun memeriksa tipe darah Diego, nama yang kami berikan kepada sang anak, yang ternyata adalah AB. Darah kami?

Mr.Nice O, Saya A, dan Mr.First...B. And so, it’s official, he is our son. Sepertinya untuk pertama kalinya semenjak sekian lama, saya bisa mengehela naps lega. Akhirnya semua berjalan sesuai dengan apa yang saya inginkan. Ada satu momen yang membuat saya terharu: Ketika suatu saat saya, Diego, dan orangtua baru saja pulang, dan Mr.First telah menanti di rumah. Ayah saya waktu itu belum bisa menerima kehadirannya – ia bahkan sampai tidak turun dari mobil – tapi tahu apa yang dikatakan oleh Ibu saya ke cucunya?

“Tuh ‘Diego, Papa kamu ‘nunggu.” Dan, tak lama setelah itu, Ibu saya meninggal dunia. Tak terasa, setahun telah lewat, dan saya pun berada di sebuah pernikahan yang lain. And, yes, I am once again the bride, and now it’s my real, dream wedding (meskipun saya sedih karena tanpa ditemani sosok Ibu). Simpel dan tulus, di hadapan seorang pria yang benar-benar saya cintai. Hmm, kalau ditanya, apa sih yang membuat saya jatuh cinta kepadanya? Maka saya akan bingung. Dibilang ganteng, nggak juga; kaya? Nggak.

Tapi kalau memang sudah berurusan dengan masalah hati, kepada siapa “ia” berpaling dan merasa nyaman, memang faktor eksternal seperti fisik atau harta duniawi, menjadi tak bernilai. Am I right, ladies?
Source : Cosmopolitan Edisi Februari 2013 Halaman 197

Cinta Tidak Harus Memiliki

Namaku Ratri, usiaku sekarang 24 tahun. Kisah cinta ini mungkin tragis, mungkin kalian menganggapku bodoh, tetapi aku ingin membaginya dengan kalian.


***

Aku jatuh cinta pertama kali saat duduk di bangku SMA, kelas 1. Pemuda itu.. sebut saja Yuda. Dia bukan tipe pemuda yang disukai banyak siswi, aku juga tidak tahu kenapa bisa menyukainya. Mungkin senyumnya yang hanya berbentuk lengkung kecil, mungkin suara tawanya saat berhasil mencetak gol ketika pelajaran olahraga, mungkin sikap diamnya, entahlah..

Waktu itu aku terlalu malu untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Aku hanya bisa diam-diam memperhatikan. Aku suka dengan wajah seriusnya saat mengerjakan tugas kimia atau matematika. Wajah dan senyum yang berhasil meluluhkan hatiku, membuatku selalu memikirkannya, tersenyum sendiri, membayangkan jika dia menggandeng tanganku dan hal-hal alami yang akan dirasakan saat seorang gadis sedang jatuh cinta.

Semua terasa indah..

Walaupun hanya dalam anganku saja.

Bodohnya, aku tidak berani memberi sinyal rasa sukaku. Kami hanya seperti teman biasa yang saling bercanda dan semua tampak biasa. Padahal, sejujurnya aku ingin dia tahu perasaanku, dan berharap dia merasakan hal yang sama.

Ah cinta.. mengapa begitu rumit?

Saat kelas 2 SMA, Yuda berpacaran dengan seorang siswi yang satu kelas denganku. Jangan tanya betapa remuk hatiku menerima kenyataan tersebut. Bunga cintaku harus layu sebelum berkembang. Tidak ada yang tahu perasaanku, bahkan ibu dan sahabat-sahabatku, semua aku pendam seorang diri. Aku berusaha menutup rapat perasaanku, menguburnya jauh-jauh. Tetapi tidak bisa, aku tetap menyukai Yuda, mencintainya sepanjang waktu.

Tahun demi tahun berlalu. Aku sudah menyelesaikan kuliahku dan berpacaran dengan seorang pria baik. Anehnya, aku masih saja memikirkan Yuda. Seperti ada ganjalan aneh yang belum sempat aku sampaikan padanya.

Kondisiku serba salah, hatiku masih mencintainya, aku ingin Yuda tahu bahwa aku menyukainya, itu saja. Aku ikhlas jika cintaku bertepuk sebelah tangan. Aku hanya ingin melegakan hatiku, agar aku merelakannya. Tetapi aku tidak bisa melakukannya, aku sudah punya kekasih, dan Yuda.. tiga bulan lagi (saat aku menulis kisah ini), dia akan menikah.

Aku mencintainya..

aku ingin dia bahagia,

walaupun bukan denganku.

Hingga saat ini, dia tidak tahu bahwa aku menyimpan sepenggal hati untuknya. Biarlah.. mungkin kalian menganggap kisah ini bodoh, tetapi aku tidak punya kuasa untuk memilih dengan siapa aku akan jatuh cinta.

Mungkin apa yang sering dikatakan orang-orang benar adanya..

Cinta tidak harus memiliki.

(vem/yel)

Keajaiban Cinta Hanyalah Ilusi

Kisah ini bukanlah kisah cinta yang indah, tetapi tidak ada salahnya menjadi bahan bacaan atau renungan bahwa cinta tidak selamanya membawa bahagia.

Namaku Ernis, saat ini usiaku 23 tahun. Lima tahun yang lalu, aku berkenalan dengan seorang pria, sebut saja namanya Galih. Usia kami terpaut setahun, kami pertama kali berkenalan pada saat ospek di kampus. Dia adalah seniorku, dan kami berada pada jurusan yang sama.
Sejak hari pertama ospek, dia sering berbuat ulah padaku. Kadang dia sering membuatku kesal dengan menyuruhku membawa barang ini itu saat ospek. Membawa onde-onde tanpa wijen, membawa donat selai durian, dan barang lain yang tidak wajar. Aku akan dihukum jika keesokan hari tidak membawanya. Jujur, aku kesal padanya, dia satu-satunya senior yang merepotkanku, sementara senior yang lain bersikap biasa saja.

Pada hari terakhir ospek, Galih menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Aku agak heran karena selama seminggu, tidak ada satupun kelakuannya yang manis di mataku. Tawaran itu sempat kutolak, tetapi dia meyakinkan bahwa aku akan sampai ke rumah dengan selamat dan tidak kekurangan apapun. Sebuah gombalan yang akhirnya membuatku merasa aman diantar olehnya.

Galih menepati janjinya untuk mengantarku dengan selamat. Sebelum dia berpamitan, dia meminta maaf atas sikap menyebalkannya padaku selama ospek. Dia mengatakan bahwa semua itu dilakukan untuk memancing perhatianku saja, bahwa sebenarnya dia menyukaiku sejak hari pertama ospek. Satu kalimat yang langsung membuat jantungku berdebar tidak karuan. Singkat cerita, sebulan setelah kejadian itu, kami berpacaran.

Aku menikmati masa kuliah dengan menyenangkan. Bersama Galih, aku menikmati manisnya jatuh cinta. Kami sudah seperti teman, keluargaku juga merestui hubungan kami. Kadang aku berbincang dengan ibu Galih yang tinggal di luar kota. Intinya, dari pihak keluarga, tidak ada rintangan sama sekali. Jika diibaratkan, hidupku seperti gula-gula, sangat manis dan menyenangkan. Saat jatuh cinta, semua hal terasa ajaib.
Hingga aku sadar bahwa keajaiban itu kadang hanya ilusi..
Tepat seminggu sebelum ulang tahunku, Galih menghilang begitu saja. Aku berpikir, mungkin dia akan memberi kejutan. Tetapi sudah dua minggu berlalu, dan dia tidak pernah muncul. Saat kutelepon keluarganya, mereka juga mengatakan bahwa tidak ada kabar darinya. Demikian juga dengan teman-teman Galih. Sudah tentu aku mencemaskannya. Hingga suatu siang, aku mendapat telepon dari Galih bahwa dia ingin hubungan kami berakhir.

Aku merasa tidak ada yang salah dalam hubungan kami, selama ini semua baik-baik saja. AKhirnya aku tahu bahwa Galih menyukai wanita lain. Wanita yang lebih tua lima tahun darinya, wanita yang sudah mapan dan lebih kaya dariku. Wanita yang tidak keberatan membelikan mobil terbaru untuknya tanpa pikir panjang. Ternyata hanya begitu saja, hanya dengan alasan itu saja Galih meninggalkanku. Ternyata dia tidak sebaik apa yang aku pikirkan, dia tidak semanis senyum yang setiap pagi aku lihat. Bodoh sekali aku tidak menyadarinya sejak awal, aku bahkan sempat berpikir betapa bodoh dia meninggalkanku.
Sudahlah, lebih baik aku tahu sejak awal.

Aku bersyukur Tuhan membuka mataku sebelum hubungan kami lebih serius.
Jika ada yang bertanya apakah aku dendam pada Galih? Aku kecewa, tetapi tidak sampai menyimpan dendam untuknya. Daripada aku menyimpan dendam, lebih baik aku memikirkan masa depanku. Lebih baik aku mempersiapkan hati dan pikiranku untuk pria lain yang lebih pantas bersanding denganku.
Semoga kisah ini menjadi pelajaran untukku dan teman-teman pembaca.
(vem/yel)

Aku Cinta Kamu Dan Dia


Tak pernah terbayang sebelumnya di benakku, bisa mencintai dua orang sekaligus. Aku tahu ini salah, tetapi yang aku tak tahu adalah bagaimana bisa memilih dia tanpa menyakiti hatimu.
"Bang, besok kita jadi ke pantai?" tanyaku sambil tetap asyik dengan ponsel di genggamanku. "Nggak jadi ah kamu sibuk sendiri gitu!" candanya sambil mengacak-acak rambutku. Dipa adalah sosok pria yang belum lama ini dekat denganku. Sebenarnya kami sudah saling kenal cukup lama, tetapi tak ada yang menyadari mulai kapan perasaan kagum dan sayang itu muncul. Aku sendiri memanggilnya abang karena ia memang sangat perhatian padaku. Usia kami berbeda 5 tahun, dan ia tahu benar bagaimana cara memanjakan aku.
Namaku Amel, aku punya kekasih. Ya! Aku punya kekasih yang aku sayangi. Tetapi aku tak dapat menolak kedekatanku dengan Dipa ini. Diam-diam tiga bulan ini kami jalan, ke sana kemari berdua. Saling menghujani satu sama lain dengan perhatian. Menjaga dan bercanda, kami seperti sepasang kekasih yang saling mengagumi satu sama lain. Tak pernah kehabisan bahan cerita dan seperti bisa saling menutupi kekurangan masing-masing.
Kekasihku. Hmm... sebenarnya aku mencintainya. Kami toh sudah jalan lebih dari 3 tahun lamanya. Tetapi entah kenapa kami seperti orang asing yang tak punya chemistry satu sama lain. Bercanda saja kami jarang. Tetapi ajaibnya kami bisa bertahan dalam hubungan untuk sekian lama. "Lalu mengapa harus dipertahankan?" pertanyaan tersebut selalu menggangguku setiap saat. Sayangnya hingga kini, aku tak juga tahu jawabannya.
***
"Kamu tahu, setiap ada di dekatmu aku selalu ingin memelukmu. Serasa tak ingin melepaskanmu..." kata Dipa saat kami menikmati matahari tenggelam di pantai sore itu. Aku terdiam. Aku tak dapat berkata apa-apa dan menikmati pelukannya. Namun, ada sedikit rasa tak nyaman juga di dalam hatiku. Aku teringat pada kekasihku, yang entah hari ini sedang ngapain hehe. Tetapi setidaknya memang aku merasa bersalah padanya, dan kian hari rasa bersalah itu semakin besar.
"Bang, sampai kapan memangnya kita harus begini terus?" tanyaku?
"Maksudmu itu apa? Ya sampai selamanyalah..." kata Dipa.
"Bukan begitu. Tapi... aku butuh kepastian, bang. Kita nggak bisa seperti ini terus. Kita butuh kejelasan hubungan," kataku lagi melepaskan pelukannya dan kemudian menatap dalam-dalam matanya.
"Hmm... aku tahu maksudmu. Tetapi, aku sendiri tak tahu harus bagaimana saat ini. Lebih baik kita jalani saja dulu ya..." Dipa meraih tanganku, memainkan rambutku dengan lembut. Aku tetap membisu. Tak tahu harus berkata apa padanya.
***
"Nak Amel, tante itu senang lho Ricky bisa jalan dengan nak Amel sekian lama. Maksud hati sih kalian lekas meresmikan hubungan saja," kata tante Lia saat mengajakku ngopi sore itu. Aku nyaris tersedak. Tak pernah terpikir sebelumnya di benakku tante Lia akan ngobrol tentang hal itu. Oya, tante Lia adalah ibu Ricky, kekasihku. Sebenarnya ia juga adalah teman ibuku, jadi ceritanya dulu memang kami sengaja dikenalkan.
Ricky sendiri hanya senyum-senyum duduk di sampingku, tak berkomentar apa-apa. Dan aku tak bisa menebak apa yang ada di dalam pikirannya.
"Iya, beneran nih. Tante sudah bicara sama mama dan papamu. Mereka setuju kok kalau kalian segera menikah tahun ini. Kami sudah tak sabar ingin menimang cucu..." ungkap tante Lia sambil tertawa senang hatinya. Aku menanggapinya dengan senyum yang aku tak tahu itu apa. Aku hanya tak tahu harus berkata apa.
***
"Bang, aku mau dinikahin nih," kataku pada Dipa. Ia terdiam. "Maksudmu dengan dinikahin itu apa?" ia bertanya balik. "Ya orangtuaku dan tante Lia setuju kalau aku dan Ricky segera menikah. Mereka malah sudah merencanakan hal itu. tahun ini."
"Lalu, kamu bilang apa?" wajah Dipa mulai serius. Ia meninggalkan kesibukannya dan tampak mulai khawatir. "Ya aku nggak bilang apa-apa sih. Tapi..."
"Tapi apa? Kamu bilang nggak mau kan?" ia semakin gusar.
"Aku rasa aku nggak bisa menolaknya, bang." aku memalingkan wajah darinya. Aku takut melihat kekecewaan di wajahnya.
"Aku... aku balik dulu Mel. Aku ada perlu." Aku sudah menyangka ini akan terjadi. Dipa kecewa dan terluka. Aku harus bagaimana? Berpikir selama beberapa detik, kemudian aku mengejarnya.
"Bang... tunggu!" kataku. "Gimana kalau kita kawin lari?" aku tak pernah menyangka bahwa kalimat ini akan keluar dari mulutku. Namun nyatanya keluar juga. Dipa terdiam dan tak berpaling padaku. Kuhentikan langkahku dan menunggu ia berbalik dan memelukku. Ia tak pernah berbalik. Ia meneruskan langkahnya dan memacu motornya dengan kecepatan tinggi.
***
"Kamu cantik lho Nak Amel dengan busana pengantin ini," kata tante Lia padaku. Mama mengangguk setuju. Akupun tersipu di depan mereka.
Hari ini adalah hari pernikahanku dengan Ricky. Hari yang diharap-harapkan oleh banyak orang untuk melihatku bahagia. Kalau dipikir-pikir, aku sebenarnya beruntung. Bisa menikah dengan orang yang aku cinta, direstui dan didukung oleh keluarga. Tetapi seperti ada yang hilang di dalam hatiku.
Dipa. Entah ke mana ia pergi setelah hari itu. Aku tak pernah melihat dan mendengar kabarnya lagi. Ia seperti lenyap ditelan bumi. Aku sendiri tak berniat mencarinya, karena kupikir ia akan berbalik dan memelukku.
Aku juga tak pernah terbayang bagaimana bila ternyata hari itu ia mengiyakan ajakanku. Mungkin saat ini aku tak melihat tante Lia, tak melihat senyum di wajah mama dan papa.
Haha. Bodohnya aku. Mengapa sampai terucap kalimat itu. Bukannya aku seharusnya tahu bahwa hubungan kami itu nggak mungkin terwujud.
"Amel, semua sudah menunggu di bawah," kata mama memintaku untuk segera turun dan bersiap untuk ijab kabul. "Iya, ma... sebentar lagi," kataku.
Kupandang lagi cermin di kamarku, kemudian beralih mencari udara segar di jendela kamar. "Baiklah, ini mungkin sudah menjadi jalanku. Aku tak bisa mundur lagi. Maafkan aku, Bang Dipa. Aku tak bisa menunggu sesuatu yang tak pasti darimu. Aku mencintaimu, namun aku juga mencintai dia," kataku dalam hati kemudian beranjak dari kamarku. (vem/bee)

Akhirnya cinta harus memilih
satu yang pasti
Mana mungkin
terus jalani, cinta begini...

Selasa, 02 April 2013

Seseorang yang mencintai kamu

Seseorang yang mencintai kamu,
tidak bisa memberikan alasan mengapa ia mencintaimu
Dia hanya tau, di mata dia, kamulah satu satunya.

Seseorang yang mencintai kamu,
sebenarnya selalu membuatmu
marah / gila / jengkel / stress
Tapi ia tidak pernah tau hal bodoh apa yang sudah ia lakukan,
Karma semua yang ia lakukan adalah untuk kebaikanmu.

Seseorang yang mencintai kamu,
jarang memujimu, tetapi di dalam hatinya kamu adalah
yang terbaik, hanya ia yang tau.

Seseorang yang mencintai kamu,
akan marah – marah atau mengeluh jika kamu
tidak membalas pesannya atau telponnya,
karna ia peduli dan ia tidak ingin sesuatu terjadi ke kamu.