Jumat, 28 September 2007

Antara TDA dan TDB

Ada pendapat baru tentang arti dari TDA dan TDB.
Jelas dan gamblang bahwa jawaban yang diberikan adalah bahwa TDA = Tangan Di Atas = Pengusaha, sedangkan TDB = Tangan Di Bawah = Karyawan.


Yang menggelitik perasaan saya adalah, apa iya setiap karyawan itu sudah pasti “Tangan Di Bawah”?


Menurut pengertian umum, “tangan di bawah” mengandung arti “tangan yang menerima” dan bukan “tangan yang memberi”. Arti sebaliknya berlaku bagi “tangan di atas”. Dalam pengertian yang lebih luas, sering diartikan bahwa orang yang “tangan di bawah” adalah mereka yang kehidupannya lebih tergantung dari pemberian orang lain.
Ekstrimnya, kaum tangan di bawah adalah mereka yang nasibnya lebih bergantung pada belas kasihan orang lain. Mudah-mudahan pengertian ini tidak terlalu salah, atau melenceng terlalu jauh dari arti sesungguhnya.


Nah sekali lagi, timbul pertanyaan, apa benar seorang karyawan sudah pasti “TDB”, dan hidupnya mesti bergantung pada orang lain yang namanya majikan?


Menurut saya, seorang karyawan akan menjadi “TDB” atau tidak, sama sekali tergantung dari paradigma yang ada di kepalanya saat menjalankan hajat hidupnya sebagai karyawan. Paradigma itulah yang nanti akan menyebabkan dia menjadi “TDB” atau bukan. Jadi, tidak selamanya yang disebut karyawan, pegawai, orang gajian atau apa pun namanya, menjadi “TDB” karena bekerja terhadap majikan.


Ada 3 (tiga) jenis paradigma di benak karyawan,
yaitu pertama: yang bersangkutan cenderung kurang menghargai hubungan kerja, kedua : menghargai hubungan kerja secara berlebihan,
dan yang ketiga : menghargai hubungan kerja secara wajar sambil menempatkan diri sejajar, setara, sederajat atau setingkat terhadap majikan, dengan tujuan menjaga unsur keseimbangan yang saling menguntungkan.


Ketiga jenis sikap di atas, akan melahirkan tipe-tipe karyawan yang dapat kita kenali dari sepak terjangnya dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari:

1) Tipe Petualang.
2) Tipe Pengabdi.
3) Tipe Mitra.


TIPE PETUALANG
Karyawan jenis ini condong memperlakukan perusahaan tempat ia bekerja hanya sebagai obyek yang bisa dikendalikan sesuka hati, atau sebagai tambang emas yang bisa digali dan dikeruk isi perutnya sepuas-puasnya. Yang termasuk dalam katagori tipe petualang antara lain mereka yang bekerja untuk mencari uang sebanyak-banyaknya dan melakukannya secara “hantam kromo”, tidak peduli halal atau tidak, yang penting duit! Sehingga terjadilah peristiwa-peristiwa tidak terpuji seperti korupsi materi, korupsi waktu, penggelapan bahkan pencurian dan lain sebagainya. Sering bolos untuk menjalankan usaha sampingan, juga termasuk dalam golongan ini.


Demikian juga dengan tipe Kutu Loncat. “Kutu loncat” adalah mereka yang selalu berpindah-pindah kerja dari satu perusahaan ke lain perusahaan, tergantung dari pihak mana yang menurutnya lebih baik dalam hal memberi kedudukan dan uang. Dengan sendirinya, mereka mudah “dibajak” dengan iming-iming gaji besar.

Tipe petualang tidak termasuk dalam dikotomi TDA vs TDB.


TIPE PENGABDI
Sementara itu, sebagian orang berpikiran bahwa kerja pada majikan, sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah rumah tangga. Mereka berpendapat, dari situlah dapur bisa berasap sehingga semua anggota keluarga bisa makan dan roda kehidupan berputar dengan wajar. Dengan anggapan ini, mereka selalu mendambakan sebuah pekerjaan yang tenang tenteram, dan bisa dijadikan tumpuan selama hidup.


Maka orang-orang jenis ini akan terlihat bekerja sehari-hari secara cukup tekun, cukup rajin, tidak terlalu banyak menuntut dan sebaliknya juga tidak terlalu keras bekerja demi karir. Karena sangat menyenangi ketenangan kerja dalam lingkup tanggung jawab terbatas, mereka tahan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang “itu-itu” juga, dalam suasana yang monotone tanpa perubahan apa pun.


Pada peristiwa PHK, orang-orang ini akan menjadi sangat panik, karena sesuai dengan jalan pikiran mereka, PHK akan menyebabkan rumah tangga porak-poranda. Dapur akan kehilangan asapnya, sumber makan keluarga akan terhenti, anak-anak terlantar dan tidak terbayang kegiatan apa yang bisa mereka lakukan setelah berhenti dari pekerjaan sekarang.


Tipe pengabdi inilah yang pada umumnya menganggap majikan sebagai dewa penolong kehidupan, sehingga merasa bahwa posisi mereka ada di bawah posisi majikan. Merekalah yang mengganggap diri mereka sendiri sebagai “TDB” alias tangan di bawah.


TIPE MITRA
Seorang karyawan yang membangun hubungan kerja berdasarkan falsafah kemitraan, akan mempunyai perilaku yang sama sekali berbeda dibanding mereka yang menganut falsafah kerja petualang atau pengabdian semu. Di sini, karyawan penganut kemitraan menganggap perusahaan majikan sebagai amanah yang harus dijaga, dipelihara, dibina serta dikembangkan dengan penuh tanggung jawab. Sehingga tidak pernah selintas pun timbul pikirannya untuk melakukan korupsi, penggelapan serta hal-hal lain yang tak terpuji.


Di lain pihak, ia juga tidak pernah menganggap majikan sebagai dewa penolong yang memberinya penghidupan, karena ia sadar bahwa apa yang diterimanya dari sang majikan merupakan timbal balik dari jasa-jasa, kepiawaian, energi, waktu serta profesionalisme yang ia dedikasikan kepada perusahaan.


Dalam hal ini, paradigma karyawan tersebut sudah menerapkan konsep “True Salesmanship” yang berbasiskan pemikiran kerjasama saling menguntungkan. Sebuah transaksi yang didasarkan atas jual-beli berprinsip “Win-win solution”, di mana semua pihak diuntungkan, semua pihak berbahagia dan tidak ada pihak yang dirugikan atau teraniaya. Oleh sebab itu, sosok seperti ini tidak dapat digolongkan dalam profil “TDB”, melainkan “TDA” bersama-sama dengan majikannya.


Dengan konsep pemikiran seperti itu, secara sadar atau tidak, unsur kewirausahaan sudah cukup dominan dalam sepak terjang karyawan tipe ini. Maka tidaklah mengherankan, kalau pada suatu saat nanti, karyawan tipe mitra akan muncul secara surprise, sebagai seorang wirausahawan tangguh.


Himbauan saya bagi teman-teman yang merasa “TDB”, dan merasa masih agak terlalu jauh untuk sampai di tatanan wirausahawan mandiri, ada satu langkah awal yang cukup efektif, yaitu merubah paradigma dari seorang karyawan yang “TDB”, menjadi karyawan yang “TDA”. Insya Allah, setelah itu jalan menuju kemandirian akan lebih terbuka.



Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan

E-mail: rusman@gacerindo.com