"Percuma saja berlayar, bila kau takut gelombang."
-- Meggy Z. dalam `Jatuh Bangun'
KISAH ini terjadi pada awal tahun ini. Seorang eksekutif muda,
umurnya kira-kira forty-lah. Dia baru saja mencapai puncak
kariernya. Jabatan Direktur Keuangan pada perusahaan multi nasional
di Jakarta, kini menclok dalam kartu namanya. Namanya juga jadi bos,
dia pun merasa perlu terjadi perubahan besar dari
penampilannya. "Apa ya?" ujarnya sambil menggaruk dagunya di depan
cermin. Dia pun menjentikkan jemarinya. Ide besar menyembul di
kepalanya. Saat itu pula dia mengambil telepon selulernya.
Esoknya, pagi-pagi sekali dia sudah berada di ruang pamer mobil
mewah di bilangan Sudirman Central Business District atau lebih
dikenal dengan SCBD. Ia ingin mengganti mobil lamanya dengan mobil
keluaran terbaru. Sesuai janji sore sehari sebelumnya, dia pun sudah
berada di sana tepat pada pukul 10 pagi. Calon pembeli yang serius,
demikian keyakinan sales senior executive di ruang pamer mobil mewah
itu, yang langsung melempar senyum.
Dengan wajah yang sudah disetel standar terhadap calon pembeli
potensial, sang sales itu pun tak kehabisan kata untuk menjawab
semua pertanyaan si direktur keuangan itu. Tak dinyana, proses tanya
jawab itu berlangsung hingga menjelang waktu makan siang. Tiba-tiba
sebuah pertanyaan keluar dari mulut calon pembeli. "Oh ya, untuk
pemakaian bensin, satu liter untuk berapa kilo ya?"
Seperti dipeluk banci, sang sales tiba-tiba berubah cemberut. Sang
eksekutif muda itu awalnya santai saja. Namun kemudian ia mengetahui
ada yang salah dari pertanyaan tersebut. Pertanyaan yang diajukan
sang eksekutif muda tersebut mungkin tidak salah, tetapi jelas
sangat di luar konteks. "Mau beli mobil mewah, kok masih mikirin
pengeluaran bensin." Mungkin pikir sang sales, "Hari genee?quot;
Kejadian di atas tak beda jauh dengan kisah berikut ini yang terjadi
di pertengahan tahun 2006. Seorang pasangan muda, dengan satu anak
mendatangi sebuah apartemen yang terletak di daerah Blok M, Jakarta
Selatan. Apartemen tersebut baru saja diluncurkan. Promosi besar-
besaran mampu menuntun pasangan muda itu untuk membelinya. Pada
akhir pekan, dia mengajak istri dan anaknya untuk melihat calon
rumah barunya.
Semua habis ditilik dan disapu mata. Mulai dari ruangan demi ruangan
apartemen tersebut, hingga kolam renang, spa, lapangan olahraga,
pusat kebugaran, taman bermain, dan fasilitas lainnya. Kelihatannya
mereka sudah jatuh hati. Meski harga satu unit apartemen itu tak
bisa dibilang murah sama sekali, dengan nilai banderol Rp 1,8
miliar. Boleh cicil, boleh pula tunai.
Singkat cerita, sambil berjanji akan segera mengeksekusi
keinginannya, keluarga itu pun pamit. Setelah tersadar, apartemen
itu terletak tidak di jalan raya, sang istri untuk terakhir kalinya
bertanya kepada bagian pemasaran apartemen tersebut. "Bus nomor
berapa ya dari arah Blok M yang menuju ke sini?"
Pertanyaan tersebut tidaklah salah. Bahkan jujur. Namun lagi-lagi,
dalam pertemuan seperti itu, kata-kata dari sang nyonya di luar
konteks.
Dua kejadian di atas memberikan pelajaran soal konsekuensi.
Konsekuensi merupakan dampak ikutan dari suatu sebab. Konsekuensi
jelas berbeda dengan risiko. Ketika Anda mengambil risiko, Anda
belum mengetahui dampak ikutan yang akan terjadi. Misal kalau Anda
membeli saham, risikonya hanya ada dua, Anda rugi atau Anda untung.
Tetapi kalau konsekuensi, dampak yang mengikutinya sudah dapat
diprediksi sebelumnya.
Contoh sederhana, ketika Anda ingin rumah terasa adem sekalipun
matahari tengah membakar bumi, tak ada pilihan kecuali dengan
memasang pendingin udara di seluruh ruang rumah Anda. Katakanlah
diperlukan 4 pendingin udara untuk seluruh ruangan. Apa
konsekuensinya? Jelas, anggaran untuk membayar tagihan listrik harus
diperbesar. Jadi Anda harus sudah siap dengan adanya tambahan biaya
yang lebih besar setiap bulannya.
Begitu pula halnya dalam pekerjaan. Ada konsekuensi- konsekuensi yang
harus Anda sadari sepenuhnya. Anda harus sudah dapat memprediksi
dampak ikutan yang akan terjadi bila Anda akan memutuskan atau tidak
memutuskan sesuatu.
Dalam suatu wawancara pemilihan jajaran Direktur di salah satu
Komisi Negara, seorang CEO di salah satu perusahaan swasta yang
masih aktif, ditanya oleh sang pewawancara. Bukankah ketika ia
nantinya terpilih dan menjabat sebagai pejabat di komisi tersebut,
gajinya tidak sama dengan yang ia dapatkan di perusahaan sebelumnya.
Bahkan segala fasilitas kemewahan tak akan ia dapatkan lagi bila ia
terpilih sebagai pejabat.
Sang CEO pun menjawab, bahwa hal itu merupakan konsekuensi bila
kelak ia nanti terpilih. Ia sudah siap akan hal itu. Ada alasan
tertentu, soal idealisme dan keyakinan, yang ia yakini bila ia akan
menjabat sebagai pejabat negara.
Dalam kehidupan sehari-hari pun, Anda harus sudah siap akan
konsekuensi bila Anda akan memutuskan atau tidak memutuskan sesuatu.
Oleh karena itu, pikirkan dengan masak betul sebelum yakin akan
keputusan yang akan Anda ambil. Jangan sampai nanti Anda merasa
melakukan tindakan "bodoh" yang tidak perlu. (070408)
Sumber: Konsekuensi oleh Sonny Wibisono, penulis, tinggal di Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri Komentar sehat dan membangun