Kita tidak tahu pasti sejak kapan umat Islam mulai merayakan Idul
Fitri di Nusantara ini, tetapi jelas sudah berabad-abad, jauh sebelum
Indonesia sebagai bangsa yang baru muncul ke peta dunia tahun 1920-an,
dipelopori oleh Perhimpunan Indonesia (PI) di Negeri Belanda dan
dikukuhkan oleh Sumpah Pemuda 1928. Saya ingin berteori bahwa sebelum
tahun 1920-an, bangsa Indonesia belum ada. Hindia Belanda bukan
Indonesia, tetapi modal untuk kemudian diubah menjadi Indonesia, baik
sebagai bangsa maupun sebagai negara yang baru lahir pada 17 Agustus
1945. Adapun Nusantara yang terdiri dari ribuan pulau yang dikuasai
oleh beberapa kerajaan, besar atau kecil, memang sudah berusia ratusan
abad, mulai dari kerajaan Hindu di Kutai, Kalimantan Timur, awal abad
ke-5 Masehi, kerajaan Hindu Sanjayawangsa, kerajaan Buddha
Sriwijaya/Sailandra wangsa, kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, diikuti
kemudian beberapa kerajaan Islam di berbagai kepulauan.
Jika kita ikuti satu teori yang mengatakan bahwa Islam telah mulai
bertapak di sini sejak abad ke-7/8 Masehi, sekalipun berupa kerajaan
baru muncul akhir ke-13, kira-kira Idul Fitri memang sudah dirayakan
orang di berbagai kawasan Nusantara sejak puluhan abad yang silam.
Sebuah paradoks berlaku di sini, yaitu proses Islamisasi besar-besaran
terjadi justru karena kedatangan penjajahan Barat sejak permulaan abad
ke-17, antara lain dengan terbentuknya VOC tahun 1602. Karena merasa
terancam oleh kedatangan Barat, raja-raja lokal, baik yang berkuasa di
kawasan pantai maupun yang berdaulat di pedalaman, berlomba-lomba
merapat ke dan bekerja sama dengan kiai- kiai dan guru-guru agama
setempat karena melihat Islam sebagai kekuatan perlawanan terhadap
Barat, sekalipun pada akhirnya lumpuh juga. Yang menarik kemudian
adalah kenyataan bahwa hasil pergulatan pribumi versus Barat itu,
Islam telah menjadi agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk
Nusantara. Setelah bangsa Indonesia lahir, Islam relatif tetap menjadi
agama dominan sampai hari ini, setidak-tidaknya secara kuantitatif.
Adapun masalah kualitas memang masih jauh tertinggal, baik pada sisi
ilmu maupun pada sisi moral.
Jika dikaitkan dengan fenomena Idul Fitri yang berarti kembali pada
kesucian atau kembali berbuka, pertanyaan yang mendesak adalah mengapa
kultur bangsa mayoritas Muslim ini belum juga bergerak ke arah
kesucian dalam upaya pencarian sebuah makna yang autentik? Ada dua
kemungkinan jawaban. Pertama, umat Islam boleh jadi lebih terpaku dan
terpukau oleh dahsyatnya suasana perayaan, tetapi melupakan filosofi
yang mendasari Idul Fitri itu, berupa membangun kultur kesucian
setelah satu bulan menjalani puasa Ramadhan yang sarat dengan perintah
disiplin itu. Ungkapan Al Quran dalam surat al-Baqarah: 183, tentang
tujuan berpuasa yang berbunyi la'allakum tattaqûn (semoga kamu
berhasil meraih posisi takwa), ternyata bukan perkara mudah. Konsep
takwa kepada Allah tak dapat diterjemahkan dengan sikap takut kepada
Tuhan, tetapi mengandung pengertian menjaga diri dari kehancuran moral
agar tidak dimurkai Allah dengan tetap konsisten dalam perilaku lurus
dan jujur. Puasa Ramadhan adalah salah satu bentuk latihan disiplin
mental dan fisik selama sebulan penuh menuju posisi ideal itu.
Kedua, aspek asketisme Ramadhan hampir tidak pernah diwacanakan secara
luas dan terus-menerus dalam berbagai forum saat membedah filosofi
puasa, khususnya ketika sebagian anak bangsa ini masih dililit gurita
kemiskinan. Akibatnya, tidak jarang suasana Idul Fitri dirayakan
secara berlebihan dan penuh kemewahan oleh mereka yang beruntung. Bagi
mereka yang terdampar, berebut zakat atau zakat fitrah di hari raya
adalah kenyataan yang masih "setia" dengan masyarakat kita. Memang
tidak keliru melihat keterkaitan perasaan lapar dan dahaga selama
puasa dengan sikap kepedulian sosial terhadap mereka yang telantar,
tetapi harus lebih jauh dari itu, yaitu dengan berpuasa orang akan
terbebas dari kerakusan, baik terhadap benda maupun terhadap
kekuasaan. Mahatma Gandhi pernah berkata, "Dunia cukup untuk
menghidupi setiap orang, tetapi tak cukup untuk melayani si rakus."
Dengan menghidupkan kultur asketisme Ramadhan ini diharapkan kerakusan
akan dapat dihalau sehingga masyarakat secara keseluruhan, khususnya
kaum elite, akan menghayati benar makna ungkapan la'allakum tattaqûn,
karena Allah adalah musuh sejati bagi manusia rakus yang biasa
bergelimang dalam kemewahan dan kedangkalan.
Akhirnya kita berharap agar Idul Fitri 1429 Hijriah tahun ini, di
samping dirayakan secara masif yang memang tidak ada duanya saban
tahun, akan dapat menyadarkan kita semua agar secara bertahap mau
menyelami hakikat puasa dan Idul Fitri sehingga buah yang didapat
adalah kemenangan autentik, bukan capaian spiritual yang dangkal dan
tunamakna. Semoga roda sejarah modern Indonesia akan bergerak menuju
kepribadian yang tangguh bermartabat sebagai hasil dari pencarian
sebuah makna spiritual yang terdalam.
Sumber: Pencarian Sebuah Makna oleh Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua
Umum Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri Komentar sehat dan membangun