Jumat, 02 Mei 2008

Memaafkan

"Tidak ada orang yang lahir untuk membenci terhadap sesama karena
perbedaan warna kulit atau agama."

-- Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan

MAAF. Sebuah kata yang sangat pendek, tetapi memiliki makna yang
sangat dalam. Bila tak ada persoalan dengan kata ini, pasti takkan
ada cerita 'Malin Kundang'. Takkan ada pula lagu 'Camelia 3' yang
dipopulerkan Ebiet G. Ade di tahun 1980-an. Bila si ibu memaafkan
Malin, tentu dia tidak akan menjadi batu. Juga, tak akan ada pula
bait-bait rasa bersalah dan penyesalan yang ditumpahkan oleh Ebiet
G. Ade dalam 'Camelia 3'. Jadi, tak perlu lagi panjang-panjang kata
mengupas soal kata yang hanya terdiri empat huruf tersebut. Intinya,
maaf adalah proses lanjutan dari sebuah peristiwa tersakitinya atau
tercederainya satu pihak oleh pihak lain. Ya, namanya juga hati
sudah tercederai, sulit rasanya dengan mudah untuk diobati.
Sebaliknya, orang yang tak termaafkan sepanjang hidupnya akan
mengalami kegelisahan yang akan mengganggu hidupnya. Nah, tentu hal
itu tidak kita inginkan. Karena namanya juga hidup, sekali waktu
kita yang punya hak untuk memberi maaf pada orang lain. Di saat
lain, untuk hal sekecil apa pun persoalannya, kita toh pasti pernah
memohon maaf pada orang lain. Tentu kita tidak ingin perasaan
bersalah terus mendekam dalam hati kita. Sebab, sungguh sangat tidak
menyenangkan. Meminta maaf memang mudah, tetapi memberi maaf jauh
lebih sulit dari yang dibayangkan. Masalahnya, bagaimana kita bisa
memaafkan seseorang bila hati kita sudah sedemikian sakit atau malah
telanjur remuk?

Mari sejenak kita buka lembaran sejarah untuk menemukan jawabnya.
Anda tahu Nelson Mandela? Lengkapnya, Nelson Rolihlahla Mandela,
mantan Presiden Afrika Selatan. Mandela adalah orang yang terkenal
dengan kerendahan dan kelapangan hatinya. Bayangkan, akibat
aktivitas politiknya, dia beroleh ganjaran dibui selama 27 tahun.
Sungguh tak mengenakkan. Bayangkan, teman-temannya bisa berkumpul
dengan suami atau istrinya, membesarkan anak-anaknya. Sedangkan
Mandela, sepanjang hari hanya berada di balik jeruji besi.

Nah, pada saat dia berkuasa menjadi presiden di negeri itu pada
tahun 1994, dia sama sekali membuang dendam tersebut. Meskipun
memiliki kekuasaan, Mandela tidak menggunakan kekuasaannya untuk
balas dendam, ia justru memaafkan semua lawan-lawan politiknya. Hal
tersebut tertuang dalam kata-katanya, "No-one is born hating another
person because of the colour of his skin, or his religion." Manusia
seperti Nelson Mandela hanya ada satu di antara sejuta, bisa jadi.
Tapi, sikapnya itu bukannya tidak dapat memberikan inspirasi betapa
agungnya seseorang yang dengan kerendahan hati membagi-bagikan
maafnya pada orang-orang yang menzaliminya. Toh, kalau pun berpikir
dosa, itu menjadi urusan manusia dengan Tuhannya.

Sebenarnya, memberikan maaf pada orang lain bukan saja meringankan
langkah dan hidup orang yang pernah zalim, tetapi juga punya dampak
bagi si pemberi maaf. Kurang percaya? Mari kita telaah buku yang
berjudul `Forgive for Good' atau istilah Melayunya, Maafkanlah demi
Kebaikan, yang ditulis oleh Dr. Frederic Luskin. Luskin menjelaskan
orang-orang yang memiliki sikap pemaaf sudah jelas memiliki
kesehatan yang lebih dan dijamin hidupnya akan bahagia. Lo, kok
bisa? Ini penjelasan lanjutnya. Saat kita memberikan maaf pada
seseorang, tanpa kita sadari perasaan tenang merayap dalam tubuh.
Ada sebuah penaklukan dalam diri kita terhadap sebuah kekesalan
dalam tubuh kita. Nah, dengan begitu semua sikap buruk akan lenyap.
Kemarahan telah padam dengan kesabaran yang dimiliki. Tentu hal ini
akan sangat menguntungkan. Sebab, menurut. Luskin, kemarahan yang
dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang membahayakan. Lihat saja
sekeliling Anda. Orang yang cepat marah dan menyimpan kemarahannya,
sudah pasti tidak pernah memakai make up dengan baik. Semahal apa
pun kosmetik yang dipakainya, tak akan mampu mengusir kerutan
dikulitnya. Jadi mulai sekarang, kalau mau mengikuti masehat Pak
Luskin, mulailah menyetel emosi dalam tahap yang terkendali.
Sehingga nantinya tidak meledak-ledak dan ujung-ujungnya bisa
membakar tubuh. Orang seperti ini sih sudah jelas tak mudah punya
stok welas maaf yang bertumpuk. Ngeri ya? Pasti.

Sebuah artikel yang dirilis Harvard Women's Health Watch, 2005,
menyatakan bahwa memaafkan seseorang yang melukai Anda bisa membuat
keadaan mental dan fisik menjadi lebih baik. Ternyata memaafkan
memiliki banyak kejutan yang tak terduga. Dan sangat mungkin,
memberi maaf akan jauh lebih bermanfaat bagi Anda dibandingkan orang
yang Anda maafkan. Mulai sekarang memang saatnya untuk lebih legowo
dalam memaafkan seseorang. Tak mudah memang. Tapi keuntungannya
banyak juga. Ini hanya beberapa saja:

Mengusir Stres
Seburuk-buruknya sinetron yang beredar di televisi kita, ternyata
ada satu dialog yang berhikmah. "Memangnya kalau gue balas bunuh
dia, kekasihku akan hidup lagi?" Hikmah yang dapat dipetik sederhana
saja, tak perlu mendendam. Ada penelitian soal itu. Orang yang
menyimpan dendam secara berlarut-larut bisa membuat ketegangan atau
tekanan yang dapat menyebabkan stres. Kalau ini yang terjadi, gawat
deh, otot-otot menjadi tegang, tekanan darah meningkat, dan keringat
mengucur deras seperti air terjun.

Jantung Pun Oke
Sebuah penelitian menemukan hasil yang sepertinya tak berhubungan.
Ternyata orang yang memaafkan mendapatkan tekanan darah dan detak
jantung yang bagus. Nah, semakin sering memaafkan, akan bertambah
baik juga fungsi kerja jantung Anda.

Lebih Mesra
Saat bertengkar dengan pasangan, apa yang Anda lakukan? Banting
piring? Waduh, itu sih waktu zamannya piring masih murah. Sekarang,
sayang sekali bila kebiasaan itu masih berlanjut. Mendingan,
segeralah mencari jalan keluar dan berakhir dengan kata maaf yang
tulus. Sebuah studi di tahun 2004 menunjukkan wanita yang selalu
memaafkan dan bermurah hati terhadap pasangannya akan lebih mudah
menyelesaikan konflik. Dengan seorang wanita yang pemaaf dan sabar,
hubungan bisa terjalin lebih bertahan lama, lebih mesra, dan ehm,
lebih romantis.

Mengurangi Rasa Sakit
Penyakit punggung kronis ternyata punya hubungan dengan kemarahan.
Orang yang bisa mengendalikan kemarahannya, niscaya rasa sakit dan
rasa tegang bisa hilang. Bukan apa-apa, meditasi yang dilakukan
untuk mengurangi kemarahan membuat tubuh menjadi rileks. Nah, kalau
marah-marah terus, otot juga mengkeret dan tegang. Itu yang membuat
punggung pun terasa sakit.

Lebih Bahagia
Dimanapun juga, orang yang memberi lebih tinggi derajatnya
dibandingkan orang yang menerima. Pun begitu dengan maaf. Meski uang
di rekening bank sudah susut, namun pada saat Anda memberikan maaf,
tiba-tiba saja Anda merasa menjadi orang yang paling berbahagia.
Survei menunjukkan orang yang membicarakan tentang maaf-memaafkan
selama sesi psikoterapi, lebih menghasilkan perasaan bahagia
dibanding mereka yang tidak.

Maaf, pada akhirnya, memang hanya sebuah kata, tetapi beribu makna.
Orang yang pemaaf adalah mereka yang paling memahami makna tersebut.
(280408)


Sumber: Memaafkan oleh Sonny Wibisono, penulis, tinggal di Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri Komentar sehat dan membangun