Disiplin diri merupakan hal penting dalam setiap upaya membangun dan
membentuk karakter seseorang. Sebab karakter mengandung pengertian:
(1) Suatu kualitas positif yang dimiliki seseorang, sehingga
membuatnya menarik dan atraktif; (2) Reputasi seseorang; dan (3)
Seseorang yang unusual atau memiliki kepribadian yang eksentrik.
Akar kata karakter dapat dilacak dari kata Latin kharakter,
kharassein, dan kharax, yang maknanya "tools for marking", "to
engrave", dan "pointed stake". Kata ini mulai banyak digunakan
(kembali) dalam bahasa Perancis caractere pada abad ke-14 dan
kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi character, sebelum
akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter. Dalam Kamus
Poerwadarminta, karakter diartikan sebagai tabiat; watak; sifat-
sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang
daripada yang lain. Dengan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa
membangun karakter (character building) adalah proses mengukir atau
memahat jiwa sedemikian rupa, sehingga `berbentuk' unik, menarik,
dan berbeda atau dapat dibedakan dengan orang lain. Ibarat sebuah
huruf dalam alfabet yang tak pernah sama antara yang satu dengan
yang lain, demikianlah orang-orang yang berkarakter dapat dibedakan
satu dengan yang lainnya (termasuk dengan yang tidak/belum
berkarakter atau `berkarakter' tercela).
Tentang proses pembentukkan karakter ini dapat disebutkan sebuah
nama besar : Helen Keller (1880-1968). Wanita luar biasa ini ia
menjadi buta dan tuli di usia 19 bulan, namun berkat bantuan
keluarganya dan bimbingan Annie Sullivan (yang juga buta dan setelah
melewati serangkaian operasi akhirnya dapat melihat secara terbatas)
kemudian menjadi manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari
Radcliffe College di tahun 1904 pernah berkata: "Character cannot
be develop in ease and quite. Only through experience of trial and
suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition
inspired, and success achieved". Kalimat itu boleh jadi merangkum
sejarah hidupnya yang sangat inspirasional. Lewat perjuangan panjang
dan ketekunan yang sulit dicari tandingannya, ia kemudian menjadi
salah seorang pahlawan besar dalam sejarah Amerika yang mendapatkan
berbagai penghargaan di tingkat nasional dan internasional atas
prestasi dan pengabdiannya (lihat homepage www.hki.org) . Helen
Keller adalah model manusia berkarakter (terpuji). Dan sejarah
hidupnya mendemonstrasikan bagaimana proses membangun karakter itu
memerlukan disiplin tinggi karena tidak pernah mudah dan seketika
atau instant. Diperlukan refleksi mendalam untuk membuat rentetan
moral choice (keputusan moral) dan ditindaklanjuti dengan aksi nyata
sehingga menjadi praksis, refleksi, dan praktik. Diperlukan sejumlah
waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan
membentuk watak atau tabiat seseorang.
Selanjutnya, tentang nilai atau makna pentingnya karakter bagi
kehidupan manusia dewasa ini dapat dikutip pernyataan seorang Hakim
Agung di Amerika, Antonin Scalia, yang pernah mengatakan: "Bear in
mind that brains and learning, like muscle and physical skills, are
articles of commerce. They are bought and sold. You can hire them by
the year or by the hour. The only thing in the world NOT FOR SALE IS
CHARACTER. And if that does not govern and direct your brains and
learning, they will do you and the world more harm than good".
Scalia menunjukkan dengan tepat bagaimana karakter harus menjadi
fondasi bagi kecerdasan dan pengetahuan (brains and learning). Sebab
kecerdasan dan pengetahuan (termasuk informasi) itu sendiri memang
dapat diperjualbelikan. Dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di
era knowledge economy abad ke-21 ini knowledge is power.
Masalahnya, bila orang-orang yang dikenal cerdas dan berpengetahuan
tidak menunjukkan karakter (terpuji), maka tak diragukan lagi bahwa
dunia akan menjadi lebih dan semakin buruk. Dengan kata lain
ungkapan knowledge is power akan menjadi lebih sempurna jika
ditambahkan menjadi meminjam sebuah iklan yang pernah muncul di
Harian Kompas knowledge is power, but character is more.
Demikianlah makna penting sebuah karakter dan proses pembentukkannya
yang tidak pernah mudah melahirkan manusia-manusia yang tidak bisa
dibeli. Ke arah yang demikian itulah pendidikan dan pembelajaran
termasuk pengajaran di institusi formal dan pelatihan di institusi
nonformal seharusnya bermuara, yakni membangun manusia-manusia
berkarakter (terpuji), manusia-manusia yang memperjuangkan agar
dirinya dan orang-orang yang dapat dipengaruhinya agar menjadi lebih
manusiawi, menjadi manusia yang utuh atau memiliki integritas.[ aha]
Sumber: Membangun Karakter oleh Andrias Harefa, seorang trainer dan
penulis 30 buku laris.