Sabtu, 27 September 2008

Ayahku Tukang Batu

"Wo ba ba shi jian zhu gong ren"

Alkisah, sebuah keluarga sederhana memiliki seorang putri yang
menginjak remaja. Sang ayah bekerja sebagai tukang batu di sebuah
perusahaan kontraktor besar di kota itu. Sayang, sang putri merasa
malu dengan ayahnya. Jika ada yang bertanya tentang pekerjaan
ayahnya, dia selalu menghindar dengan memberi jawaban yang tidak
jujur. "Oh, ayahku bekerja sebagai petinggi di perusahaan
kontraktor," katanya, tanpa pernah menjawab bekerja sebagai apa.

Si putri lebih senang menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. Ia
sering berpura-pura menjadi anak dari seorang ayah yang bukan
bekerja sebagai tukang batu. Melihat dan mendengar ulah anak semata
wayangnya, sang ayah bersedih. Perkataan dan perbuatan anaknya yang
tidak jujur dan mengingkari keadaan yang sebenarnya telah melukai
hatinya.

Hubungan di antara mereka jadi tidak harmonis. Si putri lebih banyak
menghindar jika bertemu dengan ayahnya. Ia lebih memilih mengurung
diri di kamarnya yang kecil dan sibuk menyesali keadaan. "Sungguh
Tuhan tidak adil kepadaku, memberiku ayah seorang tukang batu,"
keluhnya dalam hati.

Melihat kelakuan putrinya, sang ayah memutuskan untuk melakukan
sesuatu. Maka, suatu hari, si ayah mengajak putrinya berjalan berdua
ke sebuah taman, tak jauh dari rumah mereka. Dengan setengah
terpaksa, si putri mengikuti kehendak ayahnya.

Setelah sampai di taman, dengan raut penuh senyuman, si ayah
berkata, "Anakku, ayah selama ini menghidupi dan membiayai sekolahmu
dengan bekerja sebagai tukang batu. Walaupun hanya sebagai tukang
batu, tetapi ayah adalah tukang batu yang baik, jujur, disiplin, dan
jarang melakukan kesalahan. Ayah ingin menunjukkan sesuatu kepadamu,
lihatlah gedung bersejarah yang ada di sana. Gedung itu bisa berdiri
dengan megah dan indah karena ayah salah satu orang yang ikut
membangun. Memang, nama ayah tidak tercatat di sana, tetapi keringat
ayah ada di sana. Juga, berbagai bangunan indah lain di kota ini di
mana ayah menjadi bagian tak terpisahkan dari gedung-gedung
tersebut. Ayah bangga dan bersyukur bisa bekerja dengan baik hingga
hari ini."

Mendengar penuturan sang ayah, si putri terpana. Ia terdiam tak bisa
berkata apa-apa. Sang ayah pun melanjutkan penuturannya, "Anakku,
ayah juga ingin engkau merasakan kebanggaan yang sama dengan ayahmu.
Sebab, tak peduli apa pun pekerjaan yang kita kerjakan, bila
disertai dengan kejujuran, perasaan cinta dan tahu untuk apa itu
semua, maka sepantasnya kita mensyukuri nikmat itu."

Setelah mendengar semua penuturan sang ayah, si putri segera memeluk
ayahnya. Sambil terisak, ia berkata, "Maafkan putri, Yah. Putri
salah selama ini. Walaupun tukang batu, tetapi ternyata Ayah adalah
seorang pekerja yang hebat. Putri bangga pada Ayah." Mereka pun
berpelukan dalam suasana penuh keharuan.

Pembaca yang budiman,

Begitu banyak orang yang tidak bisa menerima keadaan dirinya sendiri
apa adanya. Entah itu masalah pekerjaaan, gelar, materi, kedudukan,
dan lain sebagainya. Mereka merasa malu dan rendah diri atas apa
yang ada, sehingga selalu berusaha menutupi dengan identitas dan
keadaan yang dipalsukan.

Tetapi, justru karena itulah, bukan kebahagiaan yang dinikmati.
Namun, setiap hari mereka hidup dalam keadaan was was, demi menutupi
semua kepalsuan. Tentu, pola hidup seperti itu sangat melelahkan.

Maka, daripada hidup dalam kebahagiaaan yang semu, jauh lebih baik
seperti tukang batu dalam kisah di atas. Walaupun hidup pas-pasan,
ia memiliki kehormatan dan integritas sebagai manusia.

Sungguh, bisa menerima apa adanya kita hari ini adalah
kebijaksanaan. Dan, mau berusaha memulai dari apa adanya kita hari
ini dengan kejujuran dan kerja keras adalah keberanian!

Salam Sukses Luar Biasa!!!!

Sumber: Ayahku Tukang Batu oleh Andrie Wongso

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri Komentar sehat dan membangun