Indonesia banyak sekali mempunyai nasihat melalui pepatah-pepatah di
antaranya, "Sekali lancung ke ujian, seumur hidup tidak akan
dipercaya". Makna yang terkandung di dalamnya, tentang seseorang
yang tidak lulus dalam sebuah ujian kejujuran atau sejenisnya, maka
seumur hidup dia kehilangan kepercayaan dari orang lain, walaupun
sudah berusaha memperbaiki diri untuk bisa menjadi orang yang
tepercaya.
Pepatah di atas ternyata terjadi juga dalam kepercayaan
antarpasangan nikah, bagaimana cara awal kita mendapatkan pasangan
kita, sampai mengikatnya menjadi suami istri dan sepakat membangun
bahtera rumah tangga, adalah fondasi awal kepercayaan jiwa kita,
dalam relasi selanjutnya dalam kebersamaan.
Sebagai contoh kasus, seorang dokter spesialis kulit diprotes para
pasiennya, karena istri beliau selalu ada dalam ruang periksa dan
terkesan selalu mengawasi gerak-gerik sang suami, saat melayani para
pasien perempuan yang datang ke klinik kecantikannya.
Kekakuan sikap sang dokter dan rasa risih dari para pasien yang
terheran-heran dengan sikap sang istri tersebut, akhirnya
disampaikan kepada pengelola klinik tersebut secara tertulis dan
ditandatangani oleh banyak pasien yang setuju, memprotes keberadaan
istri sang dokter yang tidak pada tempatnya saat sang suami
menjalankan rutinitas pekerjaannya.
Setelah diselidiki kenapa sang istri dokter tersebut berbuat
demikian?, Apakah tidak ada pekerjaan lain selain mengawasi sang
suami bekerja? Ternyata sejarah dari pernikahan mereka, sang istri
tadinya juga pasien setia sang dokter, dan dengan intensitas
kerutinan pertemuan mereka, maka pasien ini akhirnya jatuh cinta
kepada dokternya dan mulai menggoda, singkat cerita akhirnya sang
dokter menikahi pasien cantiknya dan didahului mengurus perceraian
dengan istrinya.
Cara mendapatkan suaminya pada waktu lalu, secara kejiwaan sang
istri terobsesi dengan keyakinan, jika tidak diawasi, sang suami
akan bisa 'diambil' juga oleh pasien perempuan lain yang datang
berobat, sama seperti yang dulu dilakukannya. Sikap tidak percaya,
sikap tidak yakin sang suami akan setia kepadanya, karena sang istri
tersebut pernah mengalami ketidaksetiaan sang suami pada istri
terdahulu, hal ini yang membelenggu perasaan dan pikiran istri baru
sang dokter tersebut, inilah yang menjadi racun dari relasi mereka,
membuat kehidupan menjadi ricuh dengan banyak protes dan prasangka.
Contoh ini banyak ragamnya, tapi intinya, adalah 'batu pertama'
dalam membangun bangunan rumah tangga, adalah kepercayaan dan apa
yang menjadi acuan waktu kita memulainya, itu fondasi dasar untuk
kepercayaan selanjutnya. Kasus lainnya, seperti yang dialami seorang
perempuan, dia menikah dengan seorang laki-laki yang mempunyai
sejarah, banyak hubungan dengan perempuan lain di luar
pernikahannya.
Bahkan, dirinya pun salah seorang 'kekasih gelap' sebelum lelaki
tersebut menceraikan istrinya dan dia resmi diperistri. Ketakutan
sejarah merebut suami orang yang dia alami akan terulang, maka
perempuan tersebut sekarang terus-menerus menjadi 'pengawas' dari
gerak-gerik sang suami, siapa saja perempuan yang berelasi dekat
dengan suaminya, akan didamprat dicaci maki sebagai
perempuan 'nakal' yang akan mencuri suaminya,
Contoh kasus tadi, banyak terjadi dalam masyarakat kita, tanpa sadar
kita memelihara perasaan khawatir, kecemasan berlebih karena
becermin dari apa yang kita lakukan sendiri. Berbeda dengan pasangan
suami istri yang memulai fondasi dasar mereka, dengan 'bersih' tanpa
ada kerumitan, yaitu berupa adanya pihak yang 'berdarah-darah' yang
mengawali bangunan rumah tangga mereka, maka kepercayaan
antarpasangan tersebut lebih kuat, dan rasa percaya diri tiap-tiap
pihak sangat besar, mereka yakin pasangannya tidak mudah 'dicuri'
oleh orang lain, berbeda keadaan dengan pasangan, seperti contoh
kasus di muka tulisan ini.
Kita jujur saja bahwa, suatu hubungan banyak up and down-nya. Tentu
kepercayaan, pengertian, dan perhatian merupakan onderdil yang
penting dalam membangun suatu hubungan, terutama dalam ikatan suami
istri.
Kita sebagai manusia mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan
konfliknya sendiri, tetapi hal ini tidaklah mudah, jika terjadi
dalam hubungan perasaan dengan pasangan sendiri. Emosi yang negatif
seperti kejengkelan, kemarahan, kesedihan, dan sebagainya, menjadi
halangan dalam berhubungan, baik berupa komunikasi maupun hubungan
intim.
Berbeda jika konflik terjadi pada orang di luar pasangan kita,
misalnya dengan keluarga istri, keluarga suami atau teman. Masalah
efektif lebih mudah diselesaikan, karena tidak banyak menyangkut hal
yang baku, seperti pertemuan rutin di tempat tidur dan kegiatan lain
selama bersama-sama, serta banyak waktu untuk menghindari orang yang
tidak selaras (cocok perasaan) berhubungan dengan kita.
Karena Memanjakan Ego
Kepasifan dalam berinteraksi, dan konflik yang akhirnya terjadi
bukan semata karena hambatan adanya emosi negatif yang diterangkan
di muka saja, tapi bisa, karena pengalaman masa lalu, khususnya,
seperti contoh cerita kasus di muka tulisannya ini. Konflik jiwa
karena trauma dengan kepercayaan terhadap pasangan.
Pengalaman yang negatif bisa mengakibatkan terjadi ketakutan dan
rintangan dalam hubungan selanjutnya dengan pasangan. Hal ini
diperburuk dengan sikap dari memenangi ego diri sendiri. Sering kita
jadi budak ego kita sendiri. Tidak ada yang lebih parah untuk
mencelakai diri sendiri adalah ego yang kita manjakan.
Ego membuat kita memupuk sikap arogan. Banyak masalah sederhana
tidak bisa diselesaikan hanya karena membela ego diri dan sikap
arogan yang dipamerkan. Ego adalah pikiran yg tidak disadari yang
mengendalikan hidup kita, dan Ego itu tidak akan pernah mampu
menyelesaikan masalah, karena yang menjadi masalah justru ego-ego
tersebut.
Ego mengendalikan hidup orang-orang yang berkutat mempertahankannya,
mereka menjadi bagian dalam drama pikiran mereka sendiri, hal yang
menjadikan mereka takut dan marah disanalah ego dibela habis.
Pembelaan ego diri, selalu berujung konflik baik pada diri sendiri,
juga bagi orang yang terkena imbas dari kelakuan ego seseorang.
Orang yang sadar mau melepas ego akan mencari solusi penyelesaian
konflik, sedangkan orang yang membela dan memelihara egonya akan
memamerkan kearoganan dirinya, maka jika kita bermasalah dengan
orang yang berprinsip egonya harus tetap menang, sikap mundur
teratur untuk memberinya kepuasan pemenuhan egonya adalah sikap yang
bisa kita jalankan.
Pembelaan ego tidak akan membuat kita bahagia, malah jika kita tetap
membesarkan ego kita tanpa peduli dengan orang lain, bumerang ada
pada diri kita sendiri, kita menciptakan orang yang punya dendam
pada kita, tentu hal ini sangat tidak diinginkan bagi orang yang
sadar dengan pepetah "Satu musuh sudah sangat berlebih untuk membuat
hidupmu sengsara"
Kebahagiaan jiwa tidak didapat dari kepuasan, sebagai menjadi orang
yang menang perkara. Kebahagiaan tidak didapat dengan jadi orang
yang mampu merampas hak orang lain.
Tetapi, kebahagiaan bisa kita rasakan jika kita berfokus bagaimana
menciptakan keharmonisan jiwa yang bebas dari rasa bersalah, dan
bebas dari rasa ketakutan akibat perbuatan-perbuatan kita, bebas
dari rasa ingin memiliki kepunyaan orang lain, dan bebas dari rasa
dijajah oleh ego orang lain.
Sumber: Fondasi Relasi Jiwa adalah Kepercayaan oleh Lianny Hendranata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri Komentar sehat dan membangun