Tak syak lagi, kejahatanlah yang membesarkan penjahat, yang dapat menghadirkan setan kelas kakap bagi kita, tetapi orang yang munafik jauh lebih bejat daripada seberat-beratnya penjahat.?br> -- Hannah Arendt, pakar politik Jerman, 1906 ?1975
PEMIMPIN yang baik hanya memiliki satu mata uang yang selalu laku di mana-mana. Apa itu? Keteladanan. Mereka menyadari, orang-orang di sekelilingnya melihat semua hal tentang dirinya. Tidak saja cara berpakaian, sikap, cara kerjanya, dan tentu saja perilakunya. Keteladanan merupakan satu-satunya hal yang tidak perlu dikotbahkan, tetapi jelas memberikan sebuah pegangan bagi siapa pun. Keteladanan memiliki pengaruh yang jauh lebih hebat dibandingkan dengan apa yang dikotbahkannya.
Mengapa tiba-tiba kita berbicara tentang keteladanan? Ada sebabnya. Pada 12 Maret lalu, di Amerika Serikat, tepatnya di New York, telah terjadi sebuah peristiwa politik penting. Inilah kisahnya. Pada tanggal tersebut, akhirnya Gubernur New York, Eliot Spitzer mengundurkan diri dari jabatannya. Pengunduran diri itu merupakan sesuatu yang mengejutkan karena reputasi cemerlang Spitzer dalam hal etika. Spitzer pun menghabiskan banyak waktu sepanjang karirnya untuk memburu korupsi kelembagaan dan jaringan prostitusi.
Spitzer terpilih sebagai Gubernur New York pada 2006. Sebelumnya, Spitzer adalah jaksa utama di negara bagian tersebut. Tahun 2002, ia digelari Crusader of The Year oleh Majalah Time. Ia memiliki reputasi sebagai seorang penegak hukum yang gigih. Spitzer sebelumnya dikenal dengan julukan Mr Clean, Sheriff of Wall Street, yang tegas dalam menghadapi maraknya bisnis prostitusi di New York. Tahun 2004, ia pernah menjadi bagian dari tim penyelidik New York City yang menangkap 18 orang yang terlibat promosi prostitusi.
Namun ironisnya, di balik catatan-catatan gemilang itu ternyata karier politik Eliot Spitzer berakhir dengan dunia yang selama ini digelutinya. Diam-diam dia memiliki hubungan dengan agen penyedia layanan seks komersial, Emperors Club-VIP. Selama ini Emperors Club-VIP dikenal sebagai agen yang menyediakan PSK bagi orang-orang kaya yang beroperasi di New York, Washington, Los Angeles, Miami, London, dan Paris. Skandal yang melibatkan Spitzer pertama kalinya diungkap oleh harian cetak terkemuka New York Times.
Penyelidikan kasus ini berawal dari sebuah penyadapan telepon di hotel di Washington. Seorang petugas penegak hukum yang menangani kasus ini mencurigai pelanggan yang dimaksud adalah Spitzer. Dalam percakapan tersebut, ditenggarai sang pelanggan membayar 4.300 dolar AS atau setara Rp 40 juta tunai bagi pelayanan pribadi yang diberikan oleh anggota klub Emperors Club-VIP yang diidentifikasi bernama Kristen. Tekanan yang bertubi-tubi dari berbagai pihak membuat Spitzer akhirnya mengundurkan diri. Dalam konferensi pengunduran dirinya, dengan mata berkaca-kaca, Spitzer mengatakan "Banyak hal lain yang harus dilakukan dan saya tidak bisa membiarkan kegagalan pribadi saya mengganggu pekerjaan publik saya. Karena alasan ini, saya mengundurkan diri dari jabatan gubernur.?Orang Amerika bolehlah bersenandung, seperti kata Maia Ahmad dalam lagu Buaya Darat, 밷usyet aku tertipu lagi.?
Urusan selingkuh Spitzer memang urusan pribadinya. Namun yang menjadi pertanyaan publik ialah bagaimana mungkin seorang pejabat yang dengan gigih memerangi jaringan prostitusi ternyata ia sendiri memakai salah satu jaringan prostitusi demi kenikmatannya. Tindakan Spitzer dinilai hipokrit atau dalam bahasa sehari-hari yang kita kenal, munafik. Spitzer jelas-jelas melakukan standar ganda.
Apa yang dialami Spitzer, tak beda jauh dengan apa yang dilakukan Paul Wolfowitz, orang nomor satu di Bank Dunia yang mengundurkan Mei tahun lalu. Gara-garanya? Dia memerintahkan agar gaji kekasihnya, Riza dinaikkan menjadi hampir 200.000 dollar AS per tahun ketika Riza dipindahkan dari Bank Dunia ke Departemen Luar Negeri. Aturan Bank Dunia melarang karyawan yang memiliki hubungan supervisi menjalin asmara. Skandal ini tak pelak mempermalukan Wolfowitz yang sedang gencar berkampanye tentang pemberantasan korupsi dalam penyaluran dana bantuan dari Bank Dunia. Dalam editorialnya, The Financial Times menulis, "Bila Presiden Bank Dunia bertahan, hal itu berisiko menjadi bahan ejekan dan kampanyenya soal pemerintahan yang bersih hanya akan dilihat sebagai kemunafikan" .
Menjadi pemimpin atau pun orang biasa memang tidak mudah. Apa yang ada di mulut, itu pula yang harus tercermin dalam tindakan. Dua pemimpin ini barangkali hanya salah satu puncak gunung es. Di bagian bawahnya, masih banyak pemimpin yang berlaku sama bahkan lebih buruk dari mereka.
Spitzer dan Wolfowitz pada akhirnya mengakui kesalahannya dan meminta maaf. Mereka pun, walau dengan berat hati, mengundurkan diri dari jabatannya. Bagaimana dengan kasus di Indonesia? Bila seorang pejabat di Indonesia tertangkap basah melakukan tindakan kesalahan, jangankan meminta maaf, mengakui kesalahannya pun tidak dilakukannya. Bahkan sedapat mungkin mengelak dari tuduhan atau berbohong kepada publik. Juga tak ada kata mundur sebelum benar-benat dipecat oleh atasan mereka. Dalam On Revolution (1963), Hannah Arendt, seorang pakar politik Jerman mengatakan, 밢nly crime and the criminal, it is true, confront us with the perplexity of radical evil; but only the hypocrite is really rotten to the core.?Yang artinya kurang lebih, tak syak lagi, kejahatanlah yang membesarkan penjahat, yang dapat menghadirkan setan kelas kakap bagi kita, tetapi orang yang munafik jauh lebih bejat daripada seberat-beratnya penjahat.?
Keteladanan dan keteguhan adalah mata uang universal. Hijau bagi Anda adalah hijau bagi staf Anda. Begitu pula, hijau bagi Anda adalah hijau pula bagi isteri dan anak Anda. Sehijau apa pun 몉umput tetangga? jangan sekali-kali terpengaruh untuk membuat standar ganda.
Sumber: Hipokrisi dan Standar Ganda oleh Sonny Wibisono, penulis,
tinggal di Jakarta