Selasa, 10 November 2009

Anak Haram

Cerpen: Hendri R.H

Aku tak pernah mengerti kenapa dilahirkan, bahkan Aku tak pernah meminta Tuhan untuk meniupkan ruhnya ke dalam rahim Ibuku. Andai kata ada semacam pemilihan di Alam Ruh, Aku lebih memilih dilahirkan dari rahim seorang Ibu negara, ustadz, atau bahkan seorang guru. Setidaknya kalau dilahirkan dari mereka tidak akan dicap sebagai anak haram. Karena sepuluh tahun yang lalu Aku menangis dipangkuan seorang Ibu yang kini kukenal sebagai seorang pelacur.

Pernah suatu saat bertanya pada seorang Ustadz, “ Kenapa Aku dilahirkan di mulut Rahim seorang pelacur, bukankah Tuhan membenci pekerjaan itu?”
“Karena suatu saat Kau akan menemukan kebenaran dan hakikat hidup dari seorang hamba Tuhan, Dia tidak menciptakan makhluk yang tidak mempunyai jalan hidup, perkara kau dilahirkan dari seorang pelacur atau bukan, itu kehendak Dia.”

Aku selalu menyesal bertanya hal itu pada Ustadz, pikiranku selalu dipenuhi tanda tanya, esensi hidup apa yang Tuhan rencanakan, bukankan dia Maha adil? Ah, pertanyaan itu hanya membuatku pusing, seperti benturan-benuran keras ketika ku memikirkannya, bahkan Ibuku sendiri tak mengetahui kenapa ia menjadi pelacur.

Saban hari Aku hanya menunggu seseorang di balik pintu. Kursi-kursi yang kujajarkan dan ditata rapi, hingga menyapu ruangan tamu kulakukan tiap hari. Perlakukan terhadap rumahku selalu istimewa setiap harinya, bahkan ketika menginjak bangku SD. Aku terbiasa membaca buku di ruang tamu. Semua itu kulakukan demi menemukan seorang manusia yang harus memenuhi fitrahnya, sebagai Ayahku.

Entah kenapa hari itu Aku memakai pakaian bagus, pemberian Ibuku memang, walapun tidak halal, tapi harus berbuat apalagi. Tuhan juga memaklumi keadaanku, perkara Aku berkomplot dengan Ibu sebagai kejahatan pelacuran, tak kupedulikan. Dia toh harus memenuhi kewajiban sebagai seorang Ibu dan menapkahiku sebagai seorang anak.

Dalam pakaianku yang serba bagus, daun telingaku menangkap suara langkah kaki, perlahan tapi pasti, langkah itu semakin jelas, dan terakhir berhenti, tak kedengaran lagi. Malah bunyi ketukan pintu yang terdengar, Aku membuka pintu itu, berharap yang datang bukan Ibuku. Benar saja, seorang lelaki. Ia terlihat santai dan penuh wibawa, sosok ayah yang kuidam-idamkan dari dulu kini ada didepanku.

Setelah kuhidangkan makanan yang enak-enak, Aku langsung lari ke ruang tengah, mengambil cermin dan mengintip lelaki itu dari balik tirai. Kini kubandingkan bahwa wajah lelaki itu dengan wajahku, tak ada yang mirip, bahkan hidungnya pesek, kulitnya hitam, perawakannya agak kecil. Sedangkan Aku justru kebalikannya. Benarkan ia Ayahku? tak berani mulut ini menanyakanya langsung, tapi Aku berharap ia memang Ayahku.

Perkara cermin Aku tak pernah pedulikan, memang benar bahwa cermin adalah makhluk yang paling jujur, setidaknya itu yang dikatakan sastrawan dalam sajaknya. Tapi dalam kondisi ini Aku tak boleh percaya pada benda itu, keinginanku terlalu besar untuk menebak bahwa lelaki yang ada dihadapanku adalah seorang Ayah.
“Kemana Ibumu nak?” Lelaki itu membuyarkan lamunanku, dari tadi Aku hanya memandang wajahnya seakan ia hendak pergi untuk selama-lamanya.
“Pergi keluar.” Jawabku.

Tak berani Aku menyebut bahwa Ibu pergi melacur, Aku takut calon Ayahku ini kecewa dan pergi begitu mengetahui bahwa wanita yang ditunggunya sedang mengobral rahimnya untuk ditukarkan rupiah. Lama benar dengan pergolakan senandung lamunan, Ibu datang.

Seperti biasa Ibuku selalu pulang dengan badan lemas, tak pernah Aku tanyakan padanya. Sepulang dari tempat melacur ia selalu tidur dan tak boleh diganggu. Bahkan Aku tak berani menanyakan bahwa lelaki didepanku adalah ayahku sendiri, biarlah Ibu sendiri yang mengatakan padaku, lebih indah pengakuan seorang Ibu kepada anaknya, bahwa ayahnya telah lama berpisah, kini ada dihadapannya.
“Sudah lama menunggu Mas,” Ibuku bertanya pada lelaki itu.
“Dari tadi, tidak lama untungnya ada anakmu, dia mungkin jadi anak yang baik.”
“Semoga mas, jangan sampai menjadi Aku yang seperti ini.”

Belum pernah ku dengar doa seorang lelaki yang mengharapkan untuk kebaikan masa depanku. Aku semakin yakin bahwa ini adalah Ayahku, Ayah yang selama ini kutunggu, yang bisa mendidik, yang bisa menjadi raja dalam kerajaan kecilku. Biar Ibu tak mengobral tubuhnya dijalanan lagi.

Aku cepat-cepat pergi ke kamar, tak kuasa menahan tangis, walaupun Ibu tak menyebutkan langsung bahwa itu ayahku, namuan Aku tetap terharu sejadi-jadinya.
Dari balik tirai kuintip lagi dan kudengar pembicaraan mereka, namun alangkah kagetnya ketika Ibu memberi uang pada lelaki itu.
“Ini uang kembalian yang kemarin mas,” kata Ibuku sambil memberi uang dua puluh ribu.

Sontak batinku kaget, hancur luluh, dan harapanku untuk medapatkan seorang ayah pupus sudah. Kini lelaki itu pergi tanpa beban telah meminjam Rahim Ibuku, seakan telah membayar ia langsung pergi tanpa ada dosa.

Kuambil gelas yang telah ia minum, langsung Aku banting ke lantai, jijik melihat dia dan tak sudi menerima kenyataan bahwa dia hanyalah pelanggan Rahim Ibuku. Buat apa penjamuan ini dan penghayatan bahwa dia bukan ayahku. Kini Aku mulai mempercayai cermin, makhluk yang selalu berkata jujur.
“Kenapa kau berkelakuan aneh, Ibu tidak suka.”
“Apa Ibu tidak mengerti, Aku merindukan ayah, yang membuat Aku lahir ke dunia ini adalah Ayah dan dan Ibu. Kini yang kukenal hanyalah Ibu, mana Ayahku, seorang anjing yang lahir ke dunia pun akan menanyakan dimana ayahnya berada, Aku bosan dikatain anak haram terus.”

Tapi hanya tetesan air mata sebagai jawaban atas pertanyaanku. Aku sendiri pergi ke kamar dengan penuh tanda tanya. Tak mungkin menyalahkan Ibu mengenai keberadaan ayahku, tak mungkin juga menyalahkan Tuhan karena membuat Aku ada di dunia ini.

Yang tak pernah dimengerti, kenapa Ibu tak tahu dimana Ayahku. Sudah berapa lelaki yang pernah memakai rahimnya. Mungkin bercampur dengan lelaki lain dan lahirlah Aku. Hanya bisa menghibur diri sendiri bahwa yang memakai Ibu adalah pejabat, guru, dosen, pebisnis. Biar Aku yang dikatakan anak haram setidaknya masih ada keturunan dari orang-orang tersebut.

Sepuluh hari setelah kejadian itu, Aku jarang mengobrol dengan Ibuku. Hingga suatu malam ia pulang dengan wajah lesu, kasian benar melihatnya terlebih ia masih sebagai Ibuku. Aku harus membalas budi, setidaknya itu yang dikatakan oleh agama.
“Nak, maafkan Ibu tak bisa mendidikmu”
“Ndak apa-apa Bu, gimana kondisinya sekarang”
“Ibu tak kuasa lagi, beban ini terlalu berat, Ibu tak bisa menemukan ayahmu, bahkan Ibu tak becus menghapus diksi anak haram dalam kehidupanmu” Jawabnya dengan terbata-bata.

Kini Aku tahu bahwa Ibuku sekarat, namun yang anehnya ia selalu memegang payudaranya. Ku beranikan bertannya padanya.
“Adakah yang bisa ku bantu bu.”
“Ndak ada nak, Ibu sudah tak kuat lagi, Ibu menderita kanker payudara ketika kau lahir, maafkan Ibu nak, jadilah anak yang sholeh dan teruskan cita-citamu.” Itulah kalimat terakhir yang kudengar. Ibuku menghembuskan napasnya yang terakhir.
Kini dua kali Aku tertegun bagai disambar geledek, mendengar kenyataan bahwa Ibuku menderita kanker payudara. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Durhalah diriku yang telah memperlakukan Ibu seperti orang asing.”

Dalam keremangan malam, kutemukan esensi hidupku, bahwa manusia mempunyai arti untuk orang lain. Perkara Ibuku masuk surga atau neraka, itu urusan Tuhan, namun akan kudoakan agar dia masuk surga, semoga doa anak yatim dikabulkan.
Sosok Ibu bahkan melampui ayahku jiga memang ada, dialah Ibuku sebenarnya rela berjuang demi anaknya. Tak pernah ia mengeluh, dan melawan sinisme sosial.
Aku tak boleh membenci Ibu, dia adalah pahlawan dalam hidupku, rela berkorban batin dan fisik. Aku tak boleh menggugat Tuhan atas kelahiranku, Kini yang kugugat adalah masyarakat yang mengatakan Aku anak haram.

Bandung, 1 November 2009

Biodata Lengkap

N. I. K : 10.1708.040889.0005
Nama : Hendri R.H
Kelahiran : Sumedang, 04 – 08 – 1989
Alamat : Dsn Cikeusik RT 18 RW
Desa Pamekaran Kec. Rancakalong
Kab. Sumedang 45361
Email : henscyber@gmail.com
Blog : anaksastra.blogspot.com

Hendri R.H, lahir di Sumedang 4 agustus 1989. Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis Esai dan Puisi, puisinya tergabung dalam antologi Para Penyair 2009. Aktif dan bergabung di Unit Pers Mahasiswa Isola Pos dan komunitas Anak Sastra UPI www.anaksastra.blogspot.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri Komentar sehat dan membangun