Belakangan ini, sering kita mendengar berita
amuk massa di berbagai daerah di Tanah Air akibat ketidakpuasan massa pendukung pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) setempat. Mereka tidak hanya melakukan demonstrasi, bahkan bebera- pa oknum merusak tempat-tempat umum dan melakukan perbuatan anarki.
Kita tentu bertanya mengapa masyarakat mudah sekali menjadi marah.
Mengapa hal yang sebenarnya tidak terlalu menyangkut diri mereka
seperti pada pemilihan pilkada tersebut mampu membuat mereka lupa
diri dan bersikap anarkis?
Sebagian orang berpendapat, mungkin saja masyarakat yang mengamuk itu
ditunggangi oleh oknum dan pendukungnya yang marah karena tidak
terpilih dalam pilkada. Jadi massa itu hanya disuruh untuk bersikap
anarki oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab agar memperkeruh
suasana. Namun, mengapa massa mau melakukan hal itu dengan risiko
akan ditangkap oleh pihak berwajib?
Sebagai seorang dokter tentunya saya berusaha mencari dasar biologis
dari kemarahan dan perilaku agresif tersebut. Seperti yang saya
sampaikan dalam The 5th Asia Pacific Association of Psychotherapist,
2008 yang baru saja berlalu.
Kemarahan dan agresivitas dapat disebabkan sistem serotonergik di
dalam otak yang mengalami penurunan fungsi. Hipotesis ini
mengemukakan bahwa kurangnya serotonin di celah sinaps di otak
membuat seseorang menjadi mudah marah dan berperilaku agresif.
Serotonin merupakan neurotransmitter atau zat penghubung di otak yang
banyak dihubungkan dengan berbagai jenis gangguan jiwa, seperti
depresi, skizofrenia, dan gangguan kepribadian ambang.
Ketidakseimbangan zat ini dapat mengakibatkan seseorang lebih rentan
mengalami gangguan kejiwaan, seperti yang telah disebutkan
sebelumnya.
Lebih lanjut tentunya sebagai seorang yang bekerja di bidang
kesehatan jiwa, saya juga melihat fenomena kemarahan dan agresivitas
dari segi psikologis si pelaku. Kemarahan bisa kita identikan dengan
suatu reaksi yang biasa terjadi pada manusia, begitu pun dengan
agresivitas.
Pada zaman lampau, manusia-manusia purba melakukan perburuan untuk
menyediakan makanan, terutama pada musim dingin. Perburuan ini
membutuhkan agresivitas, dan ini mereka lakukan untuk bertahan hidup.
Tetapi pada zaman modern sekarang ini, apakah reaksi primitif seperti
ini masih perlu dan dipertontonkan dengan jelas. Apakah kemarahan
dalam menanggapi hasil pilkada adalah salah satu bentuk untuk
bertahan hidup?
Sebagian orang yang melakukannya tentu saja bisa membenarkan alasan
itu. Tentunya hal ini berlaku hanya untuk orang-orang yang
berkepentingan langsung dengan hasil pilkada itu. Tetapi mengapa
masyarakat yang tidak tahu apa pun bisa menjadi begitu mudah
terpengaruh untuk melakukan kegiatan anarki bersama-sama.
Kekecewaan Terpendam
Saya melihat masyarakat saat ini mudah menjadi marah karena sudah
begitu sering dikecewakan. Kekecewaan akibat apa yang diharapkan oleh masyarakat tidak sesuai dengan apa yang didapatkan.
Kekecewaan yang berlangsung lama ini dapat membuat masyarakat menjadi tertekan dan depresi, namun pada suatu saat dapat timbul sebagai suatu bentuk kemarahan dan perilaku agresif yang tak terkendali.
Saya pernah menulis di surat kabar ini bahwa kita harus banyak
belajar dari daya tahan masyarakat menghadapi keadaan ekonomi yang
semakin sulit. Mereka tidak mampu mengeluh, tapi mereka dapat tetap
hidup menjalani keadaan sulit tersebut.
Namun, hendaknya ini tidak membuat orang-orang yang berkuasa
membiarkan apa yang terjadi di masyarakat. Kesulitan ekonomi yang
terjadi di masyarakat terkadang begitu timpang dengan berbagai
tindakan korupsi yang dilakukan para penguasa. Bagaimana masyarakat
tidak mudah menjadi marah bila pemimpinnya sendiri tidak mampu
berempati terhadap nasib masyarakatnya, malahan sibuk memperkaya diri
sendiri dan berebut kekuasaan.
Hal ini membuat pada akhirnya begitu ada pemicu sedikit saja,
masyarakat akan terpicu ke dalam bentuk anarki karena tekanan besar
yang selama ini sulit mencari saluran pengeluarannya seperti
mendapatkan tempatnya.
Apa yang Harus Dilakukan
Kita tentunya menginginkan keadaan masyarakat yang sejahtera dan
sentosa. Untuk itu rasanya bukan hanya jargon yang kita butuhkan
untuk mengatasi hal ini, namun kerja nyata dengan mengatasi segala
persoalan sosial masyarakat yang semakin menumpuk.
Saya yakin dengan semakin sejahteranya masyarakat maka keinginan
mereka untuk melakukan protes terhadap pemerintah atau orang- orang
yang berkuasa akan semakin berkurang.
Kalau mereka sejahtera dan perutnya kenyang, untuk apa bersusah payah melakukan tindakan anarki yang dapat membuat mereka terjerat hukum.
Dalam hal ini, pemerintah dan orang-orang yang berkuasa dapat
memberikan ketenteraman kepada masyarakat dengan tidak melakukan
tindakan-tindakan yang sekiranya dapat membuat ma- syarakat kecewa
dan putus asa dengan keadaan yang ada. Tindakan-tindakan yang membuat kecewa tersebut tentunya tidak perlu lagi dibeberkan di sini.
Bila semua berjalan sebagaimana mestinya, niscaya kemarahan dan
agresivitas masyarakat dapat dikendalikan. Kalaupun ada yang terus
mengobarkan kebencian kepada pemerintah yang telah berlaku lurus dan
patut, maka orang tersebut mungkin selayaknya harus segera
berkonsultasi dengan saya. Si- apa tahu gangguan kejiwaan sedang
melanda dirinya. Mari kita wujudkan bersama masyarakat yang sejahtera dan sentosa.
Sumber: Mengapa Kita Mudah Marah oleh Andri Suryadi, Praktisi Kesehatan Jiwa dan Psikosomatik
Terima kasih anda tertarik dengan artikel saya
BalasHapusSemoga banyak membantu