"Seorang pemimpin adalah seseorang yang melihat lebih banyak dari
pada yang dilihat orang lain, yang melihat lebih jauh dari pada yang
dilihat orang lain, dan yang melihat sebelum yang lainnya melihat."
Levoy Eims, penulis buku Be The Leader You Were Meant To Be.
Levoy Eims mencoba memberikan gambaran tentang seorang pemimpin
sejati. Kita semua sangat membutuhkan seorang pemimpin sejati guna
membangun budaya positif, kemajuan dan prestasi dalam berbagai bidang
kehidupan; misalnya dalam bisnis, organisasi atau sosial masyarakat.
Melalui kisah tentang dua orang penjelajah kutub selatan berikut ini
kita akan mencoba meneladani bagaimana sosok pemimpin sejati yang
sesungguhnya.
Dikisahkan bahwa kutub utara telah berhasil ditahklukkan pada tanggal
6 April 1909 oleh kelompok penjelajah pimpinan Robert E. Peary (1856-
1920) asal Amerika. Berita tentang keberhasilan penjelajahan tersebut
segera tersebar ke seluruh penjuru dunia. Dua orang diantaranya
tertarik untuk menahlukkan kutub selatan, yaitu Roald Amundsen (1872-
1928) dari Norwegia dan seorang pejabat angkatan laut Inggris, Kapten
Robert Falcon Scott.
Kedua orang tersebut berkeinginan untuk mencapai kutub selatan dari
rute yang berbeda. Dikisahkan bahwa tim penjelajah dibawah pimpinan
Roald Amundsen berhasil mencapai kutub selatan pada tanggal 14
Desember 1911, atau satu bulan lebih cepat dari tim penjelajah
pimpinan Robert Falcon Scott. Selanjutnya tim penjelajah pimpinan
Amundsen berhasil kembali pulang dengan selamat. Sedangkan berita
menyedihkan datang dari tim penjelajah pimpinan Scott, karena semua
anggota tim termasuk dirinya sendiri tewas dalam perjalanan pulang
dari kutub selatan.
Mengapa dapat terjadi, dua tim yang sama-sama menghadapi tantangan
berat selama menembus kutub selatan mencapai hasil yang bertolak
belakang? Banyak kalangan menilai bahwa kegagalam tim Scott maupun
keberhasilan tim Amundsen sangat ditentukan oleh pola kepemimpinan
masing-masing diantara mereka. Dari sanalah kita mencoba mencermati
bagaimanakah pola kepemimpinan masing-masing diantara mereka untuk
mengetahui apakah mereka termasuk pemimpin yang ideal atau tidak.
Di Inggris, Scott dikenal mempunyai kemampuan memimpin yang luar
biasa. Visi dan misi yang ingin ia capai bersama tim penjelajah juga
jelas, yaitu mencapai kutub selatan dan pulang dengan membawa
keberhasilan. Untuk mencapai visi dan misi tersebut ia juga melakukan
berbagai persiapan.
Diceritakan bentuk persiapan Scott antara lain adalah menyediakan
sebuah kereta luncur bermesin ditambah dengan beberapa ekor anak
kuda. Ia bersama timnya juga menyediakan pos-pos persediaan makanan
di sepanjang rute yang akan mereka lalui. Tetapi bagaimana kelanjutan
kisah mereka dan penyebab utama sehingga semua anggota tim termasuk
Scott sendiri tewas dalam perjalanan pulang dari kutub selatan?
Semua kisah dan kendala yang harus mereka hadapi terungkap dalam
surat-surat tulisan Scott yang diketemukan di dalam tubuhnya beberapa
bulan setelah kematiannya. Surat-surat tersebut kemudian disimpan
oleh Philippa Scott, putra tunggal Scott. Philippa Scott yang
meninggal dunia pada tahun 1989 itu menghadiahkan surat-surat milik
Scott kepada Scott Polar Research Institute di Universitas Cambridge.
Scott Polar Research Institute di Universitas Cambridge memamerkan
surat-surat Scott kepada khalayak umum pada tanggal 17 Januari 2007.
Dalam surat tersebut diketahui bahwa kendala serius mulai muncul
ketika kereta luncur bermesin itu rusak pada hari ke-5 penjelajahan
dimulai. Scott menulis bahwa cadangan tenaga dari anak-anak kuda tak
lagi dapat diandalkan. Pasalnya, anak-anak kuda itu tak mampu
bertahan dalam cuaca dingin, sehingga anggota tim Scott terpaksa
membunuh anak-anak kuda itu di kaki gunung Transantarctic.
Setelah itu semua anggota tim terpaksa bahu-membahu menarik kereta
luncur seberat 200 pon. Sementara pos-pos persediaan makanan yang
sudah dipersiapkan ternyata lokasinya sangat sulit dijangkau. Tim
Scott benar-benar kesulitan menemukan pos-pos makanan itu. Sehingga
tenaga mereka terkuras.
Sedangkan cuaca yang sangat dingin menyebabkan stamina tim penjelajah
pimpinan Scott menurun drastis. Terlebih mereka kurang
memperhitungkan kesiapan peralatan penjelajahan, terutama kaca mata.
Tak mengherankan jika dalam penjelajahan tersebut anggota tim Scott
mengalami kendala kesehatan serius, misalnya; dehidrasi, mata hampir
buta, kedinginan, kelaparan, dan keracunan dalam darah.
Di sisi lain, Amundsen sebagai pemimpin juga mempunyai visi yang
jelas dan tidak berbeda dengan visi yang ingin dicapai tim Scott.
Bedanya, Amundsen melakukan perencanaan yang sangat teliti dan
persiapan yang matang, termasuk mempelajari metode-metode kaum Eskimo
serta penjelajah Arctic lain yang sudah berpengalaman. Salah satu
bentuk persiapan mereka antara lain adalah kereta luncur yang ditarik
oleh beberapa ekor anjing. Kekuatan anjing-anjing itu dalam sehari
maksimal hanya 6 jam atau sekitar 20 mil perjalanan.
Tim pimpinan Amundsen juga menyiapkan pos-pos yang menyediakan
makanan dan minuman cukup banyak dan lokasinya mudah dijangkau.
Dengan demikian, tim Amundsen tidak kesulitan mendapatkan persediaan
makanan di sepanjang perjalanan. Lagipula mereka tak perlu membawa
beban terlalu berat. Selain itu, Amundsen melengkapi timnya dengan
peralatan penjelajahan terbaik dan lengkap.
Dari sana kita dapat melihat bahwa sudah menjadi tugas pemimpin untuk
menentukan arah tim atau organisasi yang ia pimpin. John C. Maxwell
mengatakan, "Ibaratnya siapapun dapat mengemudikan kapal, namun hanya
pemimpin yang dapat menentukan arahnya." Sosok pemimpin seperti
Amundsen maupun Scott sebenarnya sudah mampu memainkan peran mereka
sebagai pimpinan, terbukti mereka berdua sudah mampu merumuskan visi
dan misi yang hendak mereka capai.
Tetapi seorang pemimpin tak hanya perlu menciptakan visi dan misi,
melainkan merumuskan realita yang ada, termasuk kekurangan dan
kekuatan yang ada dalam tim, organisasi, negara dan lain sebagainya.
Selain itu, seorang pemimpin ideal akan sangat menghargai perbedaan
maupun kekurangan masing-masing fungsi sekaligus menciptakan
harmonisasi sehingga elemen-elemen yang ada saling mensinergi
kemajuan. Seorang pemimpin juga dituntut untuk peka dan mampu
memperhitungkan segenap potensi yang ada untuk menciptakan
pertumbuhan dan merealisasikan visi dan misinya menjadi kenyataan.
Scott tidak mempunyai kualitas sebagai pemimpin ideal sebagaimana
disebutkan di alenia di atas. Ia tidak peka dan tidak mampu
mengharmoniskan potensi yang ada di dalam timnya untuk mencapai visi
dan misi. Dikisahkan sesaat sebelum berangkat, Scott secara sepihak
memutuskan menambah satu orang, yaitu rekannya sendiri, kedalam tim
penjelajahan menjadi 5 orang. Padahal bekal ketersediaan bahan
makanan tim tersebut hanya cukup untuk 4 orang.
Meskipun mereka berhasil mencapai kutub selatan pada tanggal 17
Januari 1912, tetapi kondisi kesehatan para anggota tim Scott sangat
lemah dan kelaparan. Melihat kondisi seperti itupun Scott masih
berkeras agar timnya membawa pulang 30 pon spesimen geologi. Tindakan
Scott itu jelas semakin membebani para anggota timnya, sekaligus
membuktikan bahwa ia bukanlah pemimpin yang cukup peka. Padahal
kepekaan terhadap kerinduan, keinginan, harapan dan kemauan para
anggota tim merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam
memimpin.
Tindakan Scott yang tidak peka benar-benar fatal hingga menewaskan
semua anggota tim termasuk dirinya sendiri. Dalam sebuah cacatan
harian, Scott menuliskan penyesalannya, "It is a terrible
disappointment, and I am very sorry for my loyal companions. ?Ini
merupakan kekecewaan yang begitu dalam, dan saya sangat menyesalkan
tindakan saya terhadap rekan-rekan yang sudah begitu setia (para
anggota dalam tim penjelajahannya) ." Tragedi yang menimpa semua
anggota tim diakibatkan Scott lebih mengutamakan egonya sendiri. Hal
itu mencerminkan ketidakmampuan Scott menjadi pemimpin sejati.
Kesimpulan tentang kualitas pemimpin ideal sebenarnya senada dengan
pendapat Patricia Patton, seorang konsultan profesional. "It took a
heart, soul and brains to lead a people 뀉, - Untuk memimpin orang
lain dibutuhkan totalitas pengabdian dengan segenap hati, jiwa, dan
pikiran," katanya. Dengan demikian seorang pemimpin sejati tak hanya
harus memiliki kecerdasan intelektual, melainkan kecerdasan
emosional.
Daniel Goleman kemudian mengelompokkan tipe pemimpin kedalam 6
golongan, yaitu visionary (memiliki visi), coaching (mendidik),
affiliate (mengedepankan keharmonisan dan kerja sama), democratic
(menghargai pendapat orang lain), pacesetting (memberikan contoh dan
tindakan), commanding (tegas dan berani mengambil resiko). Namun tipe
pemimpin paling ideal menurutnya adalah mereka yang mampu menerapkan
ke-6 tipe tersebut sesuai dengan kebutuhan secara benar dan tepat.
Selama ini kualitas pemimpin sejati dianggap sebagai bakat yang
tumbuh dalam diri seseorang secara alamiah. Tetapi sebenarnya
kemampuan menjadi pemimpin sejati dapat dilatih, khususnya untuk
meningkatkan kemampuan komunikasi, berpikir dan bertindak positif,
membangun jaringan dan kerjasama, menetapkan target-target,
berempati, dan lain sebagainya. Artinya, siapapun dapat tampil
sebagai pemimpin sejati yang menjadi dambaan semua orang dan berperan
siginifikan sebagai pelopor untuk membangun kehidupan kita semua,
asalkan ada kemauan dan upaya yang sungguh-sungguh untuk melatih diri
misalnya melalui seminar, pelatihan, belajar dari pemimpin yang
sukses maupun sejarah kebijakan mereka dan lain sebagainya.[ aho]
Sumber: Menjadi Pemimpin Sejati oleh Andrew Ho. Andrew Ho adalah
penulis buku bestseller, motivator, dan pengusaha.