Minggu, 24 Agustus 2008

COBA MENIKAH YUK........................................

Benarkah Menikah itu enak? … Pengen tahu? Coba aja!...

Perkawinan itu ibarat perahu yang sedang berlayar di laut lepas, jika nahkodanya tangguh di saat ada karang yang terjal atau pun gelombang yang besar, maka perahunya bisa menepi di dermaga dengan tenang. Namun jika di tengah laut tidak bisa bertahan, maka perahu bisa jadi karam.

Dalam masa itu, ada beberapa fase yang perlu kita tahu agar dapat survive dalam kondisi apapun. Pernikahan itu tidak semudah yang kita bayangkan karena awal, pertengahan, ataupun di ujung usia perkawinan alias sudah berpuluh-puluh tahun, ternyata pe­luang terjadinya krisis rumahtangga selalu ada. Kita harus saling mengerti dan memahami perbedaan diantara pasangan tersebut yang sebelumnya kita hanya mengetahui perbedaan itu hanya dari kulit luarnya saja, artinya watak, tabiat dan kebiasaan kita akan dengan jelas sekali di ketahui. Bagaimanapun juga ketidakcocokan, salah paham adalah akibat dari perbedaan itu sendiri, berat dan memang butuh kesabaran untuk memahami dan mengetahui letak perbedaan itu.

Banyak orang mengatakan bahwa masa rawan dalam rumah tangga adalah pada masa sepuluh tahun pertama. Entah atas dasar apa asumsi tersebut berkembang dalam masyarakat, padahal meski usia perkawinan telah melebihi batas 10 tahun ancaman kerawanan tetap ada. Seiring berlalunya waktu, cinta dalam perkawinan bisa saja tidak semanis madu. Rutinitas pekerjaan, urusan rumah tangga, atau karier yang tengah menanjak bisa membuat cinta menjadi tidak terasa lagi.

Masa-masa rawan ini bahkan bisa dihitung secara matematis, perhitungan matematis ini dibuat berdasarkan usia pelaku dan usia pernikahan secara umum. Krisis pertama muncul setelah tiga tahun perkawinan, kemudian muncul di tahun ke lima, sepuluh, lima belas, dua puluh, hingga dua puluh lima tahun. Masing-masing fase memunculkan masalah yang berbeda dan penanganan yang berbeda pula.

FASE 1 - 3 TAHUN
Masa ini di sebut masa adaptasi. Tahun-tahun pertama, di kala suami isteri mengalami benturan-benturan dalam penyesuaian diri sebagai pasangan. Hal yang sangat menolong adalah keinginan untuk menerima kekurangan pasangan. Masa pacaran akan sangat membantu dalam proses adaptasi di awal pernikahan, jika masa pacaran dimanfaatkan benar-benar sebagai ajang mengenal siapa sebenarnya calon teman hidup kita ini. Pasangan yang berhasil melewati masa ini umumnya mampu melakukan toleransi terhadap sikap atau sifat pasangannya. Sikap ini sangat dibantu oleh masih besarnya keinginan untuk menerima pasangan, termasuk segala kekurangannya. Pada awal perkawinan adanya fase komunikasi, fase ini cenderung bersifat semu atau palsu, mereka saling menyembunyikan dan selalu berusaha untuk mengalah agar terjalin satu kesamaan. Fase krisis komunikasi dalam perkawinan dimana tampak kualitas komunikasinya tidak tercipta komunikasi yang efektif. Kalau 3 tahun pertama kita gagal untuk mencocokkan diri dan menemukan celahnya, kecenderungannya akan terus membawa problem itu untuk tahun-tahun mendatang jadi 3 tahun pertama itu sangat krusial.

Sampai kapanpun dua insan manusia tidak akan cocok, pasti banyak perbedaannya. Mind set harus dirubah bahwa dua manusia itu berbeda, terima perbedaan pasangan anda dan jangan memaksakan pasangan anda apa yang anda kehendaki. Jangan terlalu mengharapkan apa yang menurut pasangan anda harus lakukan terhadap anda bukan masing-masing melakukan apa, tapi anda harus melakukan bagian anda sendiri. Jangan berharap terlalu banyak bahwa anda bisa merubah pasangan anda. Di tahun-tahun ini, proses mencocokkan diri begitu ketat mengambil alih kendali. Bahkan kadang cinta yang katanya menyatukan semua beda bisa menjadi porak poranda. sanggup membuat kita terkaget-kaget juga. Bukan soal prinsip besar yang tanpa kata dia praktekkan, namun justru hal-hal sederhana, remeh saja. Seperti menaruh pakaian kotor seenaknya, atau selera makan yang jauh berbeda. Meski prinsip kadang sejalan, namun kebiasaan yang berlaku di keluarga besar masing-masing tidaklah sama. Setelah bisa melewati masa transisi tadi, tercipta sebuah ramuan baru dalam hubungan suami istri. Kadang harus ada yang melebur atau mencair. Tak masalah siapa yang mengorbankan kebiasaan keluarga lama yang tanpa sadar kadang masih dibawa-bawa, hanya skala prioritas yang menentukannya. Masalahnya, skala prioritas itu kadang tak bisa diterima, atau belum sampai pada hubungan yang masih di bilang awal.

FASE 5 – 10 TAHUN
Pada fase 5 tahun perkawinan diperlukan kebesaran hati perempuan jika kondisi ekonomi masih morat-marit. Nilai positif pada masa ini diperoleh dengan kebersamaan dengan suami. Dalam fase ini ada rutinitas yang bisa mendekatkan dan merukunkan pasangan, yaitu mengasuh anak balita mereka bersama-sama. Dorong suami untuk mendapatkan pekerjaan atau memotivasinya agar tekun meniti karier. Terlalu lama tidak bekerja atau berganti-ganti pekerjaan bisa membuat kondisi ini abadi. Pada saat2 pertama pernikahan akan merasa sangat senang, walaupun salah satu dari mereka berbuat yang tidak disukai oleh pihak yang lain mereka masih bisa menahan (tanpa mencoba berbicara dan mencari pemecahaannya) tapi lama kelamaan rasa tidak bisa menerima itu menjadi semakin besar dan ini lah yang membuat mereka seperti sekarang. (rasa tidak puas terhadap pasangannya/rasa kecewa) dan akhirnya salah satu dari mereka mencoba mencari pelarian

Ancaman yang terjadi pada fase ini biasanya berawal dari masalah ekonomi pasangan yang belum mapan. Apalagi jika kepala keluarga masih belum mendapat pekerjaan tetap atau masih keluar masuk pekerjaan. “Pada fase ini umumnya suami istri bisa sepakat berbagi peran. Jika suami belum bekerja, dia masih bersedia melakukan tugas rumah tangga, termasuk mengantarkan anak balita mereka ke taman kanak-kanak. Sementara sang istri rela bekerja, menggantikan peran suami sebagai pencari nafkah. Akan tetapi, hal ini tak bisa dilakukan berlama-lama. Suatu ketika pergantian peran ini akan memunculkan konflik, terlebih jika kepala keluarga “keterusan” tidak mampu menafkahi keluarganya.

FASE 10 – 15 TAHUN
Pada fase ini suami sudah mulai mapan secara ekonomi. Sementara sang istri yang sudah memiliki anak usia sekolah dasar semakin menikmati perannya sebagai istri dan ibu. Menyiapkan keperluan suami hingga mengantar anak ke sekolah. Masa rawan di usia perkawinan ini adalah masuknya orang ketiga alias orang selingkuhan. “Masing-masing sibuk dengan dunianya. Ini bisa menimbulkan ketertarikan pada rekan kerja atau rekan yang ditemui di luar rumah. Orang ketiga ini bukan saja muncul pada dunia suami, juga pada ibu rumah tangga yang sehari-harinya lebih banyak terlibat urusan rumah. “Pada ibu rumah tangga mungkin saja ketertarikan pada lawan jenis terjadi ketika bertemu orang yang menarik pada saat mengantar anak. ancaman orang ketiga bisa dihindarkan dengan meningkatkan komunikasi dengan suami. Kesibukan mengurus anak jangan sampai membuat suami asyik juga dengan dunianya sendiri sekaligus membukakan peluang ia memiliki ketertarikan pada orang lain. Kita harus membentengi suami dari masuknya orang ketiga sekaligus membentengi orang lain masuk dari arah kita. Selain itu, usahakan istri ikut menyibukkan diri dengan kegiatan suami. Ikut perkumpulan atau persatuan istri di kantor suami. Tuntutan karier yang tinggi, menyebabkan makin sedikit pula waktu suami untuk istri. Dengan mengikuti aktivitas yang sama, masalah ini bisa terpecahkan.

FASE 15 – 20 TAHUN
Fase keempat atau setelah 15 tahun perkawinan adalah fase yang paling rumit dan paling berbahaya. Hitunglah usia ketika menikah adalah 25 tahun. Maka pada fase ini pelaku sudah masuk usia empat puluh tahun. Pada fase ini ada pikiran yang merasuk baik istri maupun suami berkaitan dengan soal eksistensi diri. Muncul pertanyaan terhadap diri sendiri, ‘Apakah aku masih menarik’. Pada fase ini orang akan merasa senang sekali jika dipuji dan dianggap masih menarik, terutama oleh lawan jenisnya. Saat mengetahui ada orang yang tertarik padanya, baik suami maupun istri, merasa senang, Ancaman masuknya orang ketiga begitu besar pada fase ini. Sementara itu, sang suami yang semakin baik kariernya, semakin sedikit pula waktunya bagi keluarga. Kondisi ini bisa memperuncing koflik, terlebih ketika sudah ada orang ketiga yang masuk.

FASE 20 – 25 TAHUN
Di fase 20 tahun perkawinan jangan biarkan pikiran tak puas menggoda kita. Boleh-boleh saja merefleksi apa yang telah terjadi selama ini, bersyukurlah dengan apa yang kita miliki selama ini.Di tahun-tahun berikutnya, di kala suami-isteri sudah saling mengenal luar-dalam, merasakan tak ada lagi yang menarik, mengalami kebosanan dan kejenuhan, lalu lari dari keluarga dan mencari sesuatu di luar rumah, yang lebih menyenangkan. Apabila masa-masa rawan itu tidak dapat diatasi, apa lagi bila cinta suami-isteri semakin memudar, mudahlah terjadi kasus-kasus kekerasan dalam keluarga, perselingkuhan, sampai ke perceraian. Umur pasangan diperkirakan sudah mencapai 45 hingga 50 tahun. Masa-masa ini adalah masa-masa refleksi masing-masing pihak. Banyak perempuan mulai berpikir tentang apa yang diperoleh dan didapatinya selama 20 tahun perkawinannya. Pada saat awal pernikahan, ia masih banyak menolerir pasangan. Pada fase ini bisa muncul rasa tidak puas, baik terhadap pasangannya maupun pada apa yang telah diperolehnya selama ini. Jika ini berkelanjutan, di usia ini kemungkinan perceraian juga bisa terjadi. Selain itu, timbul rasa “kosong”, terutama pada ibu rumah tangga. Pada saat ini suami yang sedang berada di puncak karier akan semakin banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Sementara, anak-anak yang sudah semakin besar, memiliki kesibukan masing-masing dengan dunia dan teman-teman sebayanya. Layaknya sebuah sarang burung yang ditinggal anak-anak burung pergi, rumah senantiasa kosong karena anak-anak sudah jarang di rumah, walaupun mereka belum menikah. Rawan terhadap perceraian adalah usia pertengahan yaitu usia sekitar 45-55. Rawannya adalah karena pada saat itu meskipun secara sejarah, latar belakang mereka sudah menikah 20 tahun misalnya, tapi saat itu adalah saat di mana anak-anak sudah besar. Anak-anak itu sering kali menjadi pengikat orang tua dan sekaligus merupakan suatu pengalihan problem, waktu ada anak sedikit banyak problem itu dialihkan sehingga kita tidak langsung menatap pasangan kita. Ada yang harus kita urus yaitu anak-anak kita. Kalau anak-anak sudah besar berarti tidak ada lagi yang jadi pengalihan, kita harus menghadapi pasangan kita secara langsung. Nah, di situlah kecocokan kita diuji mati-matian. Kalau pada awal pernikahan sebelum punya anak, kita sudah bermasalah dan tidak dibereskan dengan tuntas pada waktu itu, kemudian muncul anak-anak dan kita repot membesarkan anak biasanya problem itu muncul kembali di usia pertengahan.

FASE 25 KE ATAS
Di fase 25 tahun dan selanjutnya, kendati mendapati suami tiba-tiba lebih cerewet, camkan bahwa sikap itu hanyalah sikap yang terbentuk karena sebenarnya ia membutuhkan kita sebagai temannya. Jangan anggap suami musuh, dekati dia sebagai sahabat. Pada fase ini kekosongan benar-benar tejadi. Anak-anak yang menikah mulai meninggalkan rumah dalam arti sebenar-benarnya, yaitu menikah dan mencari sarang masing-masing dengan pasangannya. Pada usia ini, berbagai penyakit degeneratif mulai muncul, sehingga menimbulkan gangguan yang berarti. Pada masa ini ketergantungan pada pasangannya semakin kuat. Namun jika salah satu pasangan masih aktif dengan pekerjaan di luar, pasangan yang tinggal di rumah merasa “ditinggalkan”. Dan masalah baru yang muncul adalah puber kedua. Puber kedua adalah tahapan dari seorang dewasa berpindah menjadi tua. Berbeda dengan masa puber kesatu yang superberani, maka masa puber kedua justru di mana masa-masa ini seseorang justru dihinggapi rasa takut. Yaitu takut menjadi tua, takut menjadi tidak menarik lagi, takut mati, takut tidak berguna lagi, takut tidak kuat lagi dan sebagainya. Maka, dalam tahapan ini kelakuan seorang dewasa tampak menjadi aneh, yaitu bertingkah seperti anak baru gede baik dari segi penampilan maupun segi perilakunya sebagai bayarannya (kompensasi) untuk menutupi ketakutannya itu. Semakin dia takut, maka kelakuan dan penampilannya semakin menjadi aneh.

Nah, pada masa-masa ini seseorang menjadi demikian rapuh, mudah tersinggung. Di sinilah peran pasangannya harus lebih toleran dan mencoba memahami apa yang ditakutkannya. Misalkan, dia takut dikatakan tua karena fisiknya yang memang sudah menurun vitalitasnya. Maka pasangannya mencoba menghindari untuk menyinggung soal fisik. Sebaiknya cobalah untuk memuji dan membesarkan hatinya kalau dia tetap sebagai orang yang disayangi.

Yang berbahaya dalam tahapan ini seseorang justru ingin menutupi ketakutannya dengan perilaku yang berbahaya, seperti dia takut dikatakan tidak menarik lagi dan sudah menurun vitalitasnya dalam berhubungan seks. Maka dia akan mencoba untuk menutupinya dengan berhubungan dengan orang yang lebih muda dengan harapan dia bisa bersaing dengan yang muda. (frenz, kayaknya yang ini cucok dengan boss jenggot kita..wakakakakak)...

Dalam tahapan ini seseorang sering jatuh dalam percintaan semu dan menjadi masalah dalam rumah tangga. Di sinilah saatnya pasangan- terutama seorang istri-harus bisa menyelaraskan keadaan dengan melakukan “penyegaran” dengan berlaku seperti masa-masa pengantin baru, atau masa-masa pacaran. Misalnya, pergilah menonton berdua, jalan-jalan berdua, bersikap lebih mesra atau berdandan lebih muda dari biasanya supaya sang suami merasa dirinya kembali muda juga dan tunjukkan bahwa Anda sangat membutuhkannya dan tetap mengaguminya. Kehidupan rumah tangga pasangan usia setengah baya umumnya berada di masa-masa rawan. Kalau tak bijaksana mencermatinya, mudah sekali pernikahan ini disusupi berbagai haI yang akan menghancurkannya. Jika hal-hal mendasar tadi tidak segera diatasi, individu yang tengah mengalami puber kedua memang sulit menolak perselingkuhan.

Wah, rumit sekali tampaknya mempertahankan keutuhan rumah tangga ya ? Namun, ternyata tidak juga. Asal tahu triknya, bertahan dan bahagia dengan satu pasangan seumur hidup bukan tak mungkin terjadi. Kalau dikatakan bahwa lima tahun pertama adalah masa rawan-rawannya, dan setelah itu bisa diluncuri dengan mulus, kenapa masih saja ada orang bercerai meski belasan bahkan puluhan tahun sudah dilaluinya? Entahlah. Saya sendiri kurang paham. Ada banyak aspek dalam sebuah pernikahan. Selain penerimaan dan  pemahaman serta kompromi terhadap pasangan. Ada daya tahan terhadap cobaan, yang setiap individunya tak sama. Ada ‘kompor’ orang luar yang memanas-manasi sebuah keadaan dan membelokkan kepercayaan. Ada doa kepada 'Yang Menyatukan Hati' mereka yang mungkin kurang dimaksimalkan. Ada banyak hal. Namun hanya ada satu belahan jiwa, bahkan setelah lewat lima tahun pertama.

Ayo, berani menikah gak ??? Siapa bilang menikah itu enak. Enaknya cuma 1% sisanya 99 % itu uenaakkk . Gak percaya ?? coba aja hehehe....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri Komentar sehat dan membangun