Memang masih banyak cerita seperti itu di zaman yang dibilang modern ini. Seperti kisah seorang wanita berikut ini. Walau begitu ia tetap berjuang meraih cinta sejati yang tak pernah mengenal kata terlambat.
Pernahkan Anda berada dalam suatu momen krusial, di mana kebahagiaan Anda ke depan sudah ditentukan, tapi Anda justru...diam seribu bahasa? Yang ada Anda hanya mengangguk-angguk bak robot, berbicara ala kadarnya seperti anak kecil yang minim penguasaan kosa kata, tersenyum tanpa ketulusan, mengikuti segala lontaran suara yang kurang lebih bernada sama: “Kamu menikah saja ya sama si Mr.Nice, dia kan,well, baik, pintar, dan pekerjaannya bagus.” Yes, sangat layak dijadikan suami. Tapi, masalahnya...Anda tidak cinta dia. “I’m already in love with another man!” jerit hati Anda.
Walau begitu, saya tetap menikah dengan Mr.Nice. biaya pernikahan sebesar Rp 700 juta tetap digelontorkan, gaun pernikahan tetap dirancang, kartu undangan tetap disebar, dan janji menikah tetap diucap. Selama semua itu berlangsung, saya tetap merasa numb, tak kuasa berkata apa-apa, tak mampu mengucapkan apa yang sebenarnya diinginkan oleh hati, yaitu, kalau saya lebih ingin bersama si dia, lebih ingin menikah dengan dia, the other guy.
Meskipun pada kenyataannya, he’s actually the first guy. Saya sudah lama berhubungan dengan, panggil saja, Mr First, sejak masa SMU. Saya kenal dia dari lingkaran pertemanan, dan, saat pertama bertemu, hmm, inginnya sih ada anekdot romantis untuk diceritakann (“Wajahnya membuat lutut saya lemas!” atau “Senyumannya membuat saya gugup!”), tapi sayangnya, tiada kesan pertama – it was definitely not love at first sight. Saya baru mengenalnya lebih dekat setelah dia melakukan pendekatan. Dan setelah beberapa minggu menjalani kencan dan segala manuver yang menyertainya, akhirnya kami pun jadian. Begitulah awal relationship saya dengan Mr.First. Very ordinary.
Walau begitu hubungan kami cukup solid, tak terpisahkan sampai kami masuk ke jenjang kuliah. Orangtua saya pun awalnya sangat menyukai Mr.First, yang kehadirannya sudah tak asing lagi di tengah keluarga besar. Dari luar, memang hubungan kami terlihat sempurna, very much in love, dan memiliki cirlce of friends yang mengenal dekat satu sama lain. Dalam suatu relationship, jelas hal itu merupakan bonus. Namun, di balik itu, sebenarnya ada ganjalan yang cukup besar: my boyfriend is a drug addict.
Tapi, saya juga tidak ingin bohong, I’m no angel, karena saya pun pernah mencobanya, tapi itu lebih karena ingin having fun dan (hampir) semua teman-teman ikut melakukannya. Namun saya tak pernah membiarkan diri saya sampai masuk ke dalam tahap kecanduan, dan yang saya sesali, Mr.First terlanjur masuk ke dalam tahap itu. Oleh karena itu, ada masa-masa ketika saya terus menempel dengan si dia karena saya ingin memantau apa yang dia lakukan. Oke, mungkin ini terdengar terlalu mulia (dan suatu hal yang sepertinya hampir semua wanita ingin lakukan kepada pasangan mereka), tapi saya tetap bertahan di relationship karena saya ingin mengubahnya. I was trying to “fix” him.
Saya sampai rela bolos kuliah hanya untuk mengikutinya ke mana pun. Bagi beberapa pria, mungkin saya tipe wanita yang wajib dihindari, tapi saya tak peduli, I love him too much that I don’t want to see him ruin his life.
Tak bisa dipungkiri, perjalanan menuju ke situ begitu terjal dan rumit. Pertengkaran kerap terjadi, dan salah satu yang terbesar adalah saat kami bertengkar di rumah saya, yang konsekuensinya semua orang bisa mendengar dan mengetahui akar permasalahan, termasuk orangtua saya! Sejak itulah – setelah hampir 10 tahun pacaran – orangtua saya mulai tidak menaruh hati pada Mr.First. Kepercayaan mereka terhadapnya langsung pudah dan ekspektasi sebagai calon menantu pun buyar. Yang akhirnya memaksa hubungan saya bersama Mr.First dijalani secara diam-diam. Lalu masuklah Mr.Nice ke dalam hidup saya...lagi. Nice, But Not Enough for Love.
Mengapa saya bilang “lagi”? karena sebenarnya saya sudah mengenalnya sejak SMP, karena dia tetangga saya, dan karena sebenarnya dulu saya cukup dekat, yah, “cinta monyet” lah kalau boleh dibilang. Namun kemudian Mr.First muncul dan saya versi “agak dewasa” lebih memilih bersama dia. Sampai akhirnya, orangtua saya mempertemukan kami kembali, dan tak lama statusnya dipromosikan menjadi calon suami yang ideal. He’s such a sweet guy, baik dan mapan – segala kualitas yang semestinya bisa menjerat perhatian saya. Tapi tetap, hati saya tertambat di tempat lain.
Dan sayangnya, hati saya seolah tak kuasa “berbicara” saat berada di depan orangtua saya, saat tak hanya mulut tapi segala gerak-gerik dan ekspresi menegaskan approval mereka pada sosok Mr.Nice, saat mulut mereka mengucapkan kata-kata yang sebenarnya direspon oleh hati saya yang memberontak (tapi tetap tak bersuara dan bertindak): “Kamu menikah saja sama dia ya.”
Saya hanya bisa mengangguk mengiyakan. Pasrah. Sementara hubungan dengan Mr.Nice terus berjalan, romansa saya dengan Mr.First juga terus berlanjut. Saat yang bersamaan ia perlahan mulai menunjukkan kemauannya menjauh dari dunia obat-obatan, yang membuat saya melihat secercah harapan dalam relationship ini. I know, semua ini terlihat begitu complicated, bahwa hidup saya mesti berjalan di atas kebohongan, dan yang sebenarnya bisa dengan mudah dituntaskan dengan kejujuran. Tapi apabila Anda pernah berhadapan dengan seorang ayah yang begitu baik, dan seorang ibu yang tengah bergumul dengan penyakit diabetes yang kian melemahkan kondisinya, yang kemudian merusak ginjalnya, then you’ll know the feeling. Anda pasti tidak ingin mengecewakan mereka.
Lantas saya pun menikah dengan Mr.Nice, dalam pernikahan besar-besaran yang selama berjalan yang bisa saya pikirkan hanyalah Mr.First. Tapi apa yang bisa saya lakukan sekarang? It’s too late – sekarang saya sudah jadi istri orang, dan, mau tidak mau, saya mesti menjalankan kewajiban saya sebagai seorang istri di malam pernikahan. I felt nothing. Dan sebagai istri seseorang, saya tetap bertemu dengan Mr.First (di minggu pertama setelah saya menikah!), and we had sex. Kok bisa saya melakukannya? Saya tidak tahu; saya tidak memikirkan tentang hal lainnya. Saya tak pernah mencoba untuk menimbang-nimbang konsekuensinya. Sampai beberapa minggu kemudian..ketika hasil tes menunjukkan saya hamil.
Keputusan yang Pasti
Jujur, awalnya saya tak tahu anak yang saya kandung ini anak siapa, tapi lambat laun, entah kenapa, saya sangat yakin kalau anak ini adalah buah cinta saya dan Mr.First.
Dan mulai saat itulah, hati saya perlahan-lahan menunjukkan keberanian untuk mengungkapkan segalanya, untuk mengutarakan keinginan yang selama ini tertimbun oleh suara-suara yang bukan milik saya, bahwa my first and only choice is Mr.First. Dan, setelah masa menikah hanya sekitar dua minggu, saya menyampaikannya ke sang suami, yang hanya bisa terdiam, terlebih saat saya mengatakan saya ingin cerai. Ia tetap terdiam (dengan ekspresi nelangsa) di tengah ucapan permintaan maaf saya yang bertubi-tubi dan air mata yang tak henti mengalir. Ia tahu saya hamil, tapi saya tanpa segan mengatakan, “Saya yakin kalau ini adalah bayi saya dan dia”. Lalu ia bertanya dengan suara datar apakah saya benar-benar yakin akan keputusan saya, dan saya pun mengangguk pasti.
Lalu ia berkata, kalau saya mau cerai, maka saya harus mengurusnya sendiri. Dan itulah akhir dari percakapan kami, setelahnya ia kembali ke rumah orangtuanya. Dan keberanian itu tetap bertahan saat berhadapan dengan orangtua saya. Tentu, awalnya saya menerima resistensi, namun orangtua mana sih yang menginginkan anaknya untuk cerai? Tapi tekad saya sudah bulat, dan giliran mereka yang hanya bisa mengangguk mengiyakan. Pasrah. Ini kehidupan saya, dan masalah siapa yang paling tahu saya bahagia atau tidak, ya tentu adalah saya sendiri.
Lalu, setahun kemudian, akhirnya saya resmi cerai dari Mr.Nice dan tak lama, saya pun melahirkan anak saya yang pertama. It’s a boy, yang saya yakin memiliki mata sang ayah, yaitu Mr.First. Dan saat itu ia pun berada di samping saya, kami berdua tak percaya kalau hal ini benar-benar terjadi. Kalau kita sekarang telah menjadi orangtua. Walau begitu, keluarga Mr.Nice tak begitu saja menerima situasi – mereka bersikeras untuk mengetahui siapa ayahnya yang sebenarnya. Lalu kami pun memeriksa tipe darah Diego, nama yang kami berikan kepada sang anak, yang ternyata adalah AB. Darah kami?
Mr.Nice O, Saya A, dan Mr.First...B. And so, it’s official, he is our son. Sepertinya untuk pertama kalinya semenjak sekian lama, saya bisa mengehela naps lega. Akhirnya semua berjalan sesuai dengan apa yang saya inginkan. Ada satu momen yang membuat saya terharu: Ketika suatu saat saya, Diego, dan orangtua baru saja pulang, dan Mr.First telah menanti di rumah. Ayah saya waktu itu belum bisa menerima kehadirannya – ia bahkan sampai tidak turun dari mobil – tapi tahu apa yang dikatakan oleh Ibu saya ke cucunya?
“Tuh ‘Diego, Papa kamu ‘nunggu.” Dan, tak lama setelah itu, Ibu saya meninggal dunia. Tak terasa, setahun telah lewat, dan saya pun berada di sebuah pernikahan yang lain. And, yes, I am once again the bride, and now it’s my real, dream wedding (meskipun saya sedih karena tanpa ditemani sosok Ibu). Simpel dan tulus, di hadapan seorang pria yang benar-benar saya cintai. Hmm, kalau ditanya, apa sih yang membuat saya jatuh cinta kepadanya? Maka saya akan bingung. Dibilang ganteng, nggak juga; kaya? Nggak.
Tapi kalau memang sudah berurusan dengan masalah hati, kepada siapa “ia” berpaling dan merasa nyaman, memang faktor eksternal seperti fisik atau harta duniawi, menjadi tak bernilai. Am I right, ladies?
Source : Cosmopolitan Edisi Februari 2013 Halaman 197
Pernahkan Anda berada dalam suatu momen krusial, di mana kebahagiaan Anda ke depan sudah ditentukan, tapi Anda justru...diam seribu bahasa? Yang ada Anda hanya mengangguk-angguk bak robot, berbicara ala kadarnya seperti anak kecil yang minim penguasaan kosa kata, tersenyum tanpa ketulusan, mengikuti segala lontaran suara yang kurang lebih bernada sama: “Kamu menikah saja ya sama si Mr.Nice, dia kan,well, baik, pintar, dan pekerjaannya bagus.” Yes, sangat layak dijadikan suami. Tapi, masalahnya...Anda tidak cinta dia. “I’m already in love with another man!” jerit hati Anda.
Walau begitu, saya tetap menikah dengan Mr.Nice. biaya pernikahan sebesar Rp 700 juta tetap digelontorkan, gaun pernikahan tetap dirancang, kartu undangan tetap disebar, dan janji menikah tetap diucap. Selama semua itu berlangsung, saya tetap merasa numb, tak kuasa berkata apa-apa, tak mampu mengucapkan apa yang sebenarnya diinginkan oleh hati, yaitu, kalau saya lebih ingin bersama si dia, lebih ingin menikah dengan dia, the other guy.
Meskipun pada kenyataannya, he’s actually the first guy. Saya sudah lama berhubungan dengan, panggil saja, Mr First, sejak masa SMU. Saya kenal dia dari lingkaran pertemanan, dan, saat pertama bertemu, hmm, inginnya sih ada anekdot romantis untuk diceritakann (“Wajahnya membuat lutut saya lemas!” atau “Senyumannya membuat saya gugup!”), tapi sayangnya, tiada kesan pertama – it was definitely not love at first sight. Saya baru mengenalnya lebih dekat setelah dia melakukan pendekatan. Dan setelah beberapa minggu menjalani kencan dan segala manuver yang menyertainya, akhirnya kami pun jadian. Begitulah awal relationship saya dengan Mr.First. Very ordinary.
Walau begitu hubungan kami cukup solid, tak terpisahkan sampai kami masuk ke jenjang kuliah. Orangtua saya pun awalnya sangat menyukai Mr.First, yang kehadirannya sudah tak asing lagi di tengah keluarga besar. Dari luar, memang hubungan kami terlihat sempurna, very much in love, dan memiliki cirlce of friends yang mengenal dekat satu sama lain. Dalam suatu relationship, jelas hal itu merupakan bonus. Namun, di balik itu, sebenarnya ada ganjalan yang cukup besar: my boyfriend is a drug addict.
Tapi, saya juga tidak ingin bohong, I’m no angel, karena saya pun pernah mencobanya, tapi itu lebih karena ingin having fun dan (hampir) semua teman-teman ikut melakukannya. Namun saya tak pernah membiarkan diri saya sampai masuk ke dalam tahap kecanduan, dan yang saya sesali, Mr.First terlanjur masuk ke dalam tahap itu. Oleh karena itu, ada masa-masa ketika saya terus menempel dengan si dia karena saya ingin memantau apa yang dia lakukan. Oke, mungkin ini terdengar terlalu mulia (dan suatu hal yang sepertinya hampir semua wanita ingin lakukan kepada pasangan mereka), tapi saya tetap bertahan di relationship karena saya ingin mengubahnya. I was trying to “fix” him.
Saya sampai rela bolos kuliah hanya untuk mengikutinya ke mana pun. Bagi beberapa pria, mungkin saya tipe wanita yang wajib dihindari, tapi saya tak peduli, I love him too much that I don’t want to see him ruin his life.
Tak bisa dipungkiri, perjalanan menuju ke situ begitu terjal dan rumit. Pertengkaran kerap terjadi, dan salah satu yang terbesar adalah saat kami bertengkar di rumah saya, yang konsekuensinya semua orang bisa mendengar dan mengetahui akar permasalahan, termasuk orangtua saya! Sejak itulah – setelah hampir 10 tahun pacaran – orangtua saya mulai tidak menaruh hati pada Mr.First. Kepercayaan mereka terhadapnya langsung pudah dan ekspektasi sebagai calon menantu pun buyar. Yang akhirnya memaksa hubungan saya bersama Mr.First dijalani secara diam-diam. Lalu masuklah Mr.Nice ke dalam hidup saya...lagi. Nice, But Not Enough for Love.
Mengapa saya bilang “lagi”? karena sebenarnya saya sudah mengenalnya sejak SMP, karena dia tetangga saya, dan karena sebenarnya dulu saya cukup dekat, yah, “cinta monyet” lah kalau boleh dibilang. Namun kemudian Mr.First muncul dan saya versi “agak dewasa” lebih memilih bersama dia. Sampai akhirnya, orangtua saya mempertemukan kami kembali, dan tak lama statusnya dipromosikan menjadi calon suami yang ideal. He’s such a sweet guy, baik dan mapan – segala kualitas yang semestinya bisa menjerat perhatian saya. Tapi tetap, hati saya tertambat di tempat lain.
Dan sayangnya, hati saya seolah tak kuasa “berbicara” saat berada di depan orangtua saya, saat tak hanya mulut tapi segala gerak-gerik dan ekspresi menegaskan approval mereka pada sosok Mr.Nice, saat mulut mereka mengucapkan kata-kata yang sebenarnya direspon oleh hati saya yang memberontak (tapi tetap tak bersuara dan bertindak): “Kamu menikah saja sama dia ya.”
Saya hanya bisa mengangguk mengiyakan. Pasrah. Sementara hubungan dengan Mr.Nice terus berjalan, romansa saya dengan Mr.First juga terus berlanjut. Saat yang bersamaan ia perlahan mulai menunjukkan kemauannya menjauh dari dunia obat-obatan, yang membuat saya melihat secercah harapan dalam relationship ini. I know, semua ini terlihat begitu complicated, bahwa hidup saya mesti berjalan di atas kebohongan, dan yang sebenarnya bisa dengan mudah dituntaskan dengan kejujuran. Tapi apabila Anda pernah berhadapan dengan seorang ayah yang begitu baik, dan seorang ibu yang tengah bergumul dengan penyakit diabetes yang kian melemahkan kondisinya, yang kemudian merusak ginjalnya, then you’ll know the feeling. Anda pasti tidak ingin mengecewakan mereka.
Lantas saya pun menikah dengan Mr.Nice, dalam pernikahan besar-besaran yang selama berjalan yang bisa saya pikirkan hanyalah Mr.First. Tapi apa yang bisa saya lakukan sekarang? It’s too late – sekarang saya sudah jadi istri orang, dan, mau tidak mau, saya mesti menjalankan kewajiban saya sebagai seorang istri di malam pernikahan. I felt nothing. Dan sebagai istri seseorang, saya tetap bertemu dengan Mr.First (di minggu pertama setelah saya menikah!), and we had sex. Kok bisa saya melakukannya? Saya tidak tahu; saya tidak memikirkan tentang hal lainnya. Saya tak pernah mencoba untuk menimbang-nimbang konsekuensinya. Sampai beberapa minggu kemudian..ketika hasil tes menunjukkan saya hamil.
Keputusan yang Pasti
Jujur, awalnya saya tak tahu anak yang saya kandung ini anak siapa, tapi lambat laun, entah kenapa, saya sangat yakin kalau anak ini adalah buah cinta saya dan Mr.First.
Dan mulai saat itulah, hati saya perlahan-lahan menunjukkan keberanian untuk mengungkapkan segalanya, untuk mengutarakan keinginan yang selama ini tertimbun oleh suara-suara yang bukan milik saya, bahwa my first and only choice is Mr.First. Dan, setelah masa menikah hanya sekitar dua minggu, saya menyampaikannya ke sang suami, yang hanya bisa terdiam, terlebih saat saya mengatakan saya ingin cerai. Ia tetap terdiam (dengan ekspresi nelangsa) di tengah ucapan permintaan maaf saya yang bertubi-tubi dan air mata yang tak henti mengalir. Ia tahu saya hamil, tapi saya tanpa segan mengatakan, “Saya yakin kalau ini adalah bayi saya dan dia”. Lalu ia bertanya dengan suara datar apakah saya benar-benar yakin akan keputusan saya, dan saya pun mengangguk pasti.
Lalu ia berkata, kalau saya mau cerai, maka saya harus mengurusnya sendiri. Dan itulah akhir dari percakapan kami, setelahnya ia kembali ke rumah orangtuanya. Dan keberanian itu tetap bertahan saat berhadapan dengan orangtua saya. Tentu, awalnya saya menerima resistensi, namun orangtua mana sih yang menginginkan anaknya untuk cerai? Tapi tekad saya sudah bulat, dan giliran mereka yang hanya bisa mengangguk mengiyakan. Pasrah. Ini kehidupan saya, dan masalah siapa yang paling tahu saya bahagia atau tidak, ya tentu adalah saya sendiri.
Lalu, setahun kemudian, akhirnya saya resmi cerai dari Mr.Nice dan tak lama, saya pun melahirkan anak saya yang pertama. It’s a boy, yang saya yakin memiliki mata sang ayah, yaitu Mr.First. Dan saat itu ia pun berada di samping saya, kami berdua tak percaya kalau hal ini benar-benar terjadi. Kalau kita sekarang telah menjadi orangtua. Walau begitu, keluarga Mr.Nice tak begitu saja menerima situasi – mereka bersikeras untuk mengetahui siapa ayahnya yang sebenarnya. Lalu kami pun memeriksa tipe darah Diego, nama yang kami berikan kepada sang anak, yang ternyata adalah AB. Darah kami?
Mr.Nice O, Saya A, dan Mr.First...B. And so, it’s official, he is our son. Sepertinya untuk pertama kalinya semenjak sekian lama, saya bisa mengehela naps lega. Akhirnya semua berjalan sesuai dengan apa yang saya inginkan. Ada satu momen yang membuat saya terharu: Ketika suatu saat saya, Diego, dan orangtua baru saja pulang, dan Mr.First telah menanti di rumah. Ayah saya waktu itu belum bisa menerima kehadirannya – ia bahkan sampai tidak turun dari mobil – tapi tahu apa yang dikatakan oleh Ibu saya ke cucunya?
“Tuh ‘Diego, Papa kamu ‘nunggu.” Dan, tak lama setelah itu, Ibu saya meninggal dunia. Tak terasa, setahun telah lewat, dan saya pun berada di sebuah pernikahan yang lain. And, yes, I am once again the bride, and now it’s my real, dream wedding (meskipun saya sedih karena tanpa ditemani sosok Ibu). Simpel dan tulus, di hadapan seorang pria yang benar-benar saya cintai. Hmm, kalau ditanya, apa sih yang membuat saya jatuh cinta kepadanya? Maka saya akan bingung. Dibilang ganteng, nggak juga; kaya? Nggak.
Tapi kalau memang sudah berurusan dengan masalah hati, kepada siapa “ia” berpaling dan merasa nyaman, memang faktor eksternal seperti fisik atau harta duniawi, menjadi tak bernilai. Am I right, ladies?
Source : Cosmopolitan Edisi Februari 2013 Halaman 197
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri Komentar sehat dan membangun