“Kita harus bersedia menerima kegagalan sebagai peluang untuk belajar, berkembang, memperbaiki diri, membuat permulaan baru, dan bahkan mengakhiri keterpurukan dan sikap menyerah kita.”
-- Charles W. McCoy Jr., dalam bukunya 'Why Didn’t I Think of That'
DIA sungguh seksi. Bening dan menggairahkan. Siapa pun yang melihatnya, pasti ingin menjamahnya. Jangan salah, dia bukanlah seorang gadis. Dia bernama Macintosh. Tak ada yang menyangkal dengan kecantikan dan kecanggihan komputer keluaran dari Apple tersebut. Tapi, siapa dapat menduga, perusahaan ini tumbuh dari sebuah kegagalan. Tidak saja dalam menciptakan alat tersebut, tapi juga lika-liku laki-laki si pemiliknya, Steve Jobs.
Sekarang marilah kita kembali ke tahun 1976. Dan tengoklah ke dalam garasi milik keluarga Jobs. Di sana, dua anak muda yang kebetulan sama-sama bernama Steve, yaitu Jobs dan Wozniak, tengah asyik mengutak-atik komputer yang bernama Apple 1.
Singkat cerita, perusahaan ini berkembang seperti pohon rambutan di musim panas. Cepat berbuah dan manis. Hasilnya, perusahaan ini tumbuh pesat menjadi a big company. Jobs pun merasa tidak kuasa lagi mengendalikannya. Pada 1983, dia merekrut John Sculley, dari perusahaan Pepsi-Cola, untuk memimpin Apple Computer.
Sculey memang pemimpin jempolan. Dia sendiri kemudian menemukan ketidakcocokan dengan Jobs, yang mudah emosi dan berubah pikiran. Dua tahun kemudian, karena banyak ulah, dia pun memecat Jobs dari jabatannya dan mengusirnya dari Apple.
Tragis nian. Orang yang mendirikan perusahaan ternyata harus hengkang dari rumahnya sendiri. Sedih? So pasti. Tak hanya menyesal seumur-umur, Jobs pun mengakui kegagalannya selama memimpin di Apple. Walau sudah begitu, keinginan untuk kembali ke Apple ditolak oleh para petingginya.
Namun Jobs tak berlama-lama merenungi kegagalannya. Setelah keluar dari Apple, ia mendirikan sebuah perusahaan komputer lagi, NeXT Computer, yang juga tergolong maju dalam hal teknologi. Meski pun canggih, NeXT tidak pernah menjadi terkenal, kecuali di lingkup riset sains.
Di tahun 1986, Jobs bersama Edwin Catmull mendirikan Pixar, sebuah studio animasi komputer di Emeryville, California. Satu dekade kemudian, Pixar berkembang menjadi terkenal dan berhasil dengan film terobosannya, Toy Story. Sejak saat itu Pixar telah menelurkan film-film yang memenangkan Academy Award, seperti Finding Nemo dan The Incredibles. Perusahaan itu kemudian membeli NeXT seharga US$429 juta di tahun 1996. Dan di tahun itu pula, Apple membawa Jobs kembali ke perusahaan yang ia dirikan.
Kisah Jobs menjadi teramat manis. Dia merupakan sedikit orang yang gagal dalam pendidikan. Dia tak pernah tamat kuliah, namun berhasil menjadi satu CEO tersukses.
Itulah sekelumit cerita mengenai kegigihan Steve Jobs, pendiri Apple. Ketika memberikan pidato di Stanford University, Juni 2005, Jobs berterus terang soal kegagalannya di Apple, katanya, ”Saya gagal mengambil kesempatan.” Lebih lanjut, Jobs mengatakan, ”Apa yang terjadi di Apple sedikit pun tak mengubah saya. Saya telah ditolak, namun saya tetap cinta. Maka, saya memutuskan untuk mulai lagi dari nol.” Dari cerita ini tergambar jelas, Jobs tak malu mengakui kegagalannya. Ia tak mau menyerah begitu saja. Kemudian Jobs memperbaiki dan mengevaluasi kegagalannya untuk kemudian meraih sukses di tahun-tahun berikutnya.
Bagaimana dengan kita? Tentunya kita sering kali mendapatkan kegagalan. Dalam hal apa saja. Termasuk mungkin, gagal dalam cinta. Gagal dalam berbisnis. Gagal dalam pekerjaan. Gagal dalam mendidik anak. Atau bahkan, gagal dalam membina rumah tangga.
Sejatinya, kegagalan merupakan suatu hal yang manusiawi. Kegagalan bukanlah sesuatu hal yang buruk. Jadi, mengapa harus malu. Masalahnya, apakah kita berani untuk mengakui suatu kegagalan.
Mengakui kegagalan memang bukanlah perkara yang mudah. Orang yang dengan tulus mengakui kegagalannya, sudah tentu memiliki jiwa besar. Karena tidak mudah untuk mengakui suatu kegagalan, maka diperlukan tingkat keberanian tersendiri dan kejujuran yang paling dalam.
Mengakui kegagalan juga membuka peluang alternatif terbukanya jalan lain. Kita pun tak hanya terpaku pada satu jalan. Dan seperti yang dialami Jobs, mengakui kegagalan juga memberikan pelajaran yang lebih baik lagi untuk tidak mengulangi kesalahan pada hal yang sama.
Ketika kita mengakui kegagalan, niscaya kita akan melihat seluruh perjalanan yang sudah kita lalui dengan jernih. Alhasil, langkah untuk memperbaikinya dan mengubahnya menjadi lebih ringan dilakukan. Namun tentu saja, hal itu harus dibarengi dengan langkah-langkah untuk membuat perubahan. Setelah mengetahui letak kesalahannya, langkah selanjutnya yang ditempuh ialah mengatur kembali rencana berikutnya.
Mengakui kegagalan, bukanlah ’gagal, titik sampai disini’. Bukan titik, melainkan koma. Mengakui kegagalan bukanlah suatu pemberhentian akhir, melainkan suatu terminal transit menuju perjalanan berikutnya yang lebih baik. (150908)
Sumber: Mengakui Kegagalan oleh Sonny Wibisono, penulis, tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri Komentar sehat dan membangun