Jumat, 31 Juli 2009

Belajar Dari Sebuah Cerita


April 1984

Menjelang Ujian Akhir SMP
Gempa hebat melanda keluargaku, dan telah memporakporandakan bangunan
hatiku. Allahu Robbi, kenapa Bapak tega melakukan semua ini? Tak tega
melihat ibu yang diam mematung dengan air mata berlelehan. Sementara Pak
Jono, Pak Dodi, teman sekantor Bapak menjelaskan dengan bahasa yang dibuat
sehalus mungkin. Aku mengintip takut-takut dari lubang kunci, raut wajah
Ibu yang tiba-tiba menegang, lalu air mata yang tumpah bak banjir bandang.
Bapak dipecat, karena menyelewengkan dana kantor dan terbukti melakukan
tindakan asusila dengan rekan wanitanya di kantor. Bahkan, wanita itu telah
diberinya rumah di Kecamatan Pare, tiga puluh kilometer dari rumah kami.
Bapak dipenjara atas tuduhan korupsi dan berselingkuh dengan istri orang.
Aku tahu, bukan sekali ini saja Bapak mengkhianati Ibu. Sebagai anak tertua
aku sudah bisa membaca hubungan kedua orang tuaku. Namun baru kali ini
kulihat Ibu begitu terpukul. Tentu, dengan dipecatnya Bapak, berarti asap
tak akan mengepul lagi di tungku keluarga kami. Sementara lima orang anak
perempuan setiap hari membutuhkan jatah nasi yang tidak sedikit. Melihat
Ibu bermuram durja, semangat belajarku hilang seketika.

Mei 1984
Ujian Akhir, 03.00 Pagi
Suara lantunan ayat-ayat suci membangunkanku dari lelap. Ibu! Begitu
biasanya beliau membangunkan kami untuk shalat lail. Segera kutepuk Tini
untuk menyusul Ibu. Mata adikku masih memerah menahan kantuk. Tapi
kusemangati dia, ¡§Ayo, katanya ingin berdoa, Tini ingin minta apa?¡¨ Malam
begini dingin menyambut kami di kamar mandi.
Air terasa seperti butiran es. Kuusap mataku dan mata Tini sambil
tersenyum, sekejap kemudian kesegaran mengaliri seluruh tubuh. Lenyap sudah
kantuk yang memberati mata.Ibu menyambut kami dengan senyum, tapi¡K. Matanya begitu sembab, pasti Ibu
habis menangis. ¡§Mana adik-adikmu yang lain, Nduk?¡¨ kami saling
berpandangan, lalu menggeleng dan tersenyum malu. Habis, sulit sekali
membangunkan Lastri dan Tinah, bisa ditendang aku nanti, maklum, mereka
masih kecil. Usai tahajud, aku terus mengambil buku dan belajar. Ibu
menemani sambil meneruskan tadarus Qur¡¦an-nya. Ibu¡K.
Bagaimana orang sealim Ibu bisa mendapatkan orang seperti Bapak. Ah,
ngelantur aku ini, kalau tidak ada Bapak, berarti aku juga tidak ada.

Akhir Mei 1984
Akhirnya, selesai sudah ujian akhirku. Alhamdulillah leganya. Setidaknya
aku mulai bisa memikirkan yang lain untuk membantu mengurangi beban Ibu.
Yah, mau bagaimana lagi, Ibu memutuskan menjual sebagian tanah warisannya
untuk menebus Bapak dari penjara. ¡§Bagaimana pun dia bapakmu, Wuk, sejahat
dan sebejat apa pun kelakuannya, darahnyalah yang mengalir di tubuhmu.¡¨
Aku juga tak tahu musti harus bagaimana. Rasanya kaget tiba-tiba ikut
terlibat dalam permasalahan rumit ini. Tapi Ibu butuh teman bicara. Dan
aku, anak sulungnyalah yang bisa melakukan itu. Ya, mesti cuman sebatas
mendengarkan. Menanti Bapak pulang seperti menunggu datangnya makhluk asing
dari planet lain. Ada rindu, ada benci, ada juga rasa asing yang tak bisa
kumengerti. Entahlah, dari dulu kami memang tak bisa dekat. Bapak
menginginkan anak laki-laki, sementara kelima anaknya perempuan. Barangkali
itulah yang membuat sulit sekali diajak bermanja.
Suatu sore, saat matahari senja merah saga memenuhi langit, Bapak
benar-benar pulang. Sosoknya yang tinggi besar memenuhi pintu rumah. Dan
Ibu menyambutnya seperti biasa, dengan mencium tangan Bapak, dan menyuruh
kami melakukan hal yang sama. Tanpa beban, seolah tak terjadi apa pun yang
pernah mengguncang keluarga kami. Kucari dendam di mata Ibu, tapi ya Rabbi,
mata itu begitu ikhlas dan tabah. Sementara hatiku sudah mulai tertorehi
luka.

Agustus 1984
Perekonomian keluarga kami benar-benar terpuruk. Aku tak bisa melanjutkan
kuliah. Jangankan untuk mendaftar SMA, untuk makan sehari-hari pun mulai
kesulitan. Bapak berpamitan untuk mencari kerja di Bogor . Memang di kota
kecil seperti Kediri , mencari pekerjaan baru bukanlah hal mudah, apalagi
untuk orang yang namanya sudah cacat seperti Bapak. Ibu mengambil alih
perekonomian dengan membuka warung pecel di depan rumah. Pagi buta sampai
siang, Ibu mengurus warung pecelnya. Sore hingga malam membuat krecek,
makanan ringan dari irisan singkong kering yang digoreng dan dibumbuhi gula
merah serta cabai.
Aku membantu Ibu sekuatnya. Aku punya kewajiban moral untuk membantunya,
kalau bukan aku, siapa lagi? Bangun pukul empat pagi kini tak terasa dingin
lagi. Sepagi itu aku dan Ibu mulai ke pasar. Tiba di rumah, kami berbagi
tugas. Aku mencuci baju, Tini membersihkan rumah. Setelah beres, kami
membantu Ibu menyaingi sayuran. Ketika adik-adikku berangkat sekolah aku
mulai menyiapkan potongan-potongan singkong untuk digoreng. Bila malam
tiba, sambil mengajari mereka, aku dan Ibu membungkus krecek ke dalam
plastik agar esok pagi bisa kuedarkan ke warung-warung dan pasar Kandat.
Ya Allah, Pengatur nasib umat, aku sangat bangga pada Ibu. Di tengah
himpitan ini beliau masih terus berkhusnudzan kepada-Mu, terus mengajari
kami bersabar, dan terus membimbing kami dengan cintanya.
Ya Allah, berikanlah segala kebaikan-Mu untuk Ibu dan kami sekeluarga. Dan
berilah kesadaran untuk Bapak, ya Allah, bahwa kami adalah putri-putri yang
juga mengharap cintanya. Amin.

Agustus 1986
Bapak datang. Datang! Setelah sekian lama tanpa kabar dan kiriman apa pun.
Datang dengan sederet tuntutan dan lecehan pada Ibu. Tuntutan atas
kehadiran anak laki-laki yang tak mampu dilahirkan Ibu. Dan satu pelecehan
lagi yang membuat darahku berpacu ke ubun-ubun, beliau mengaku sudah
menikah di Bogor dan mempunyai seorang anak laki-laki. Tuntutan untuk
menjual sisa tanah, dengan alasan anak laki-laki lebih berhak memperoleh
daripada kami. Semua dikatakan Bapak saat kami kesulitan untuk sekedar
mengisi perut.Entah keberanian apa yang membuatku lancang kepada Bapak. Kupukul dan
kucakar lelaki yang kusebut bapak itu sehingga sebuah tamparan keras
mendarat di pipiku. Ibu yang tersimpuh di atas tubuhku dengan isak pelan,
dan umpatan kasar Bapak, ¡§Perempuan sialan, perempuan pincang! Seperti ini
kau didik anakmu? Huh, dari dulu aku memang malu punya istri seperti kamu,
dasar pincang!¡¨
Kali ini giliran Ibu yang mendapat tamparan Bapak. Sakit¡K. Sakit hatiku
mendengar Ibu diumpat seperti itu.

Kaki Ibu memang tidak normal, terserang polio sedari kecil. Tapi bukan
berarti ia tidak sempurna mendidik kami. Sungguh ia satu-satunya wanita
yang membetot habis rasa cinta dan hormatku lebih dari apa pun. Satu lagi
luka tertoreh. Kupandang Bapak dengan mata menyala. Biar¡K.. biarlah Bu,
Bapak mengambil tanah itu. Kita buktikan bahwa kita bisa hidup tanpa
bantuannya bila itu yang Bapak mau. Aku berjanji, aku bertekad, akan
kulakukan apa pun untuk Ibu dan adik-adikku.

Januari 1990
Rumah Makan Padang ¡§Siang Malam¡¨, Gringsing, Kendal
Aku membawa truk bermuatan kelapa memasuki pelataran rumah makan. Sisa
setengah perjalanan lagi menuju Jakarta . Ahmad dan Pak Gono membuka mata.
Dengan sopan aku menyilahkan mereka untuk beristirahat. Sementara aku harus
berburu waktu mencari musholla, shalat Isya¡¦.
Celana hitam, jaket gombrang coklat, dan jilbab kaos hitam telah menyulapku
menjadi sosok yang cukup dikenal di rumah makan ini. Pemiliknya Pak Haji
Yassin juga kenal denganku. Karena itu aku memilih tempat ini sebagai
tempat istrirahat bila nyopir ke arah barat. Selain lingkungannya apik,
baik, juga ada musholla yang nyaman tempat aku istirahat sejenak. Sesekali
bahkan Bu Haji menyuruhku istirahat di ruang belakang mereka. Sementara aku
istirahat, Ahmad biasa mencuci kaca depan truk, mengisi air radiator,
mengecek mesin, dan ban, serta tak lupa menyiapkan sebotol kecil kopi
hangat di samping jok untuk persiapan nanti.

Truk ini milik Pak Jono, teman Bapak. Aku yang dipercaya mengelolanya
dengan sistem sewa. Dulu, hampir tiap hari aku keluar masuk desa untuk
menawarkan jasa transportasi ini. Kini tinggal memetik hasilnya. Para
petani dan pedaganglah yang datang apabila membutuhkan truk sekaligus
sopirnya. Aku tak pernah bercita-cita menjadi seorang sopir. Tidak, tidak
karena itu dunia laki-laki yang keras dan penuh bahaya. Tapi aku tak punya
pilihan lain. Hanya pekerjaan ini yang bisa menghasilkan uang paling
banyak. Sekali nyopir aku bisa mengantongi uang lima puluh ribu sampai
seratus ribu. Bahkan bila musim panen, aku bisa memegang hingga satu juta
rupiah sebulan. Alhamdulillah. Karena selain menyopir, aku juga memasok
beberapa komoditi pasar seperti kelapa, pisang, semangka ke beberapa kota
sekeliling Kediri . Tentu, dengan bagi hasil dengan Pak Jono.

Ibu terus berjualan pecel dan membuat krecek. Kini hanya dibantu Sundari
karena Sutini dan Sulastri sudah kuliah di Kedokteran Universitas Airlangga
Surabaya . Sedang Partinah memilih ke Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Bahagia rasanya melihat mereka terus sekolah, lebih bahagia karena mereka
tak pernah mengecewakan lelehan keringatku. Mereka belajar keras, bahkan
sangat keras untuk membahagiakan Ibu dan kakaknya yang sopir truk ini.
Sekali waktu, Tini pernah marah padaku, ia minta diijinkan bekerja untuk
ikut membantu ekonomi keluarga. Tapi adikku itu mengkeret begitu melihatku
memandang tajam ke arahnya. Adikku¡K. Maafkan Mbak Tiwuk. Biar Mbak Tiwuk
saja yang berkorban, satu saja! Kalian semua jadilah manusia yang berhasil.
Dengan lulus UMPTN, dengan kuliah yang benar, dengan cepat lulus, itu sudah
cukup membantu Mbak Tiwuk. Sudah membuat Mbak bahagia. Jangan pikirkan yang
lain. Doa Mbak untuk kalian semua.

Juli 1993
Rumah Makan ¡§Ayem Tentrem¡¨, Pelabuhan Ketapang
Sudah larut malam ketika aku beristirahat, menunggu kapal yang akan
berangkat ke Pulau Bali. Ini rute pertamaku. Agak gamang juga. Tapi Ahmad,
kenekku meyakinkan bahwa ia pernah ke Denpasar sebelumnya, jadi aku tak
perlu khawatir tersesat.
Deretan truk terparkir dalam keremangan pelabuhan. Aku turun, mencari
musholla dan tempat nyaman untuk menyantap rantang makanan bekal dari Ibu.
Menjelang pukul dua, kudengar keributan di sekitar trukku. Ahmad
berteriak-teriak, aku tertegun. Segerombolan preman tengah merubungnya.
Tukang palak rupanya. Sementara Pak Sabar, pemilik kayu gelondongan yang
kuangkut tergigil pucat pasi di sisi truk. Pemalakan tidak
tanggung-tanggung karena kami orang baru, diharuskan membayar biaya
keamanan sebesar seratus ribu. Sejenak mereka melongo begitu tahu sopirnya
wanita. Tapi tak pernah kugunakan sebutan itu untuk bersikap lemah,
terlebih ini menyangkut hak untuk mencari penghidupan halal, hak asasi
setiap umat untuk meneruskan hidupnya.

Setelah gertakan untuk melapor polisi tak ditanggapi, terpaksa kuladeni
tantangannya. Ahmad satu tingkat di bawahku di perguruan Perisai Diri. Jadi
aku bisa mengandalkannya. Seratus ribu bukan jumlah yang sedikit. Apalagi
Sulastri membutuhkan biaya untuk praktikumnya. Perkelahian berjalan tak
seimbang, dua lawan tujuh. Kami bertarung sengit, tiga orang berhasil kami
buat jatuh, seorang yang bertindak sebagai pemimpinnya berbuat nekad, saat
tendangan kaki kiriku kuarahkan ke si brewok, ia menohok dari samping.
Cras¡K kaki berbalut sepatu kets-ku berlumuran darah. Perih, darah keluar
dengan deras. Aku masih bisa menangkis dua, tiga serangan, setelah itu
gelap.
Saat sadar aku telah berada dalam salah satu bangsal di RSU Banyuwangi.
Menurut dokter, setelah sembuh nanti kemungkinan aku akan mengalami sedikit
pincang. Sejumlah memar juga menghiasi leher dan punggung. Rupanya saat aku
sudah jatuh mereka masih menendangiku. Untunglah Pak Sabar datang tepat
pada waktunya dengan dua orang polisi pelabuhan. Aku bersyukur karena Ahmad
dan Pak Sabar tak terluka. Ah, peristiwa pahit. Tapi tak akan melemahkan
semangatku untuk terus mencari nafkah, karena lima bulan lagi Sundari lulus
SMA.

Februari 1995
Kutuntun Ibu ke dalam ruangan penuh spanduk dan karangan bunga.
Subhanallah, matahari pagi pucuk-pucuk pinisium ikut tersenyum memandang
kami. Hari ini Sutini disumpah menjadi seorang dokter. Map hitam berlogo
almamater diserahkan kepada Ibu dan aku sambil menahan tangis. ¡§Ini¡K.
Untuk Ibu dan Mbak Tiwuk.¡¨
Kupeluk adikku, kuusap keningnya.
¡§Seandainya setiap kakak di dunia ini seperti Mbak Tiwuk¡K..,¡¨ ujarnya
dengan mata basah.
¡§Seandainya semua adik di dunia seperti kalian, tidak akan ragu seorang
kakak melakukan apa pun,¡¨ kami berpelukan, kurengkuh bahu adikku, Tini
yang bulan depan akan mengakhiri masa lajangnya, disunting oleh teman
seangkatan, pemuda soleh yang bulan kemarin bersama keluarganya mengkhitbah
Tini di rumah kecil kami.
Jemputlah masa depanmu Adikku¡K. Mbak Tiwuk ikhlas kau langkahi.

Mei 1997
Rumah Makan ¡§Baranangsiang¡¨, Bogor
Menyebut kota ini menimbulkan luka lagi yang menganga, Bapak¡K.. pelan
kueja namanya. Nama laki-laki yang seharusnya menanggung beban di atas
pundakku. Pernikahan Tini kemarin beliau hadir, juga saat Tinah diakadkan.
Semanis apa pun wajah kupasangkan, tak bisa membangun jembatan kemesraan
anak beranak di antara kami. Hati ini terlanjur sakit. Pada saat kupandang
wajah Ibu, masih dengan tulus yang sama menyambut kepulangan Bapak.
Alangkah luas telaga maafmu, Ibu. Sementara hanya setitik hormat yang masih
kupunya.
Menurut berita yang kudengar, usaha Bapak di Bogor maju pesat, dengan
seorang istri dan dua anak laki-laki yang diidamkannya. Syukurlah jika
Bapak bahagia. Semoga waktu akan mengurai kebekuan hati ini hingga
terbentuk maaf yang tulus untuknya. Karena aku tak mau selamanya jadi anak
durhaka. Bukankah Allah telah begitu adil dengan apa yang telah kami terima
selama ini? Sungguh aku bersyukur¡K¡K.

Mei 2000
Rumah berdinding setengah bata setengah bambu kami terasa bertambah tua,
atap dapur bahkan nyaris dorong. Seperti juga kerut pada Ibu, juga wajahnya
yang makin mengental. Jika ada kesempatan untuk bernafas, inilah saatnya.
Keempat adikku sudah mentas semua. Tinggal Sundari, itu pun sudah hampir
mandiri, karena selain menyelesaikan S2, ia juga mengajar di sebuah
yayasan.
Kini perhatianku beralih ke Ibu. Ibu yang membesarkan kami dengan kedua
tangannya, dengan kakinya yang terseok, yang selalu membentengi kami
melalui doa yang rutin dipanjatkan di setiap malam, melalui puasa
Senin-Kamis, dengan keprihatinannya, juga dengan sabar dan cintanya.

¡§Wuk, bisa nggak ya niat Ibu kesampaian. Ibu ingin sekali melihat
Baitullah.¡¨ Satu kata itulah yang menjadi perhatianku kini. Maka, ketika
Tini, Tinah, dan Lastri menawarkan diri untuk merenovasi rumah, kalimat itu
kuulang pada ketiga adikku. Dengan sisa tabungan dan sumbangan mereka, aku
berharap bisa memenuhi permintaan Ibu.

Juli 2000
¡§Dunia begitu indah karena kami memiliki kakak seperti engkau. Terima
kasih, Mbak¡K.¡¨ Kueja kalimat itu berulang. Sebuah cincin permata berlian
menyertai kertas itu. Ah, aku lupa, hari ini aku berulang tahun. Aku memang
selalu lupa dan tak pernah memikirkannya. Setitik air membasahi pipi, sudah
berapa lama aku tidak menangis? Kucium kertas itu. Adik adikku, dunia pun
sangat indah karena aku memiliki kalian, juga Ibu. Terima kasih ya Alah.

Februari 2001
Garuda Indonesia , Boeing 737, Jamaah Haji Kloter 12
Pada Allah semua tujuan hidup bermuara. Tak pernah kubenci dan kusesali
hidupku. Karena aku telah memandang semuanya dengan syukur dan karenanya
sepahit apa pun kenyataan akan tetap terasa indah. Inna ma¡¦al ¡¥usri
yusro, sesungguhnya dibalik kesulitan itu ada kemudahan. Allah akan memberi
kemudahan itu pada setiap hambanya yang sabar. Sering aku tak percaya bisa
melakukan semua ini, karena tugas itu nyaris usai. Allah Yang Maha Pemurah,
telah memberiku kesempatan hidup lebih panjang dari yang divonis dokter.
Gadis dengan cacat jantung bawaan seperti aku¡K¡K rasanya tak percaya.
Allah, jika Engkau ijinkan, berilah hamba waktu lagi minimal untuk bisa
berjumpa dengan Bapak, agar kebekuan ini mencair. Untuk sebuah kata maaf
yang belum pernah bisa kukeluarkan, karena aku, Tiwuk Hartati, pernah
mempunyai doa yang sangat jelek untuknya. Biarlah maaf itu tumbuh seperti
sejuta telaga kasih milik Ibu.
Awan putih menyembul di balik kaca, bararak meniupkan simponi syahdu.
Seolah aku sedang duduk di antaranya, membaca tanpa gerak bibir, bahasa
yang santun dan dewasa, mengantarku dalam kedalaman rasa tiada tara . Ibu
memejamkan mata di seat sebelah, tenang dan damai. Oh Ibu, akhirnya
penantianmu usai sudah. Lihatlah Bu, lihat awan itu. Ia akan mengantar kita
ke suatu tempat yang paling Ibu dambakan. Kuusap lembut jemari kisut dan
kasar itu. Ibu¡K. Lelah guratan hidupmu, membayang pada raut wajah itu,
tapi tak bisa mengurangi keagungan cinta milikmu. Kukecup lembut dan kubawa
tangan itu ke atas dada. Di bandara tadi, harta-hartamu mengantar kepergian
kita dengan haru: Dokter Sutini, Dokter Sulastri, Insinyur Partinah, dan
calon guru kita Sundari, juga suami-suami mereka dan keponakanku yang
lucu-lucu: Hanif, Asfa, dan Abdus.
Tawamu jernih dan tulus ketika mencium mereka satu per satu, mutiara
hidupmu. Wajah damaimu Ibu, adalah bentuk kepasrahan seorang hamba dalam
menjalani garis hidup Sang Pencipta, tanpa keluh dan putus asa. Kepasrahan
dalam ketegaran yang senantiasa yakin akan pertolongan Khaliknya. Kurasakan
burung besi ini semakin meninggi, memecah udara, diiringi senyum hangat
pramugari-pramugari anggun berbaju muslimah yang menawarkan makanan.
Kuambilkan satu untukmu, Ibu¡K.

Garuda pun membelah angkasa menuju Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Semakin
jauh meninggalkan Jakarta , meninggalkan Kediri . Dan satu harapan lagi,
dengan izin-Mu akan terwujudkan. Allah Maha Besar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri Komentar sehat dan membangun