Senin, 03 Agustus 2009

"Are You Playing Games?"

"Are You Playing Games?"

Adakah yang pernah mengalami salah satu hal berikut ini saat
bertengkar: Ingin mengatakan kepada pasangan bahwa kita telah
memaafkannya, namun yang keluar malah kata-kata menyakitkan. Kita
ingin pasangan memahami apa yang membuat kita kesal, namun kita malah
semakin kesal karena pasangan tidak berespons seperti yang kita
inginkan. Kita ingin pasangan meminta maaf terlebih dahulu, namun
yang muncul malah rasa sakit hati karena ternyata pasangan bisa
bertahan untuk tidak memulai berbaikan. Atau, ketika sama-sama sedang
marah, yang terucap adalah daftar kekesalan yang bertumpuk sehingga
mengejutkan pasangan yang tidak menduga bahwa selama ini pasangannya
menyimpan kekecewaan demikian besar.

Jika kita mengalami satu saja dari hal di atas, itu berarti kita
sudah memainkan sebuah permainan (game) dalam hubungan kita dengan
pasangan. Istilah permainan itu dikemukakan pertama kali oleh Eric
Berne, pakar transactional analysis yang terkenal dengan bukunya
berjudul Games People Play. Transactional analysis cukup dikenal
dalam bidang komunikasi dan pemasaran. Namun, Berne sendiri memakai
konsep ini sebagai sebuah psikoterapi, khususnya dalam masalah
keluarga, atau yang terkait dengan relasi. Dinamakan transactional
analysis karena terapis yang menggunakan metode ini akan membantu
kliennya menganalisis interaksinya dengan orang lain. Interaksi-
interaksi yang tidak tepat akan membawa kedua pihak pada hubungan
yang tidak sehat.

Untuk dapat menganalisis interaksi, kita harus memahami lebih dahulu
bahwa tiap individu memiliki tiga kondisi ego (ego states) yang
menggambarkan keberfungsian dari keadaan dirinya. Kondisi ego ini
adalah anak (child), orangtua (parent), dan dewasa (adult).

Kita dikatakan sedang dalam kondisi ego anak jika menampilkan
karakteristik anak-anak seperti spontan, impulsif, berpusat pada diri
sendiri, mencari kesenangan, senang bermain-main, berorientasi pada
perasaan, cemas, mencari persetujuan orang lain, patuh, kooperatif,
ataupun membantah. Contoh yang paling sederhana adalah, "Yuk, kita
bermain."

Ego kita dalam kondisi orangtua jika kita menampilkan karakteristik
yang khas orangtua baik sebagai orangtua yang mengasuh (nurturing)
maupun mengontrol (controlling) . Sifat mengasuh muncul dalam memuji,
menenangkan, dan membantu. Contohnya, "Ya sudah, yang sabar, ya."

Sifat mengontrol dapat berupa tidak menyetujui suatu perilaku,
menemukan kesalahan orang lain, ataupun berprasangka.
Contohnya, "Kamu kalau jalan pakai mata, dong."

Kondisi ego yang dewasa tampil dalam bentuk pernyataan atau sikap
yang rasional, objektif, dan penuh pertimbangan. Contohnya, "Kamu
sudah memikirkan risiko berbisnis dengan dia?" Perlu diperhatikan
kondisi ego dewasa di sini tidak selalu mengacu kepada sikap yang
dewasa. Dapat pula sekadar menyatakan data faktual, misalnya, "Hari
sudah larut malam." Atau, "Sekarang sudah pukul 12."

Tampil Seimbang

Kondisi ego itu tidak ada kaitannya dengan usia seseorang. Seorang
anak kecil dapat saja menampilkan kondisi ego orangtua ketika
menghibur temannya agar tidak menangis lagi. Seorang kakek dapat
menampilkan kondisi ego anak ketika menginginkan es krim cokelat,
sementara ia terkena diabetes. Seorang remaja dapat menampilkan
kondisi ego dewasa ketika membatalkan kencannya karena harus belajar
untuk ujian akhir. Seorang anak balita juga dapat menampilkan kondisi
ego dewasa dengan mengatakan hujan sedang turun.

Selain itu, tidak ada yang buruk ataupun baik dari masing-masing
kondisi ego. Yang terpenting adalah ketiga kondisi ego itu tampil
seimbang dalam diri kita, dan kita fleksibel dalam menggunakannya
sesuai keperluan.

Sebagai contoh, ada pasangan suami istri bernama Anton dan Deisy.
Suatu hari Deisy mengajak Anton menonton film Kungfu Panda. Ajakan
Deisy itu menunjukkan kondisi ego anak yang ingin bersenang-senang
dengan menonton film. Yang Deisy inginkan tentunya jawaban yang
mendukung keinginannya untuk menonton (bersenang-senang) . Dengan
perkataan lain, Deisy menginginkan Anton menjawab dengan kondisi ego
anak juga.

Jika Anton menjawab, "Wah, boleh juga idemu," Deisy tentu akan senang
karena respons Anton sesuai dengan yang diharapkan. Atau bila Anton
menjawab dengan ego dewasa, "Memang apa yang menarik dari film itu?",
responsnya pun masih belum bertentangan dengan tuntutan Deisy.
Interaksi seperti itu antara Anton dan Deisy dinamakan complementary
transactions, karena saling melengkapi. Transaksi seperti itu adalah
transaksi positif dalam sebuah relasi.

Tetapi, jika Anton menjawab, "Kamu ini sudah tua kok senangnya nonton
film anak kecil", kritik Anton jelas menampilkan kondisi ego
orangtua. Dengan respons seperti itu dapat dibayangkan perasaan Deisy
yang kesal karena tidak direspons dengan tepat.

Respons Anton itu membuat interaksi di antara mereka menjadi crossed
transactions. Crossed karena respons yang diberikan tidak sesuai
tuntutan lawan bicara kita. Sampai di situ, Deisy dapat mengembalikan
situasi menjadi complementary transactions jika ia mencoba lebih
objektif dengan menampilkan kondisi ego dewasa seperti, "Tapi film
itu sarat nilai-nilai positif lho."

Sayangnya, yang sering terjadi, respons yang tidak sesuai keinginan
kita akan kita tanggapi dengan respons yang juga tidak tepat. Deisy,
misalnya, akan merajuk, yang berarti ia kembali menampilkan kondisi
ego anak. Bukan tidak mungkin akan terjadi pertengkaran karena
masalah sepele terkait dengan film Kungfu Panda itu. Anton akan
mengomentari sikap kekanakan Deisy, sementara Deisy akan mengatakan
Anton tidak pernah memedulikan keinginannya. Kondisi seperti inilah
yang disebut Berne dengan melakukan permainan.

Secara khusus, permainan antara Deisy dan Anton ini disebut dengan
kegemparan (uproar) karena berakhir dengan pertengkaran. Permainan
ini dapat diartikan sebagai interaksi yang akhirnya membawa kita pada
perasaan yang negatif.

Selain crossed transactions, ada lagi yang dinamakan ulterior
transactions. Misalnya Anita mengatakan kepada Iwan, suaminya, "Aku
benci sama kamu. Kamu jahat." Iwan yang mendengarnya akan menanggapi
dengan, "Ya, aku memang jahat. Aku pantas untuk dibenci." Padahal
Anita tidak sungguh-sungguh membenci Iwan. Yang ia inginkan dari
perkataannya itu adalah Iwan merespons dengan meminta maaf dan
mengatakan ia mencintai Anita.

Jadi, dalam ulterior transactions, pesan yang terucap tidak sama
dengan pesan yang ingin disampaikan. Ada makna lain yang terselip di
dalamnya. Atau sering disebut sebagai pesan tersembunyi (hidden
message). Pesan seperti itu tentu sulit dipahami bahkan oleh pasangan
yang telah menikah puluhan tahun sekalipun. Akhirnya ulterior
transactions pun dapat membawa pasangan ke dalam permainan berjenis
uproar.

Pecundang

Sayangnya, dalam berelasi, kita sering melakukan permainan-permainan
itu. Kita senang dengan permainan karena senantiasa berharap dapat
memenangkan permainan. Padahal, dalam sebuah hubungan, siapa pun yang
memenangkan permainan itu tidak akan membuat hubungan itu menjadi
lebih baik. Sebaliknya, yang terjadi, membuat hubungan menjadi lebih
buruk. Berne bahkan dengan tegas mengatakan, siapa pun yang memainkan
permainan adalah pecundang. Karena dengan bermain, mereka menghindari
interaksi yang sehat dan bermakna.

Dengan demikian, permainan hendaknya tidak dimulai. Jika sudah
telanjur dimulai, permainan itu harus dihentikan. Bukan berarti kita
harus menanggapi semua keinginan pasangan agar respons selalu sesuai
tuntutan pasangan. Kadang memang ada baiknya keinginan itu ditanggapi
secara rasional dengan menampilkan kondisi ego yang dewasa. Dengan
perkataan lain, yang terpenting adalah menciptakan complementary
transactions yang positif.

Hal lain yang lebih penting adalah menghindari percakapan yang
mengandung pesan-pesan tersembunyi (ulterior transactions) .
Percakapan seperti ini membuka celah untuk terjadinya kesalahpahaman.
Kita harus ingat, relasi tentu bukan persoalan tebak-menebak.

Jadi, katakan saja kebutuhan kita apa adanya dengan perkataan yang
mudah dipahami. Jika telanjur sudah terjadi, ulterior transactions
ini harus dihentikan. Caranya, dengan mencoba memahami pasangan untuk
dapat mengambil makna tersembunyi. Atau langsung menanyakan kepadanya
apa sebenarnya yang ingin disampaikan pasangan atau tindakan apa yang
ia harapkan dapat kita lakukan untuknya. Cara itu lebih mudah dan
dapat menyadarkannya bahwa kita sangat ingin menyenangkannya, namun
tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dengan demikian, kita akan
terhindar dari permainan yang hanya dapat membawa kita pada
pertengkaran yang lebih hebat.

So, are you playing games? Please, stop it right now.

Sumber: "Are You Playing Games?" oleh Lianawati, Penulis adalah Staf
Pengajar Fakultas Psikologi Ukrida

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri Komentar sehat dan membangun