Jumat, 31 Juli 2009

Bagus untuk menambah wawasan.

Saya ingat waktu di SMA dulu, kami (murid) harus menjalani test IQ untuk penjurusan.
Sekolah saya menetapkan bahwa murid2 dengan IQ tinggi bisa masuk ke jurusan
IPA/Science. Murid dengan IQ sedang hanya bisa masuk jurusan Sosial dan yang
paling rendah IQnya hanya diijinkan untuk masuk ke jurusan Bahasa.

Aturan di sekolah saya ternyata berlawanan dengan aturan dari SMA swasta terkenal di
Yogyakarta yang mengarahkan anak-anak yang ber IQ paling tinggi justru ke jurusan Bahasa.

Sewaktu saya diskusi dengan Romo Mangun Wijaya (Alm) tentang kurikulum sekolah,
Beliau mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih mewarisi "budaya" kolonial Belanda.

Menurut beliau, seharusnya anak-anak yang kecerdasannya tinggi seharusnya diarahkan
untuk masuk jurusan Sosial supaya di masa mendatang akan lahir ekonom, hakim, jaksa,
pengacara, polisi, diplomat, duta besar, politisi dsb yang hebat2.
Tetapi rupanya hal itu tidak dikehendaki oleh penguasa (Belanda).
Belanda menginginkan anak-anak yang cerdas tidak memikirkan masalah2 sosial politik.
Mereka cukup diarahkan untuk menjadi tenaga ahli/scientist, arsitektur, ahli computer,
ahli matematika, dokter, dsb yang asyik dengan science di laboratorium (pokoknya yang
nggak membahayakan posisi penguasa).
Saya nggak tahu persis yang benar Romo Mangun Wijaya atau pemerintah Belanda.
Hanya saja waktu itu saya yang kuliah ambil jurusan Kurikulum jadi patah semangat
karena kayaknya kurikulum di Indonesia ini hampir tidak ada hubungannya dengan
kehidupan yang akan dijalani orang setelah keluar dari sekolah.

Kita bisa lihat, Insinyur yang menjadi politisi bahkan memimpin parlemen, kemudian
dokter (umum) bisa menjadi kepala Dinas P & K atau tenaga marketing, sarjana
theologia yang jadi pengusaha, dsb. Sampai saat ini,masih banyak orang tua dan
masyarakat yang beranggapan bahwa anak yang hebat adalah anak yang nilai
matematika dan science-nya menonjol.
Paradigma berpikir orang tua/masyarakat ini sangat mempengaruhi konsep anak tentang
kesuksesan. Bulan Juni 2003 yang lalu, lembaga tempat saya bekerja mengadakan
seminar anak-anak.

Di depan 800-an anak, Kak Seto Mulyadi (Si Komo) menunjukkan 5 Rudy.
- Yang Ke-1 : Rudy Habibie (BJ Habibie) yang genius, pintar bikin pesawat
dan bisa menjadi presiden.
- Yang Ke-2 : Rudy Hartono yang pernah beberapa kali menjadi juara bulu tangkis
kelas dunia.
- Yang Ke-3 : Rudy Salam yang suka main sinetron di TV
- Yang Ke-4 : Rudy Hadisuwarno yang ahli di bid. kecantikan dan punya banyak
salon kecantikan di beberapa kota .
- Yang Ke-5 : Rudy Choirudin yang jago masak dan sering tampil memandu acara
memasak di TV.

Sewaktu Kak Seto bertanya "Rudy yang mana yang paling sukses menurut kalian?"
Hampir semua anak menjawab "Rudy Habibie" Sewaktu ditanyakan
"Mengapa, kalian bilang bahwa yang paling sukses Rudy Habibie?"

Anak-anakpun menjawab "Karena bisa membuat pesawat terbang, bisa menjadi
presiden, dsb" Sewaktu Kak Seto menanyakan "Rudy yang mana yang paling tidak
sukses?" Hampir seluruh anak menjawab "Rudy Choirudin" Ketika ditanyakan
"Mengapa kalian mengatakan bahwa Rudy Choirudin bukan orang yang sukses?"

Anak-anakpun menjawab "Karena Rudy Choirudin hanya bisa memasak"

Memang begitulah pola pikir dan pola asuh dalam keluarga dan masyarakat Indonesia
pada umumnya yang masih menilai kesuksesan orang dari karya-karya besar yang
dihasilkannya. Masyarakat kita banyak yang belum bisa melihat kesuksesan adalah
pengembangan talenta secara optimal sehingga bisa dimanfaatkan dalam kehidupan
yang dijalaninya dengan "enjoy".

Banyak masyarakat kita yang beranggapan bahwa IQ adalah segala-galanya.
Padahal kenyataannya EQ, SQ dan faktor2 lain juga sangat menentukan.
Dalam seminar tsb Kak Seto hanya ingin merubah paragidma berpikir anak-anak
(dan juga orang tua/keluarga) . Anak-anak dan orang tua harus menyadari dan
mensyukuri setiap talenta yang diberikan oleh Tuhan.

Bila talenta tersebut dikembangkan dengan baik, maka kita bisa mencapai kesuksesan
di "bidangnya". Jadi untuk anak-anak yang tidak pintar matematika, anak2 tidak perlu
minder dan orang tua tidak perlu malu atau menekan anak.
Anak-anak yang lebih menyukai pelajaran menggambar daripada pelajaran2 lain,
bukanlah anak-anak yang bodoh karena justru anak2 yang punya imajinasi tinggilah
yang pintar menggambar/ melukis. Anak-anak yang suka ngobrol, kalau kita arahkan
bisa saja kelak menjadi politisi atau negotiator yang baik.

Anak-anak yang banyak bicara, kalau diarahkan untuk menuliskan apa yang ingin
dibicarakan bisa2 menjadi penulis yang hebat.
*** Mbak Dwi Setyani juga mengingatkan kita untuk lebih memfokuskan pada
kekuatan kita dari pada "wasting time" bersungut-sungut, hanya memikirkan
kelemahan kita.

Saya pernah membaca pengalaman hidup seorang penyanyi di Amerika.
Penyanyi tsb dulunya tidak PD karena wajahnya tidak terlalu cantik dan giginya
tonggos. Saat menyanyi di pub, dia repot mengatur bibirnya supaya giginya yang
tonggos tidak dilihat orang. Hasilnya: ia hanya bisa menghasilkan suara yang
pas-pasan. Ketika temannya meyakinkan bahwa giginya yang tonggos itu bukanlah
masalah, maka iapun bisa menyanyi dengan bebas dan meng-eksplore suara emasnya.
Ternyata orang-orang mengingat penyanyi itu karena kualitas suaranya,
bukan parasnya yang jelek dengan gigi tonggosnya.

*** Kitapun meyakini bahwa Tuhan menciptakan setiap kita (manusia) dengan
maksud yang terbaik demi kemuliaan-Nya. Kalau saja kita meyakini hal tersebut,
maka semua orang akan mensyukuri keadaan dan memanfaatkan talenta yang
Tuhan berikan untuk kemuliaan-Nya.
Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)

Terlepas siapa yang paling sukses dari mereka, mari kita arahkan putra-putri kita sendiri, agar kelak mereka bisa mandiri dan berguna untuk sekelilingnya. Karena disitulah tingkat kesuksesan kita sebagai orang tua dan kesuksesan kehidupan anak kita kelak dikemudian hari.
Sebenarnya lebih baik mengarahkan dan memfasilitasi mereka sedari kecil dari pada memotifasi saat mereka beranjak dewasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri Komentar sehat dan membangun