Selasa, 25 Maret 2008

Mengelola Ekspektasi


"dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata... "
-- W.S Rendra, penyair Indonesia

KEJADIANNYA selalu sama. Seorang remaja pendiam, pemurung, dan
terkesan aneh dibandingkan teman-temannya yang lain. Dalam
kesendiriannya itu, sebuah dialog berkecamuk berat di kepalanya.
Singkat cerita, dikeheningan pagi, dia masuk ke dalam ruangan
kampus. Sepucuk pistol dan banyak lagi senjata api lainnya
dimasukkan ke dalam ranselnya. Di pagi buta. Udara pun masih dingin,
bahkan masih ada kabut yang menerpa wajah. Lalu terjadilah bencana.

Pistolnya menyalak seperti anjing yang melihat orang yang tak
dikenalnya. Berondong sana, berondong sini. Dar-der-dor. Begitulah
bunyi peluru ketika ditembakkan. Pistol itu mengambil nyawa orang-
orang di sekitarnya. Mereka terjengkang. Mati, satu demi satu.
Lantas, episode penutup pun terjadi. Dor, dia menembak kepalanya
sendiri. Pemuda itu mati menyusul orang-orang yang lebih dulu dia
tembak. Tragis. Seperti itulah kisah hidupnya.

Itulah sepenggal kisah yang terjadi dalam film Elephant, garapan
sutradara Gus van Sant. Film yang berdurasi 81 menit ini dengan
gamblang menceritakan bagaimana sebuah perencanaan pembunuhan
dilakukan oleh seorang pemuda di sekolahnya. Tapi, ah, untung hanya
sebuah film.

Untung? Not really. Film ini pada akhirnya memang hanya rekaan. Tapi
van Sant punya blue print yang jelas tentang peristiwa ini, yakni
peristiwa yang terjadi di Columbine High School, pada 1999. Kejadian
di sana, kurang lebih persis seperti dalam filmnya. Semula orang
berharap kejadian itu merupakan yang terakhir, tapi ternyata tidak.
Seperti memutar pita seluloid, berbagai kejadian yang mirip pun
kembali terulang. Malapetaka paling akhir justeru terjadi di Hari
Kasih Sayang, 14 Februari 2008. Di Amerika Serikat, 18 orang di
kampus Northern Illinois tertembak oleh seorang pria berkulit putih.
Empat orang dilaporkan tewas. Kejadiannya selalu sama: si penembak
akhirnya bunuh diri.

Singkatnya, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, Kantor Berita AFP
melansir telah terjadi sedikitnya 16 penembakan di kampus-kampus dan
sekolah-sekolah. Kebanyakan dari mereka akhirnya menembak dirinya
sendiri. Pelakunya pun sebagian besar adalah remaja atau siswa dari
sekolah tersebut. Dari kejadian-kejadian tersebut, diduga pelaku
mengalami stres, sehingga melampiaskannya kekesalannya dengan
membunuh dan melukai orang lain. Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa
terjadi?

Betul, bahwa keadaan di Amerika Serikat dan di sini tentu berbeda.
Tapi, marilah kita tarik garis kesamaannya. Dalam kehidupan sehari-
hari, sering kali kita menjumpai bahwa kenyataan yang terjadi pada
akhirnya tidak sesuai dengan yang kita harapkan pada awalnya.
Sebenarnya hal itu normal saja. Masalahnya adalah ketika ternyata
kenyataan yang terjadi jauh dari harapan, sungguh memukul hati dan
perasaan. Kita merancang dengan matang suatu plan jauh-jauh hari
sebelumnya. Kita berharap bahwa rencana itu seharusnya terjadi.
Ternyata, setelah rencana telah dibuat matang sekalipun, dapat
meleset juga. Dan pada akhirnya yang terjadi tidaklah sesuai
kenyataan. Ekspektasi kita adalah das sollen, yaitu apa yang kita
harapkan bakal terjadi. Tetapi ternyata kenyataan lainlah yang
sesungguhnya terjadi atau kita menyebutnya das sein. Dalam lingkup
nasional, banyak kita temui siswa-siswa yang melakukan bunuh diri.
Hal ini terjadi karena ada jurang pemisah yang besar antara das
sollen dan das sein. Antara kenyataan yang terjadi sangat berbeda
jauh dari harapan.

Pada dasarnya mengelola ekspektasi bukanlah sesuatu hal yang baru.
Kita sebenarnya sering melakukannya. Dalam mengelola ekspektasi, hal
penting yang harus selalu diingat ialah bahwa kita harus sadar akan
kemampuan kita dan selalu mencari alternatif lain terhadap pemecahan
suatu masalah. Mengetahui kemampuan diri sendiri itu penting. Hal
ini untuk mengukur tolok ukur kita sendiri sampai sejauh mana.
Dengan mengetahui kapabilitas diri sendiri, kita dapat mengetahui
persentase sejauh mana target yang akan kita capai dapat berhasil.
Kita pun dapat pula mencari alternatif lain, seandainya target yang
kita capai nantinya tidak sesuai dengan rencana awal.

Anda bingung? Mari kita ambil sebuah contoh. Misalkan Anda berencana
mendaftar beasiswa untuk mengambil gelar master di luar negeri.
Pilihannya di masa sekarang, wow, asoy geboy, beasiswa tersedia di
mana-mana. Berbagai lembaga pendidikan pun ada di mana-mana. Siapa
yang tak mau, belajar di luar negeri, dengan berbagai keunggulan
mendapatkan pelajaran yang bagus. Bisa cas cis cus Bahasa Inggris
dengan fasihnya. Dan, ehm, ada uang saku lagi.

Tawaran yang menggiurkan. Anda pun segera tergerak untuk
mengikutinya. Tentu dengan segala bekal. Anda sudah mengukur
kemampuan Anda sebelumnya. Katakanlah untuk mencapai tujuan itu,
Anda belajar dengan giat ditambah dengan kursus Bahasa Inggris untuk
mencapai nilai standar. Kalau Anda berpikir rasional, tentu saja
rencana Anda tersebut bisa saja tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan. Tapi kemudian, bagaimana mengelola ekspektasi Anda
tersebut? Artinya, bagaimana kalau Anda kemudian gagal? Mau ambil
senjata menembaki siapa saja dan akhirnya menembak kepala sendiri?
Gak la ya. Tentu bukan itu. Anda harus mempunyai alternatif-
alternatif jalan lain, seandainya rencana Anda gagal. Misalkan saja
rencana Anda berikutnya ialah Anda akan belajar dengan lebih giat
lagi, ditambah Anda mulai mencari dana atau biaya tambahan dengan
bekerja paruh waktu atau full time. Kalau berhasil di tahun kedua,
tabungan yang telah Anda kumpulkan bisa untuk digunakan hal-hal
lainnya atau tetap ditabung. Bagaimana bila gagal lagi? Seandainya
gagal kembali di tahun berikutnya, maka dengan biaya yang telah Anda
kumpulkan sebelumnya, Anda bisa mengambil gelar master di dalam
negeri dengan mengambil universitas favorit. Dan bagaimana kalau
gagal lagi? Ah, kesiann deh lu, begitu kata tetangga sebelah. Dalam
hal ini Anda musti berkaca diri terhadap kemampuan Anda. Bisa jadi
Anda memasang target terlalu tinggi. Hal ini dapat menjadi evaluasi
lebih lanjut. Anda dapat menyusun ulang rencana-rencana berikutnya
yang benar-benar rasional.

Itu sebenarnya hanya sekedar contoh saja. Jadi ketika Anda mengalami
kegagalan, Anda tidak kaget karenanya. Anda pun terhindar dari
stres. Anda bahkan sudah siap dengan rencana-rencana berikutnya.
Rencana-rencana alternatif yang rasional, yang tentu saja salah satu
pilihannya bukanlah membeli pistol. (240308)

Sumber: Mengelola Ekspektasi oleh Sonny Wibisono, penulis, tinggal
di Jakarta.