Kamis, 03 April 2008

Paha Ayam

OBSESI itu berawal dari ucapan Nenek. ''Siapa mau kepala ayam?'' katanya. Kami,para cucu, tidak tertarik. Ngapain milih kepala ayam, mending mengambil paha,dada, atau sayap.

Apalagi, kepala ayam suka matok sembarangan. Kecoak disikat,bahkan yang lebih menjijikkan pun dilahap.Dagingnya sedikit. Kulitnya pun tak seenak kulit dada. Jenggernya juga tidak membuat ketagihan. Lebih sedap daging di dekat ekor. Lemaknya gurih dan sering ada gotro-nya.


''Hus, itu bagian bapakmu,'' kata Nenek. Bapak itu, sebagai pencari uang, harus diberi yang terbaik.

Lantaran tak ada yang berminat, Nenek menyugesti: ''Ayam itu otaknya lezat, lho.Dan, yang suka kepala akan jadi pemimpin.'' Hah, pemimpin?


Tanpa pikir panjang,saya mengambil kepala. Dan, akhirnya, jatah kepala selalu untuk saya. Di mata saya, pemimpin itu enak. Bisa main perintah, dilayani, dan berduit.

Nenek memang meyakinkan. Kendati otak ayam itu sedikit dan kecil , karena Nenek mengatakan lezat, ya, otomatis jadi enak. Saat melahap otak, misalnya, bibir saya berkecap panjang sembari mata merem-melek.
Obsesi sudah terbentuk. Persis obsesi perwira polisi dalam pendidikan. Kalian mau jadi apa?
Mereka serempak menjawab: ''Kapolri!'' Padahal, Kapolri itu cuma satu. Walhasil, para perwira itu punya semacam gentlemen agreement, kalau ada yang jadi Kapolri, harus tahu diri. Ingat rekan seiring.


Oke! Toast! Komitmen itu pun mentradisi. Team work itu mutlak. Jangan bersolo karier kayak sang jagoan di film. Tidak ada gunanya. Jadi, contohlah kekompakan anggota DPRD di banyak tempat. Satu masuk tahanan, semua terseret korupsi. Jelas?


Begitulah. Penyimpangan ada di mana-mana.

Jika ada yang usil nanya: ''Kok,asetnya meningkat puluhan milyar rupiah secara singkat dan tak masuk akal?'' Oh,dulu itu salah hitung.
Khilaf. Apa tidak boleh khilaf? Manusia itu kan gudangnya kekhilafan. Lupa itu manusiawi, tahu!


Masuk akal nggak, sih, oknum Jaksa bisa beli rumah senilai Rp 2 milyar? Kemudian, ''Masak ada aparat hukum ke kantornya membawa 'celeng-benz','' ujar seorang pemerhati aparat hukum . Maaf, yang benar Baby-Benz. Pengucapannya sengaja dipelesetkan ''babi'' alias celeng hutan biar seru.


Itu baru panggung sandiwara kecil. Yang membangun hotel atau menciptakan kerajaan bagi keluarga juga ada. Bahkan, ada yang ogah meninggalkan kantor,karena erek-erek tanda tangannya bernilai ratusan juta rupiah. Sayang, kan,kalau sehari saja tak kerja?


Satu hal lagi, jika sudah masuk jajaran pucuk pimpinan, mulutnya terdengar manis, walau nyatanya berbisa. Janjinya mampu membangkitkan harapan, menumbuhkan motivasi, faktanya gombal. '


Namun, sepandai-pandai tupai meloncat, pasti bakal jatuh. ''Saya yakin begitu,''kata sumber ini. Indikasi sudah tampak. Para "putor" alias pengumpul dan penyetor --yang ditugasi mengoleksi setoran dari berbagai sumber pemasukan--sudah mulai "bernyanyi". ''Rezeki'' itu mulai ketempelan setan.


Bayangkan, Rp 100 milyar lebih masuk rekening bos tiap bulan, sementara yang kekantong sendiri hanya menetes. Ketidakadilan , lantaran dikucuri rezeki sedikit,jika banyak pasti bungkam , nah ini harus dihentikan.


Permainan sumbang juga terkuak secara berturut-turut di beberapa DPRD. Begitulah hukum alam berjalan.Padahal, seharusnya elite itu membawa rakyat sejahtera. Bukan malah menyempitkan makna sebatas kepentingan pribadi dan kelompok.

Posted by DJODI ISMANTO