Bocah itu menjadi pembicaraan dikampung Ketapang. Sudah tiga hari ini ia mondar-mandir keliling kampung. Ia menggoda anak-anak sebayanya, menggoda anak-anak remaja diatasnya, dan bahkan orang-orang tua. Hal ini bagi orang kampung sungguh menyebalkan.
Yah, bagaimana tidak menyebalkan, anak itu menggoda denganberjalan kesana kemari sambil tangan kanannya memegang roti isi daging yang tampak coklat menyala. Sementara tangan kirinya memegang es kelapa, lengkap dengan tetesan air dan butiran-butiran es yang melekat diplastik es tersebut.
Pemandangan tersebut menjadi hal biasa bila orang-orang kampung melihatnya bukan pada bulan puasa! Tapi ini justru terjadi ditengah hari pada bulan puasa! Bulan ketika banyak orang sedang menahan lapar dan haus. Es kelapa dan roti isi daging tentu saja menggoda orang yang melihatnya.
Pemandangan itu semakin bertambah tidak biasa, karena kebetulan selama tiga hari semenjak bocah itu ada, matahari dikampung itu lebih terik dari biasanya. Luqman mendapat laporan dari orang-orang kampong mengenai bocah itu. Mereka tidak berani melarang bocah kecil itu menyodor-nyodorkan dan memperagakan bagaimana dengan nikmatnya ia mencicipi es kelapa dan roti isi daging tersebut.
Pernah ada yang melarangnya, tapi orang itu kemudian dibuat mundur ketakutan sekaligus keheranan. Setiap dilarang, bocah itu akan mendengus dan matanya akan memberikan kilatan yang menyeramkan. Membuat mundur semua orang yang akan melarangnya.
Luqman memutuskan akan menunggu kehadiran bocah itu. Kata orang kampung, belakangan ini, setiap bakda zuhur, anak itu akan muncul secara misterius. Bocah itu akan muncul dengan pakaian lusuh yang sama dengan hari-hari kemarin dan akan muncul pula dengan es kelapa dan roti isi daging yang sama juga! Tidak lama Luqman menunggu, bocah itu datang lagi. Benar, ia menari-nari dengan menyeruput es kelapa itu. Tingkah bocah itu jelas membuat orang lain menelan ludah, tanda ingin meminum es itu juga.
Luqman pun lalu menegurnya. Cuma, ya itu tadi, bukannya takut, bocah itu malah mendelik hebat dan melotot, seakan-akan matanya akan keluar. "Bismillah.. ." ucap Luqman dengan kembali mencengkeram lengan bocah itu. Ia kuatkan mentalnya. Ia berpikir, kalau memang bocah itu bocah jadi-jadian, ia akan korek keterangan apa maksud semua ini. Kalau memang bocah itu "bocah beneran" pun, ia juga akan cari keterangan, siapa dan dari mana sesungguhnya bocah itu.
Mendengar ucapan bismillah itu, bocah tadi mendadak menuruti tarikan tangan Luqman. Luqman pun menyentak tanggannya, menyeret dengan halus bocah itu, dan membawanya ke rumah. Gerakan Luqman diikuti dengan tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang yang melihatnya. "Ada apa Tuan melarang saya meminum es kelapa dan menyantap roti isi daging ini? Bukankah ini kepunyaan saya?" tanya bocah itu sesampainya di rumah Luqman, seakan-akan tahu bahwa Luqman akan bertanya tentang kelakuannya. Matanya masih lekat menatap tajam pada Luqman.
"Maaf ya, itu karena kamu melakukannya dibulan puasa," jawab Luqman dengan halus, "apalagi kamu tahu, bukankah seharusnya kamu juga berpuasa? Kamu bukannya ikut menahan lapar dan haus, tapi malah menggoda orang dengan tingkahmu itu."
Sebenarnya Luqman masih akan mengeluarkan uneg-unegnya, mengomeli anak itu. Tapi mendadak bocah itu berdiri sebelum Luqman selesai. Ia menatap Luqman lebih tajam lagi. "Itu kan yang kalian lakukan juga kepada kami semua! Bukankah kalian yang lebih sering melakukan hal ini ketimbang saya? Kalian selalu mempertontonkan kemewahan ketika kami hidup di bawah garis kemiskinanpada sebelas bulan di luar bulan puasa?
Bukankah kalian yang lebih sering melupakan kami yang kelaparan, dengan menimbun harta sebanyak-banyaknya dan melupakan kami? Bukankah kalian juga yang selalu tertawa dan melupakan kami yang sedang menangis? Bukankah kalian yang selalu berobat mahal bila sedikit saja sakit menyerang, sementara kalian mendiamkan kami yang mengeluh kesakitan hingga kematian menjemput ajal?
Bukankah juga di bulan puasa ini hanya pergeseran waktu saja bagi kalian untuk menahan lapar dan haus? Ketika bedug maghrib bertalu, ketika azan maghrib terdengar, kalian kembali pada kerakusan kalian?" Bocah itu terus saja berbicara tanpa memberi kesempatan pada Luqman untuk menyela. Tiba-tiba suara bocah itu berubah. Kalau tadinya ia berkata begitu tegas dan terdengar "sangat" menusuk, kini ia bersuara lirih, mengiba.
"Ketahuilah, Tuan, kami ini berpuasa tanpa ujung, kami senantiasa berpuasa meski bukan waktunya bulan puasa, lantaran memang tak ada makanan yang bisa kami makan. Sementara Tuan hanya berpuasa sepanjang siang saja.
Dan ketahuilah juga, justru Tuan dan orang-orang di sekeliling Tuan lah yang menyakiti perasaan kami dengan berpakaian yang luar biasa mewahnya, lalu kalian sebut itu menyambut Ramadhan dan 'Idul Fithri'.
Bukankah kalian juga yang selalu berlebihan dalam mempersiapkan makanan yang luar biasa bervariasi banyaknya, segala rupa ada, lantas kalian menyebutnya dengan istilah menyambut Ramadhan dan 'Idul Fithri'? Tuan, sebelas bulan kalian semua tertawa di saat kami menangis, bahkan pada bulan Ramadhan pun hanya ada kepedulian yang seadanya pula.
Tuan, kalianlah yang melupakan kami, kalianlah yang menggoda kami, dua belas bulan tanpa terkecuali termasuk di bulan Ramadhan ini. Apa yang telah saya lakukan adalah yang kalian lakukan juga terhadap orang-orang kecil seperti kami? Tuan, sadarkah Tuan akan ketidakabadian harta? Lalu kenapakah kalian masih saja mendekap harta secara berlebih?
Tuan, sadarkah apa yang terjadi bila Tuan dan orang-orang sekeliling Tuan tertawa sepanjang masa dan melupakan kami yang semestinya diingat? Bahkan, berlebihannya Tuan dan orang-orang di sekeliling Tuan bukan hanya pada penggunaan harta, tapi juga pada dosa dan maksiat. Tahukah Tuan akan adanya azab Tuhan yang akan menimpa?
Tuan, jangan merasa aman lantaran kaki masih menginjak bumi. Tuan,jangan merasa perut kan tetap kenyang lantaran masih tersimpan pangan untuk setahun, jangan pernah merasa matahari tidak akan pernah menyatu dengan bumi kelak."
Wuahh... entahlah apa yang ada di kepala dan hati Luqman. Kalimat demi kalimat meluncur deras dari mulut bocah kecil itu tanpa bisa dihentikan. Dan hebatnya, semua yang disampaikan bocah tersebut adalah benar adanya! Hal ini menambah keyakinan Luqman, bahwa bocah ini bukanlah bocah sembarangan. Setelah berkata pedas dan tajam seperti itu, bocah itu pergi begitu saja meninggalkan Luqman yang dibuatnya terbengong-bengong.
Di kejauhan, Luqman melihat bocah itu menghilang bak ditelan bumi. Begitu sadar, Luqman berlari mengejar ke luar rumah hingga ke tepian jalan raya kampung Ketapang. Ia edarkan pandangan ke seluruh sudut yang bisa dilihatnya, tapi ia tidak menemukan bocah itu. Di tengah deru nafasnya yang memburu, ia tanya semua orang di ujung jalan, tapi semuanya menggeleng bingung. Bahkan, orang-orang yang menunggu penasaran di depan rumahnya pun mengaku tidak melihat bocah itu keluar dari rumah Luqman!
Bocah itu benar-benar misterius! Dan sekarang ia malah menghilang! Luqman tidak mau main-main. Segera ia putar langkah, balik ke rumah. Ia ambil sajadah, sujud dan bersyukur. Meski peristiwa tadi irrasional, tidak masuk akal, tapi ia mau meyakini bagian yang masuk akal saja. Bahwa memang betul adanya apa yang dikatakan bocah misterius tadi. Bocah tadi memberikan pelajaran yang berharga, betapa kita sering melupakan orang yang seharusnya kita ingat, yaitu mereka yang tidak berpakaian, mereka yang kelaparan, dan mereka yang tidak memiliki penghidupan yang layak.
Bocah tadi juga memberikan Luqman pelajaran bahwa seharusnya mereka yang sedang berada di atas, yang sedang mendapatkan karunia Allah, jangan sekali-kali menggoda orang kecil, orang bawah, dengan berjalan membusungkan dada dan mempertontonkan kemewahan yang berlebihan.
Marilah berpikir tentang dampak sosial yang akan terjadi bila kita terus menjejali tontonan kemewahan, sementara yang melihatnya sedang membungkuk menahan lapar.
Luqman berterima kasih kepada Allah yang telah memberikannya hikmah yang luar biasa. Luqman tidak mau menjadi bagian yang Allah sebut mati mata hatinya.
Sekarang yang ada dipikirannya sekarang, entah mau dipercaya orang atau tidak, ia akan mengabarkan kejadian yang dialaminya bersama bocah itu sekaligus menjelaskan hikmah kehadiran bocah tadi kepada semua orang yang dikenalnya, kepada sebanyak-banyaknya orang.
Kejadian bersama bocah tadi begitu berharga bagi siapa saja yang menghendaki bercahayanya hati. Pertemuan itu menjadi pertemuan yang terakhir. Sejak itu Luqman tidak pernah lagi melihatnya, selama-lamanya. Luqman rindu kalimat-kalimat pedas dan tudingan-tudingan yang memang betul adanya.
Luqman rindu akan kehadiran anak itu agar ada seseorang yang berani menunjuk hidungnya ketika ia salah.
(/)Suaramerdeka
"Dengan ILMU hidup menjadi MUDAH, dengan IMAN hidup menjadi TERARAH dengan SENI hidup menjadi INDAH" Dari berbagai sumber.... semoga bermanfaat
Rabu, 11 November 2009
Selasa, 10 November 2009
Anak Haram
Cerpen: Hendri R.H
Aku tak pernah mengerti kenapa dilahirkan, bahkan Aku tak pernah meminta Tuhan untuk meniupkan ruhnya ke dalam rahim Ibuku. Andai kata ada semacam pemilihan di Alam Ruh, Aku lebih memilih dilahirkan dari rahim seorang Ibu negara, ustadz, atau bahkan seorang guru. Setidaknya kalau dilahirkan dari mereka tidak akan dicap sebagai anak haram. Karena sepuluh tahun yang lalu Aku menangis dipangkuan seorang Ibu yang kini kukenal sebagai seorang pelacur.
Pernah suatu saat bertanya pada seorang Ustadz, “ Kenapa Aku dilahirkan di mulut Rahim seorang pelacur, bukankah Tuhan membenci pekerjaan itu?”
“Karena suatu saat Kau akan menemukan kebenaran dan hakikat hidup dari seorang hamba Tuhan, Dia tidak menciptakan makhluk yang tidak mempunyai jalan hidup, perkara kau dilahirkan dari seorang pelacur atau bukan, itu kehendak Dia.”
Aku selalu menyesal bertanya hal itu pada Ustadz, pikiranku selalu dipenuhi tanda tanya, esensi hidup apa yang Tuhan rencanakan, bukankan dia Maha adil? Ah, pertanyaan itu hanya membuatku pusing, seperti benturan-benuran keras ketika ku memikirkannya, bahkan Ibuku sendiri tak mengetahui kenapa ia menjadi pelacur.
Saban hari Aku hanya menunggu seseorang di balik pintu. Kursi-kursi yang kujajarkan dan ditata rapi, hingga menyapu ruangan tamu kulakukan tiap hari. Perlakukan terhadap rumahku selalu istimewa setiap harinya, bahkan ketika menginjak bangku SD. Aku terbiasa membaca buku di ruang tamu. Semua itu kulakukan demi menemukan seorang manusia yang harus memenuhi fitrahnya, sebagai Ayahku.
Entah kenapa hari itu Aku memakai pakaian bagus, pemberian Ibuku memang, walapun tidak halal, tapi harus berbuat apalagi. Tuhan juga memaklumi keadaanku, perkara Aku berkomplot dengan Ibu sebagai kejahatan pelacuran, tak kupedulikan. Dia toh harus memenuhi kewajiban sebagai seorang Ibu dan menapkahiku sebagai seorang anak.
Dalam pakaianku yang serba bagus, daun telingaku menangkap suara langkah kaki, perlahan tapi pasti, langkah itu semakin jelas, dan terakhir berhenti, tak kedengaran lagi. Malah bunyi ketukan pintu yang terdengar, Aku membuka pintu itu, berharap yang datang bukan Ibuku. Benar saja, seorang lelaki. Ia terlihat santai dan penuh wibawa, sosok ayah yang kuidam-idamkan dari dulu kini ada didepanku.
Setelah kuhidangkan makanan yang enak-enak, Aku langsung lari ke ruang tengah, mengambil cermin dan mengintip lelaki itu dari balik tirai. Kini kubandingkan bahwa wajah lelaki itu dengan wajahku, tak ada yang mirip, bahkan hidungnya pesek, kulitnya hitam, perawakannya agak kecil. Sedangkan Aku justru kebalikannya. Benarkan ia Ayahku? tak berani mulut ini menanyakanya langsung, tapi Aku berharap ia memang Ayahku.
Perkara cermin Aku tak pernah pedulikan, memang benar bahwa cermin adalah makhluk yang paling jujur, setidaknya itu yang dikatakan sastrawan dalam sajaknya. Tapi dalam kondisi ini Aku tak boleh percaya pada benda itu, keinginanku terlalu besar untuk menebak bahwa lelaki yang ada dihadapanku adalah seorang Ayah.
“Kemana Ibumu nak?” Lelaki itu membuyarkan lamunanku, dari tadi Aku hanya memandang wajahnya seakan ia hendak pergi untuk selama-lamanya.
“Pergi keluar.” Jawabku.
Tak berani Aku menyebut bahwa Ibu pergi melacur, Aku takut calon Ayahku ini kecewa dan pergi begitu mengetahui bahwa wanita yang ditunggunya sedang mengobral rahimnya untuk ditukarkan rupiah. Lama benar dengan pergolakan senandung lamunan, Ibu datang.
Seperti biasa Ibuku selalu pulang dengan badan lemas, tak pernah Aku tanyakan padanya. Sepulang dari tempat melacur ia selalu tidur dan tak boleh diganggu. Bahkan Aku tak berani menanyakan bahwa lelaki didepanku adalah ayahku sendiri, biarlah Ibu sendiri yang mengatakan padaku, lebih indah pengakuan seorang Ibu kepada anaknya, bahwa ayahnya telah lama berpisah, kini ada dihadapannya.
“Sudah lama menunggu Mas,” Ibuku bertanya pada lelaki itu.
“Dari tadi, tidak lama untungnya ada anakmu, dia mungkin jadi anak yang baik.”
“Semoga mas, jangan sampai menjadi Aku yang seperti ini.”
Belum pernah ku dengar doa seorang lelaki yang mengharapkan untuk kebaikan masa depanku. Aku semakin yakin bahwa ini adalah Ayahku, Ayah yang selama ini kutunggu, yang bisa mendidik, yang bisa menjadi raja dalam kerajaan kecilku. Biar Ibu tak mengobral tubuhnya dijalanan lagi.
Aku cepat-cepat pergi ke kamar, tak kuasa menahan tangis, walaupun Ibu tak menyebutkan langsung bahwa itu ayahku, namuan Aku tetap terharu sejadi-jadinya.
Dari balik tirai kuintip lagi dan kudengar pembicaraan mereka, namun alangkah kagetnya ketika Ibu memberi uang pada lelaki itu.
“Ini uang kembalian yang kemarin mas,” kata Ibuku sambil memberi uang dua puluh ribu.
Sontak batinku kaget, hancur luluh, dan harapanku untuk medapatkan seorang ayah pupus sudah. Kini lelaki itu pergi tanpa beban telah meminjam Rahim Ibuku, seakan telah membayar ia langsung pergi tanpa ada dosa.
Kuambil gelas yang telah ia minum, langsung Aku banting ke lantai, jijik melihat dia dan tak sudi menerima kenyataan bahwa dia hanyalah pelanggan Rahim Ibuku. Buat apa penjamuan ini dan penghayatan bahwa dia bukan ayahku. Kini Aku mulai mempercayai cermin, makhluk yang selalu berkata jujur.
“Kenapa kau berkelakuan aneh, Ibu tidak suka.”
“Apa Ibu tidak mengerti, Aku merindukan ayah, yang membuat Aku lahir ke dunia ini adalah Ayah dan dan Ibu. Kini yang kukenal hanyalah Ibu, mana Ayahku, seorang anjing yang lahir ke dunia pun akan menanyakan dimana ayahnya berada, Aku bosan dikatain anak haram terus.”
Tapi hanya tetesan air mata sebagai jawaban atas pertanyaanku. Aku sendiri pergi ke kamar dengan penuh tanda tanya. Tak mungkin menyalahkan Ibu mengenai keberadaan ayahku, tak mungkin juga menyalahkan Tuhan karena membuat Aku ada di dunia ini.
Yang tak pernah dimengerti, kenapa Ibu tak tahu dimana Ayahku. Sudah berapa lelaki yang pernah memakai rahimnya. Mungkin bercampur dengan lelaki lain dan lahirlah Aku. Hanya bisa menghibur diri sendiri bahwa yang memakai Ibu adalah pejabat, guru, dosen, pebisnis. Biar Aku yang dikatakan anak haram setidaknya masih ada keturunan dari orang-orang tersebut.
Sepuluh hari setelah kejadian itu, Aku jarang mengobrol dengan Ibuku. Hingga suatu malam ia pulang dengan wajah lesu, kasian benar melihatnya terlebih ia masih sebagai Ibuku. Aku harus membalas budi, setidaknya itu yang dikatakan oleh agama.
“Nak, maafkan Ibu tak bisa mendidikmu”
“Ndak apa-apa Bu, gimana kondisinya sekarang”
“Ibu tak kuasa lagi, beban ini terlalu berat, Ibu tak bisa menemukan ayahmu, bahkan Ibu tak becus menghapus diksi anak haram dalam kehidupanmu” Jawabnya dengan terbata-bata.
Kini Aku tahu bahwa Ibuku sekarat, namun yang anehnya ia selalu memegang payudaranya. Ku beranikan bertannya padanya.
“Adakah yang bisa ku bantu bu.”
“Ndak ada nak, Ibu sudah tak kuat lagi, Ibu menderita kanker payudara ketika kau lahir, maafkan Ibu nak, jadilah anak yang sholeh dan teruskan cita-citamu.” Itulah kalimat terakhir yang kudengar. Ibuku menghembuskan napasnya yang terakhir.
Kini dua kali Aku tertegun bagai disambar geledek, mendengar kenyataan bahwa Ibuku menderita kanker payudara. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Durhalah diriku yang telah memperlakukan Ibu seperti orang asing.”
Dalam keremangan malam, kutemukan esensi hidupku, bahwa manusia mempunyai arti untuk orang lain. Perkara Ibuku masuk surga atau neraka, itu urusan Tuhan, namun akan kudoakan agar dia masuk surga, semoga doa anak yatim dikabulkan.
Sosok Ibu bahkan melampui ayahku jiga memang ada, dialah Ibuku sebenarnya rela berjuang demi anaknya. Tak pernah ia mengeluh, dan melawan sinisme sosial.
Aku tak boleh membenci Ibu, dia adalah pahlawan dalam hidupku, rela berkorban batin dan fisik. Aku tak boleh menggugat Tuhan atas kelahiranku, Kini yang kugugat adalah masyarakat yang mengatakan Aku anak haram.
Bandung, 1 November 2009
Biodata Lengkap
N. I. K : 10.1708.040889.0005
Nama : Hendri R.H
Kelahiran : Sumedang, 04 – 08 – 1989
Alamat : Dsn Cikeusik RT 18 RW
Desa Pamekaran Kec. Rancakalong
Kab. Sumedang 45361
Email : henscyber@gmail.com
Blog : anaksastra.blogspot.com
Hendri R.H, lahir di Sumedang 4 agustus 1989. Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis Esai dan Puisi, puisinya tergabung dalam antologi Para Penyair 2009. Aktif dan bergabung di Unit Pers Mahasiswa Isola Pos dan komunitas Anak Sastra UPI www.anaksastra.blogspot.com.
Aku tak pernah mengerti kenapa dilahirkan, bahkan Aku tak pernah meminta Tuhan untuk meniupkan ruhnya ke dalam rahim Ibuku. Andai kata ada semacam pemilihan di Alam Ruh, Aku lebih memilih dilahirkan dari rahim seorang Ibu negara, ustadz, atau bahkan seorang guru. Setidaknya kalau dilahirkan dari mereka tidak akan dicap sebagai anak haram. Karena sepuluh tahun yang lalu Aku menangis dipangkuan seorang Ibu yang kini kukenal sebagai seorang pelacur.
Pernah suatu saat bertanya pada seorang Ustadz, “ Kenapa Aku dilahirkan di mulut Rahim seorang pelacur, bukankah Tuhan membenci pekerjaan itu?”
“Karena suatu saat Kau akan menemukan kebenaran dan hakikat hidup dari seorang hamba Tuhan, Dia tidak menciptakan makhluk yang tidak mempunyai jalan hidup, perkara kau dilahirkan dari seorang pelacur atau bukan, itu kehendak Dia.”
Aku selalu menyesal bertanya hal itu pada Ustadz, pikiranku selalu dipenuhi tanda tanya, esensi hidup apa yang Tuhan rencanakan, bukankan dia Maha adil? Ah, pertanyaan itu hanya membuatku pusing, seperti benturan-benuran keras ketika ku memikirkannya, bahkan Ibuku sendiri tak mengetahui kenapa ia menjadi pelacur.
Saban hari Aku hanya menunggu seseorang di balik pintu. Kursi-kursi yang kujajarkan dan ditata rapi, hingga menyapu ruangan tamu kulakukan tiap hari. Perlakukan terhadap rumahku selalu istimewa setiap harinya, bahkan ketika menginjak bangku SD. Aku terbiasa membaca buku di ruang tamu. Semua itu kulakukan demi menemukan seorang manusia yang harus memenuhi fitrahnya, sebagai Ayahku.
Entah kenapa hari itu Aku memakai pakaian bagus, pemberian Ibuku memang, walapun tidak halal, tapi harus berbuat apalagi. Tuhan juga memaklumi keadaanku, perkara Aku berkomplot dengan Ibu sebagai kejahatan pelacuran, tak kupedulikan. Dia toh harus memenuhi kewajiban sebagai seorang Ibu dan menapkahiku sebagai seorang anak.
Dalam pakaianku yang serba bagus, daun telingaku menangkap suara langkah kaki, perlahan tapi pasti, langkah itu semakin jelas, dan terakhir berhenti, tak kedengaran lagi. Malah bunyi ketukan pintu yang terdengar, Aku membuka pintu itu, berharap yang datang bukan Ibuku. Benar saja, seorang lelaki. Ia terlihat santai dan penuh wibawa, sosok ayah yang kuidam-idamkan dari dulu kini ada didepanku.
Setelah kuhidangkan makanan yang enak-enak, Aku langsung lari ke ruang tengah, mengambil cermin dan mengintip lelaki itu dari balik tirai. Kini kubandingkan bahwa wajah lelaki itu dengan wajahku, tak ada yang mirip, bahkan hidungnya pesek, kulitnya hitam, perawakannya agak kecil. Sedangkan Aku justru kebalikannya. Benarkan ia Ayahku? tak berani mulut ini menanyakanya langsung, tapi Aku berharap ia memang Ayahku.
Perkara cermin Aku tak pernah pedulikan, memang benar bahwa cermin adalah makhluk yang paling jujur, setidaknya itu yang dikatakan sastrawan dalam sajaknya. Tapi dalam kondisi ini Aku tak boleh percaya pada benda itu, keinginanku terlalu besar untuk menebak bahwa lelaki yang ada dihadapanku adalah seorang Ayah.
“Kemana Ibumu nak?” Lelaki itu membuyarkan lamunanku, dari tadi Aku hanya memandang wajahnya seakan ia hendak pergi untuk selama-lamanya.
“Pergi keluar.” Jawabku.
Tak berani Aku menyebut bahwa Ibu pergi melacur, Aku takut calon Ayahku ini kecewa dan pergi begitu mengetahui bahwa wanita yang ditunggunya sedang mengobral rahimnya untuk ditukarkan rupiah. Lama benar dengan pergolakan senandung lamunan, Ibu datang.
Seperti biasa Ibuku selalu pulang dengan badan lemas, tak pernah Aku tanyakan padanya. Sepulang dari tempat melacur ia selalu tidur dan tak boleh diganggu. Bahkan Aku tak berani menanyakan bahwa lelaki didepanku adalah ayahku sendiri, biarlah Ibu sendiri yang mengatakan padaku, lebih indah pengakuan seorang Ibu kepada anaknya, bahwa ayahnya telah lama berpisah, kini ada dihadapannya.
“Sudah lama menunggu Mas,” Ibuku bertanya pada lelaki itu.
“Dari tadi, tidak lama untungnya ada anakmu, dia mungkin jadi anak yang baik.”
“Semoga mas, jangan sampai menjadi Aku yang seperti ini.”
Belum pernah ku dengar doa seorang lelaki yang mengharapkan untuk kebaikan masa depanku. Aku semakin yakin bahwa ini adalah Ayahku, Ayah yang selama ini kutunggu, yang bisa mendidik, yang bisa menjadi raja dalam kerajaan kecilku. Biar Ibu tak mengobral tubuhnya dijalanan lagi.
Aku cepat-cepat pergi ke kamar, tak kuasa menahan tangis, walaupun Ibu tak menyebutkan langsung bahwa itu ayahku, namuan Aku tetap terharu sejadi-jadinya.
Dari balik tirai kuintip lagi dan kudengar pembicaraan mereka, namun alangkah kagetnya ketika Ibu memberi uang pada lelaki itu.
“Ini uang kembalian yang kemarin mas,” kata Ibuku sambil memberi uang dua puluh ribu.
Sontak batinku kaget, hancur luluh, dan harapanku untuk medapatkan seorang ayah pupus sudah. Kini lelaki itu pergi tanpa beban telah meminjam Rahim Ibuku, seakan telah membayar ia langsung pergi tanpa ada dosa.
Kuambil gelas yang telah ia minum, langsung Aku banting ke lantai, jijik melihat dia dan tak sudi menerima kenyataan bahwa dia hanyalah pelanggan Rahim Ibuku. Buat apa penjamuan ini dan penghayatan bahwa dia bukan ayahku. Kini Aku mulai mempercayai cermin, makhluk yang selalu berkata jujur.
“Kenapa kau berkelakuan aneh, Ibu tidak suka.”
“Apa Ibu tidak mengerti, Aku merindukan ayah, yang membuat Aku lahir ke dunia ini adalah Ayah dan dan Ibu. Kini yang kukenal hanyalah Ibu, mana Ayahku, seorang anjing yang lahir ke dunia pun akan menanyakan dimana ayahnya berada, Aku bosan dikatain anak haram terus.”
Tapi hanya tetesan air mata sebagai jawaban atas pertanyaanku. Aku sendiri pergi ke kamar dengan penuh tanda tanya. Tak mungkin menyalahkan Ibu mengenai keberadaan ayahku, tak mungkin juga menyalahkan Tuhan karena membuat Aku ada di dunia ini.
Yang tak pernah dimengerti, kenapa Ibu tak tahu dimana Ayahku. Sudah berapa lelaki yang pernah memakai rahimnya. Mungkin bercampur dengan lelaki lain dan lahirlah Aku. Hanya bisa menghibur diri sendiri bahwa yang memakai Ibu adalah pejabat, guru, dosen, pebisnis. Biar Aku yang dikatakan anak haram setidaknya masih ada keturunan dari orang-orang tersebut.
Sepuluh hari setelah kejadian itu, Aku jarang mengobrol dengan Ibuku. Hingga suatu malam ia pulang dengan wajah lesu, kasian benar melihatnya terlebih ia masih sebagai Ibuku. Aku harus membalas budi, setidaknya itu yang dikatakan oleh agama.
“Nak, maafkan Ibu tak bisa mendidikmu”
“Ndak apa-apa Bu, gimana kondisinya sekarang”
“Ibu tak kuasa lagi, beban ini terlalu berat, Ibu tak bisa menemukan ayahmu, bahkan Ibu tak becus menghapus diksi anak haram dalam kehidupanmu” Jawabnya dengan terbata-bata.
Kini Aku tahu bahwa Ibuku sekarat, namun yang anehnya ia selalu memegang payudaranya. Ku beranikan bertannya padanya.
“Adakah yang bisa ku bantu bu.”
“Ndak ada nak, Ibu sudah tak kuat lagi, Ibu menderita kanker payudara ketika kau lahir, maafkan Ibu nak, jadilah anak yang sholeh dan teruskan cita-citamu.” Itulah kalimat terakhir yang kudengar. Ibuku menghembuskan napasnya yang terakhir.
Kini dua kali Aku tertegun bagai disambar geledek, mendengar kenyataan bahwa Ibuku menderita kanker payudara. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Durhalah diriku yang telah memperlakukan Ibu seperti orang asing.”
Dalam keremangan malam, kutemukan esensi hidupku, bahwa manusia mempunyai arti untuk orang lain. Perkara Ibuku masuk surga atau neraka, itu urusan Tuhan, namun akan kudoakan agar dia masuk surga, semoga doa anak yatim dikabulkan.
Sosok Ibu bahkan melampui ayahku jiga memang ada, dialah Ibuku sebenarnya rela berjuang demi anaknya. Tak pernah ia mengeluh, dan melawan sinisme sosial.
Aku tak boleh membenci Ibu, dia adalah pahlawan dalam hidupku, rela berkorban batin dan fisik. Aku tak boleh menggugat Tuhan atas kelahiranku, Kini yang kugugat adalah masyarakat yang mengatakan Aku anak haram.
Bandung, 1 November 2009
Biodata Lengkap
N. I. K : 10.1708.040889.0005
Nama : Hendri R.H
Kelahiran : Sumedang, 04 – 08 – 1989
Alamat : Dsn Cikeusik RT 18 RW
Desa Pamekaran Kec. Rancakalong
Kab. Sumedang 45361
Email : henscyber@gmail.com
Blog : anaksastra.blogspot.com
Hendri R.H, lahir di Sumedang 4 agustus 1989. Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis Esai dan Puisi, puisinya tergabung dalam antologi Para Penyair 2009. Aktif dan bergabung di Unit Pers Mahasiswa Isola Pos dan komunitas Anak Sastra UPI www.anaksastra.blogspot.com.
Langganan:
Postingan (Atom)