Satu prinsip dasar dalam berurusan dengan sesama manusia adalah
dengan memberikan penghargaan yang jujur dan tulus. Jika kita
berelasi dengan banyak topeng kepura-puraan, lambat laun hubungan
menjadi suatu ritual kebohongan yang menuntut kompensasi secara liar
dari inti hubungan tersebut, baik hubungan bisnis, pertemanan, maupun
hubungan keluarga antara orangtua dan anak, antara pasangan nikah dan
kakak beradik.
William James seorang ahli psikologi terkenal, mengatakan kebutuhan
utama manusia adalah dihargai, jadi ini bukan lagi harapan untuk
dihargai, tetapi sudah merupakan suatu kebutuhan vital atas pemenuhan
jiwanya. Anggapan yang salah jika kita anggap karena orang lain masih
anak kecil, kita sepelekan, seperti iklan sebuah produk yang
berbunyi, "yang muda, dipandang sebelah mata"
Penyebab dari hampir semua kesulitan dalam hubungan, berakar di dalam
harapan yang bertentangan atau berbeda sekitar peran dan tujuannya.
Harapan dari hubungan yang dibangun harus dinyatakan secara terbuka,
jika satu pihak mempunyai agenda ganda dari inti dirinya membangun
hubungan tersebut, akan terjadi kesulitan untuk membuat hubungan
tersebut solid berdasar kepercayaan, dan kepekaan akan rasa saling
menghargai menjadi ajang penipuan jiwa belaka.
Dalam membina hubungan, kita harus mencermati unsur-unsur yang sangat
penting, seperti bagaimana kita menyampaikan suatu pesan yang berisi
inti suatu hubungan, dan bagaimana pesan itu kita sampaikan. Selain
itu, cara apa yang kita pakai untuk menyampaikan pesan tersebut, dan
sudahkah kita mempersiapkan diri, menerima apa pun reaksi yang kita
terima dari pesan yang kita kirim pada partner hubungan tersebut.
Tentu saja unsur-unsur ini berlaku pada semua jenis hubungan baik
hubungan antarindividu maupun hubungan bisnis antarperusahaan, bahkan
hubungan antarnegara. Banyak orang yang menderita suatu kekecewaan
dan mengalami luka jiwa yang sangat dalam, karena mitranya dalam
suatu hubungan bersikap sebagai pihak yang memuaskan kelaparan
jiwanya, untuk suatu hal yang penyembuhannya adalah menggenggam orang
dalam telapak tangan kekuasaannya.
Dalam suatu hubungan, banyak orang terjebak permainan manipulasi
emosi. "Ilmu" memanipulasi ini dimanfaatkan untuk mencapai
keinginannya. Jika dia mengetahui teknik itu dan merasa sukses, serta
tidak ada orang yang memprotes, teknik itu akan dipakai terus-
menerus.
Perbaikan tingkah laku yang menggantikan kata maaf akhirnya hanya
menjadi suatu permainan manipulasi emosi dan pemuasan ego semata.
Berikut beberapa petunjuk menghadapi orang yang mulai memainkan ilmu
manipulasi, terutama pada saat dalam situasi pertengkaran:
-Jangan membuat kesalahan dengan mengambil alih kekuasaan. Tarik
napas, tenangkan diri, kita bisa ambil energi untuk kejernihan
pikiran dan emosi.
-Waspadalah terhadap sikap merasa benar sendiri. Jangan membuat
pembelaan diri, jangan membalas teriakan dengan teriakan.
-Hindarilah petengkaran yang tak kunjung habis, berlalu secepatnya
dengan damai. Jangan terlibat diskusi.
-Jangan menyinggung kepribadiannya, kita bisa terhindar dari sikap
intimidasi masing-masing pihak.
-Selesaikan pertengkaran dengan pikiran yang tetap terkendali. Jangan
memperuncing keadaan dengan membongkar masalah yang sudah lalu.
Dengan demikian, kita bisa menyelesaikan masalah dengan tidak membuat
masalah baru.
Jika kita menjalin hubungan dengan orang yang memuaskan kelaparan
jiwanya dengan mengenggam orang lain dalam kekuasaannya, dengan
sangat terpaksa, kita harus berusaha bisa keluar dari lingkaran
hubungan tersebut. Apa pun kita buat untuk mempertahankan hubungan
ini, yang didapat adalah suatu "penjajahan" jiwa yang menjerumuskan
kita ke dalam frustasi dan depresi.
Di dalam hidup sehari- hari, kita melihat masyarakat diatur dalam
struktur hubungan yang berisi aturan dan definisi tentang siapa yang
berkuasa. Pola hubungan semacam ini hampir tak menyisakan ruang
dialog, siapa yang memegang kekuasaan dalam hubungan tersebut, dialah
penentu semua yang ada dalam hubungan itu.
Hubungan menjadi suatu relasi 'mati' diskusi menjadi komunikasi satu
arah, dan hal ini snagat berdampak serius pada hubungan dalam lingkup
relasi suami istri, atau anak dan orangtua. Rasa hormat dan saling
menghargai merupakan hukum yang utama dalam berhubungan dengan orang
lain.
Ingatlah bahwa pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan dianggap
penting, manusia tidak ingin dijajah oleh manusia lain. Thucydides -
Sejarawan Yunani (460-404 SM) mengungkapkan hal ini sebagai
berikut: "Rahasia kebahagiaan adalah kemerdekaan, dan rahasia
kemerdekaan adalah keberanian untuk bertanggung jawab atas perbuatan
kita."
Banyak jiwa yang dalam membangun suatu hubungan senang menjadi 'anak
buah' umumnya ini terjadi dalam suatu hubungan antartim kerja. Tentu
saja hal ini bukan berarti dia memilih menjadi anak buah, karena
senang dijajah, diperintah, atau dikontrol, tetapi lebih cenderung
kepada kejiwaan untuk menghindarkan tanggung jawab, baik itu target
kerja, atau inspirasi dan inovasi untuk kejayaan organisasi.
Menjadi anak buah dengan santai, tanpa ambisi dan prestasi. Tentu
saja jiwa demikian sulit menghargai kemampuan dirinya sendiri,
hubungan seperti ini menjadi timpang, sebab inti dari pesan yang
terkandung dalam hubungan tersebut sudah diisi dengan agenda ganda.
Kesuksesan suatu hubungan dapat terjadi, ketika setiap pihak
berpartisipasi untuk memberi dan menerima, ketika masing-masing
berperan sebagai guru sekaligus murid bagi yang lain. Hubungan diisi
dengan komitmen tak tertulis, bahwa masing-masing pihak akan berusaha
untuk "berubah" untuk mau "diubah" jika hal tersebut diperlukan,
untuk membuat hubungan tersebut tetap ada dan sehat, membawa
kebahagiaan dan kesehatan jiwa untuk semua pihak.
Sumber: Kunci Sukses Membina Hubungan oleh Lianny Hendranata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri Komentar sehat dan membangun