Senin, 23 Juni 2008

"I Love You Just The Way You Are"


Saya sangat terharu ketika datang menghadiri perayaan hari ulang
tahun pernikahan ke-60 seorang kenalan. Betapa bahagianya pasangan
yang merayakan. Mereka duduk berdampingan sambil bergandengan
tangan. Senyum menghiasi wajah keduanya. Seorang rekan yang hadir
bertanya "Apakah kita bisa seperti mereka, punya cinta yang tak
tergerus waktu?"

Seiring dengan perkembangan zaman, pernikahan sebagai suatu ikatan
sakral antarmanusia mulai dipertanyakan. Perselingkuhan menjadi hal
yang biasa dilakukan. Perceraian pun lazim kita dengar dan kita
tanggapi secara biasa pula. Kesetiaan menjadi kata yang sulit
dilaksanakan. Sampai di manakah batas kesetiaan manusia? Akankah
cinta yang tadinya ada menjadi tiada? Apakah benar kita dapat
mencintai seseorang untuk selama-lamanya? Di saat susah, di kala
senang, sampai ajal memisahkan? Bagaimana mewujudkan cinta seperti
itu?

Saat saya berkumpul dengan beberapa orang teman, kami berbincang-
bincang mengenai makna kesetiaan dan hakikat pernikahan. Maklum,
beberapa di antara kita akan melangkah ke jenjang pernikahan.
Pernikahan menjadi topik seru yang diperbincangkan mulai dari
persiapan, pesta, hingga calon pasangan. Soal pasangan masing-masing
adalah hal paling menarik dibahas. Sampai di mana kita merasa cocok
dengan pasangan kita? Seorang teman mengisahkan pengalaman rekan di
kantornya yang membatalkan pernikahan meskipun waktu tinggal sebulan
lagi. Kami semua terkaget-kaget karena persiapan sudah sedemikian
mantap. Gedung tempat pesta sudah dibayar, foto prewedding sudah
kelar, undangan hampir disebar. Apa yang terjadi? Ternyata sang pria
merasa tidak siap untuk menikah dan merasa tidak cocok dengan sang
wanita. Padahal pasangan itu berpacaran lebih dari lima tahun.

Menyatukan dua orang dengan latar belakang yang berbeda, bahkan
sangat berbeda, bukanlah hal yang mudah. Budaya, pola asuh,
pendidikan, dan lingkungan keluarga serta pergaulan sangat
mempengaruhi perilaku seseorang dan kecocokannya dengan orang lain.
Terkadang yang kita anggap cocok saat ini, belum tentu cocok nanti.
Seiring dengan perjalanan waktu, kita tidak hanya melihat persamaan,
namun juga melihat perbedaan. Kemudian sampai di mana kita mampu
mengelola perbedaan tersebut menjadi sesuatu yang indah, di mana
yang satu dapat melengkapi yang lain? Bila kedua belah pihak tidak
dapat menerima perbedaan yang ada, atau malah hanya berdiam diri dan
menyimpan dalam hati tanpa membicarakannya, akan muncul masalah
dalam hubungan tanpa mereka sendiri.

Seringkali orang mencari pasangan berdasarkan penampilan fisik atau
materi semata. Padahal standar fisik (cantik, langsing, ganteng,
kekar) atau materi bersifat subjektif. Memang kadang hal tersebut
dapat membuat kita bahagia namun di mana esensi cinta?

Robert Sternberg, seorang psikolog mengemukakan konsepsi mengenai
cinta. Ia mengilustrasikan cinta dalam bentuk segitiga.

Cinta yang penuh atau lengkap adalah cinta yang disebut consummate
love, yakni kombinasi dari adanya keintiman (intimacy), hasrat
(passion), dan komitmen (commitment) . Cinta tanpa komitmen tidak
menunjukkan adanya kesetiaan dan saling mengasihi yang mendalam.
Cinta tersebut hanya karena nafsu, membara namun pada akhirnya
berpaling ketika ada objek cinta yang lain. Komitmen menandakan
adanya penerimaan antara yang satu dengan yang lain dan menjadikan
cinta sebagai sesuatu yang suci di antara mereka.

Di lain pihak, cinta tanpa hasrat merupakan cinta yang hampa.
Komitmen saja, misalnya karena terpaksa menikah karena pilihan orang
tua atau karena berhutang budi tanpa memiliki hasrat, menyebabkan
ikatan karena keharusan, bukan karena kerelaan. Baik, bila pada
akhirnya cinta dapat tercipta. Bila tidak, hubungan terasa hampa.

Cinta yang timbul karena komitmen dan hasrat semata, tanpa mau
mengenal pasangan lebih dalam dan berusaha memahami serta membangun
keintiman yang lebih dalam adalah cinta yang kekanak-kanakan.
Seperti cinta monyet. Esensi cinta juga sulit ditemukan dalam cinta
semacam ini. Masalah dapat timbul dan cinta dapat hilang begitu
saja.

Bila kita mampu membangun komitmen, mengenal pasangan kita lebih
jauh, memahami dirinya sebagai pribadi yang unik dan kita cintai,
memiliki hasrat untuk bersamanya, maka kita akan mendapatkan cinta
seutuhnya. Tidak mudah memang. Namun, belajar untuk menerima, saling
membangun satu sama lain, dan menyadari bahwa cinta saya adalah pada
pribadi ini dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah cinta
yang sebenarnya.

Pada dasarnya, mewujudkan hal tersebut tidak semudah ketika saya
menuliskannya. Seperti telah diungkapkan di atas, menyatukan segala
perbedaan bukan hal yang mudah. Berusaha untuk menerima dengan
lapang dada, tidaklah mudah. Tetapi pasangan seperti apakah yang
kita cari? Sampai kapan kita akan menemukan pasangan yang sempurna?
Jawabannya tidak akan pernah ada kecuali kita sendiri yang
menciptakan kesempurnaan itu. Cinta yang timbul dari hati, dari
kejujuran dan ketulusan, love actually alias I love you just the way
you are. Hal tersebut pada akhirnya akan membantu kedua belah pihak
menyelesaikan masalah yang ada. Toh kita tidak akan tetap muda dan
terus mencari dan mencari. Suatu hari kita akan merasakan kerinduan
untuk berbagi dengan orang yang penting dalam hidup kita, ingin
menggenapkan tugas perkembangan kita yaitu membangun keluarga.

Pada saatnya nanti, pernikahan bukanlah permainan, bukan hanya
sekadar pesta, namun merupakan janji suci dua insan. Apakah akan
berakhir dengan kesedihan karena sikap egois dan seenaknya sendiri
atau berakhir bahagia hingga akhir waktu kita sendiri yang dapat
menentukan.

Sumber: "I Love You Just The Way You Are" oleh Clara Moningka, dosen
Fakultas Psikologi Ukrida

1 komentar:

  1. blog kamu kalo diisi dengan cerita pribadi kamu pasti lbh asik... by eko84.blogspot.com

    BalasHapus

silahkan beri Komentar sehat dan membangun