Jumat, 27 Juli 2007

PENGANTIN BARU SUDAH BERTENGKAR



Lewat tengah malam, segerombolan perampok mulai beraksi. Setelah berkeliling desa, mereka mendapati sebuah rumah dengan pintu seperempat terbuka. Aha! Ini mangsa yang tak boleh dilewatkan.

Saat masuk, mereka melihat banyak sekali kado. Wah, rupanya di rumah ini baru saja ada pesta besar, demikian pikir mereka.Tak mau berlama-lama, mereka pun mulai bekerja. Kado-kado berikut TV dan kipas angin yang ada di ruang tamu langsung mereka gotong. Dari ruang makan, kulkas dan peralatan masak yang masih baru-baru habis mereka gasak.

Ketika masuk ke kamar, mereka tercengang. Terpampang jelas sosok sepasang manusia sedang berbaring saling memunggungi. Tapi kok diam kayak patung, tidak bergerak sama sekali. Siapakah mereka? Apakah mereka pemilik rumah? Saat pandangan mereka berkeliling, terlihat baju pengantin. Mereka baru sadar, rupanya ini rumah pengantin baru. Karena berpacu dengan waktu, gerombolan itu pun beraksi tanpa memedulikan keduanya. Baju pengantin, kotak perhiasan, dan perkakas lain tandas disikat.

Kisah ini dimulai pagi tadi: sepasang kekasih menikah di depan penghulu. Pesta besar pun berlangsung, suasana begitu meriah. Tamu-tamu berdatangan, mereka makan, minum, menari, bergembira merayakan sukacita besar ini.

Malam pun tiba. Tetamu sudah pulang. Tinggallah kedua pengantin. Karena berpesta seharian, mereka kelelahan, memasuki kamar, lalu naik ke ranjang.

Belum apa-apa, terdengar derit pintu depan tertiup angin. Si suami ingat, pintu memang belum ditutup. Berkatalah ia, “Sayang, pintu depan belum dikunci. Turun dong sebentar dan tutup pintunya.”

Tetapi istrinya menjawab, “Kamu ini gimana sih, aku kan capek, kamu aja yang turun.”

“Kamu ini istri apaan sih? Baru beberapa jam jadi istriku, sudah berani membantah. Emangnya kamu siapa, hah? Hayo, tutup pintunya,” balas si suami dengan suara tinggi.

Si istri tak mau kalah dan dengan kasar ia menyembur, “Sialan kamu, baru berapa jam jadi suamiku, sudah kayak raja memerintah seenak perut, membentak-bentak lagi. Emangnya aku budakmu, apa?”

Mereka pun bertengkar panjang sambil mempertahankan argumentasi masing-masing, siapa yang seharusnya menutup pintu.

Tak tahan, akhirnya si suami berkata, “Sudah, sudah, aku capek. Begini aja: kita saling diam, dan siapa yang duluan ngomong, dia harus menutup pintu.”

Mereka berdua pun menutup mulut rapat-rapat. Mereka pura-pura tidur, namun sebenarnya keduanya tidak bisa tidur karena saling mengintip, saling menunggu, siapakah yang bakal kalah dalam pertarungan ego ini.

Ketika perampok itu sudah pergi agak jauh, si istri tidak tahan lagi lalu menyemburkan makian penuh amarah, “Lelaki guooobloook! Kamu gimana siiih? Sudah tahu rumah dirampok, masih aja diam kayak bangkeee!”

Tetapi si suami menjawab tenang dengan perasaan puas, “Haaa, aku menang! Sekarang, kamu turun! Tutup pintunya!”

* * *

Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari cerita ini. Namun satu aspek saja yang ingin saya sampaikan: maulah sedikit repot, turun tangan mengerjakan tugas-tugas yang patut dikerjakan, dan janganlah saling melempar tanggungjawab.

Ketika pengantin malang tersebut berjanji sehidup-semati, pasti tidak ada kontrak yang berisi job description yang rinci: siapa harus menutup jendela, mengunci pintu, mengambil air, melipat selimut, memasak nasi, dan berbagai tugas rumahtangga lainnya.

Tetapi karena keduanya kebetulan pemalas dan suka melempar tanggungjawab, dalam kelelahan mereka, masing-masing mengharapkan pasangannyalah yang seharusnya mengerjakan ini dan itu. Tak terhindarkan, kejadian tragis di atas pun terjadi. Bukan cuma itu, seluruh kebahagiaan mereka sebagai pengantin baru lenyap begitu saja.

Di kantor, banyak sekali hal yang tidak dirumuskan dalam job description kita. Namun bila ada pekerjaan yang mendadak muncul—padahal kita tahu jika tidak segera dikerjakan akan menimbulkan kerugian atau bahaya bagi perusahaan—maka wajiblah kita mengerjakannya tanpa harus berharap apa imbalannya, berapa honornya, atau bagaimana uang lemburnya. Kita mengerjakannya hanya karena rasa tanggungjawab, rasa peduli. Sebagai warga organisasi, kita turut menjadi pemilik, sedikitnya, harus ada rasa memiliki, rasa yang muncul karena kita diserahi amanah menjaga organisasi. Inilah arti Etos Kerja: Amanah mengharuskan kita bertanggungjawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri Komentar sehat dan membangun