Jumat, 27 Juli 2007

8 ETOS PENDONGKRAK GAIRAH KERJA


Hidup hanya menyediakan dua pilihan: mencintai
pekerjaan atau mengeluh setiap hari. Jika tidak bisa
mencintai pekerjaan, maka kita hanya akan memperoleh
“5-ng”: ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan
ngeyel.

Punya masalah dengan semangat kerja? Jangan gundah
gulana, Anda tidak sendirian. Banyak orang lain yang
punya problem serupa. Namun, bukan tidak ada
solusinya!

Hampir semua orang pernah mengalami gairah kerjanya
melorot. “Itu lumrah,” kata Jansen Sinamo, ahli
pengembangan sumber daya manusia dari Institut Darma
Mahardika, Jakarta. Meski lumrah, “impotensi” kerja
harus diobati.

Cara terbaik untuk mengatasinya, menurut Jansen,
dengan langsung membenahi pangkal masalahnya, yaitu
motivasi kerja. Itulah akar yang membentuk etos kerja.
Secara sistematis, Jansen memetakan motivasi kerja
dalam konsep yang ia sebut sebagai “Delapan Etos Kerja
Profesional”. Sejak 1999, ia aktif mengkampanyekan
gagasan itu lewat berbagai pelatihan yang ia lakukan.

Etos pertama: kerja adalah Rahmat.
Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai
kantor, sampai buruh kasar sekalipun, adalah rahmat
dari ALLAH. Anugerah itu kita terima tanpa syarat,
seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya
sepeser pun.

Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja
adalah anugerah. Dengan bekerja, setiap tanggal muda
kita menerima gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Dengan bekerja kita punya banyak teman
dan kenalan, punya kesempatan untuk menambah ilmu dan
wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu anugerah
yang patut disyukuri. Sungguh kelewatan jika kita
merespons semua nikmat itu dengan bekerja ogah-ogahan.

Etos kedua: kerja adalah Amanah.
Apa pun pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri,
atau anggota DPR, semua adalah amanah. Pramuniaga
mendapatkan amanah dari pemilik toko. Pegawai negeri
menerima amanah dari negara. Anggota DPR menerima
amanah dari rakyat. Etos ini membuat kita bisa bekerja
sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya
korupsi dalam berbagai bentuknya.

Etos ketiga: kerja adalah Panggilan.
Apa pun profesi kita, perawat, guru, penulis, semua
adalah darma. Seperti darma Yudistira untuk membela
kaum Pandawa. Seorang perawat memanggul darma untuk
membantu orang sakit. Seorang guru memikul darma untuk
menyebarkan ilmu kepada para muridnya. Seorang penulis
menyandang darma untuk menyebarkan informasi tentang
kebenaran kepada masyarakat. Jika pekerjaan atau
profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap
pada diri sendiri, “I’m doing my best!” Dengan begitu
kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita
kurang baik mutunya.

Etos keempat: kerja adalah Aktualisasi.
Apa pun pekerjaan kita, entah dokter, akuntan, ahli
hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang
membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara
terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat
kita merasa “ada”. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh
lebih menyenangkan daripada duduk bengong tanpa
pekenjaan.

Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari
kebutuhan psikososial manusia. Dengan bekerja,
misalnya, seseorang bisa berjabat tangan dengan rasa
pede ketika berjumpa koleganya. “Perkenalkan, nama
saya Miftah, dari Bank Kemilau.” Keren ‘kan?

Etos kelima: kerja itu Ibadah.
Tak peduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua
pekerjaan yang halal merupakan ibadah. Kesadaran ini
pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara
ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata.
Jansen mengutip sebuah kisah zaman Yunani kuno seperti
ini:

Seorang pemahat tiang menghabiskan waktu
berbulan-bulan untuk mengukir sebuah puncak tiang yang
tinggi. Saking tingginya, ukiran itu tak dapat dilihat
langsung oleh orang yang berdiri di samping tiang.
Orang-orang pun bertanya, buat apa bersusah payah
membuat ukiran indah di tempat yang tak terlihat? Ia
menjawab, “Manusia memang tak bisa menikmatmnya. Tapi
ALLAH bisa melihatnya.” Motivasi kerjanya telah
berubah menjadi motivasi transendental.

Etos keenam: kerja adalah Seni.
Apa pun pekerjaan kita, bahkan seorang peneliti pun,
semua adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita
bekerja dengan enjoy seperti halnya melakukan hobi.
Jansen mencontohkan Edward V Appleton, seorang
fisikawan peraih nobel. Dia mengaku, rahasia
keberhasilannya meraih penghargaan sains paling
begengsi itu adalah karena dia bisa menikmati
pekerjaannya.

“Antusiasmelah yang membuat saya mampu bekerja
berbulan-bulan di laboratorium yang sepi,” katanya.
Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan
ilmuwan seserius Einstein pun menyebut rumus-rumus
fisika yang njelimet itu dengan kata sifat beautiful.

Etos ketujuh: kerja adalah Kehormatan.
Seremeh apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah
kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik,
maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang
kepada kita.

Jansen mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta
Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja
(menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang
serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah
kehormatan. Hasilnya, kita sudah mafhum. Semua
novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.

Etos kedelapan: kerja adalah Pelayanan.
Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan
penjaga mercu suar, semuanya bisa dimaknai sebagai
pengabdian kepada sesama.

Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang
lelaki tua sebatang kara karena ditinggal mati oleh
istri dan anaknya. Bagi kebanyakan orang, kehidupan
seperti yang ia alami mungkin hanya berarti menunggu
kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke lembah
Cavennen, sebuah daerah yang sepi. Sambil
menggembalakan domba, ia memunguti biji oak, lalu
menanamnya di sepanjang lembah itu. Tak ada yang
membayarnya. Tak ada yang memujinya. Ketika meninggal
dalam usia 89 tahun, ia telah meninggalkan sebuah
warisan luar biasa, hutan sepanjang 11 km!
Sungai-sungai mengalir lagi. Tanah yang semula tandus
menjadi subur. Semua itu dinikmati oleh orang yang
sama sekali tidak ia kenal.

Di Indonesia semangat kerja serupa bisa kita jumpai
pada Mak Eroh yang membelah bukit untuk mengalirkan
air ke sawah-sawah di desanya di Tasikmalaya, Jawa
Barat. Juga pada diri almarhum Munir, aktivis Kontras
yang giat membela kepentingan orang-orang yang
teraniaya.

“Manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dengan
dilengkapi keinginan untuk berbuat baik,” kata Jansen.
Dalam bukunya Ethos21, ia menyebut dengan istilah
rahmatan lii alamin (rahmat bagi sesama).

Pilih cinta atau kecewa
* Menurut Jansen, kedelapan etos kerja yang ia gagas
itu bersumber pada kecerdasan emosional spiritual. Ia
menjamin, semua konsep etos itu bisa diterapkan di
semua pekerjaan.

“Asalkan pekerjaan yang halal,” katanya. “Umumnya,
orang bekerja itu ‘kan hanya untuk nyari gaji. Padahal
pekerjaan itu punya banyak sisi,” katanya.

Kerja bukan hanya untuk mencari makan, tetapi juga
mencari makna. Rata-rata kita menghabiskan waktu 30 -
40 tahun untuk bekerja. Setelah itu pensiun, lalu
manula, dan pulang ke haribaan ALLAH. “Manusia itu
makhluk pencari makna. Kita harus berpikir, untuk apa
menghabiskan waktu 40 tahun bekerja. Itu ‘kan waktu
yang sangat lama,” tambahnya.

Ada dua aturan sederhana supaya kita bisa antusias
pada pekerjaan. Pertama, mencari pekerjaan yang sesuai
dengan minat dan bakat. Dengan begitu, bekerja akan
terasa sebagai kegiatan yang menyenangkan.

Jika aturan pertama tidak bisa kita dapatkan, gunakan
aturan kedua: kita harus belajar mencintai pekerjaan.
Kadang kita belum bisa mencintai pekerjaan karena
belum mendalaminya dengan benar. “Kita harus belajar
mencintai yang kita punyai dengan segala
kekurangannya,” kata sarjana Fisika ITB yang lebih
suka dengan dunia pelatihan sumber daya manusia ini.

Hidup hanya menyediakan dua pilihan: mencintai
pekerjaan atau mengeluh setiap hari. Jika tidak bisa
mencintai pekerjaan, maka kita hanya akan memperoleh
“5-ng”: ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan
ngeyel. Jansen mengutip filsuf Jerman, Johann Wolfgang
von Goethe, “It’s not doing the thing we like, but
liking the thing we have to do that makes life happy.”

“Dalam hidup, kadang kita memang harus melakukan
banyak hal yang tidak kita sukai. Tapi kita tidak
punya pilihan lain. Tidak mungkin kita mau enaknya
saja. Kalau suka makan ikan, kita harus mau ketemu
duri,” ujar pria yang kerap disebut sebagai Guru Etos
ini.

Dalam dunia kerja, duri bisa tampil dalam berbagai
macam bentuk. Gaji yang kecil, teman kerja yang tidak
menyenangkan, atasan yang kurang empatik, dan masih
banyak lagi. Namun, justru dari sini kita akan ditempa
untuk menjadi lebih berdaya tahan.

Bukan gila kerja
* Dalam urusan etos kerja, bangsa Indonesia sejak dulu
dikenal memiliki etos kerja yang kurang baik.

Di jaman kolonial, orang-orang Belanda sampai menyebut
kita dengan sebutan yang mengejek, in lander pemalas.
Ini berbeda dengan, misalnya, etos Samurai yang
dimiliki bangsa Jepang. Mereka terkenal sebagai bangsa
pekerja keras dan ulet.

Namun, Jansen menegaskan, pekerja keras sama sekali
berbeda dengan workaholic. Pekerja keras bisa
membatasi diri, dan tahu kapan saatnya menyediakan
waktu untuk urusan di luar kerja. Sementara seorang
workaholic tidak. Dalam pandangan Jansen, kondisi
kerja yang menyenangkan adalah kerja bareng semua
pihak. Bukan hanya bawahan, tapi juga atasan.

Sering seorang atasan mengharapkan bawahannya bekerja
keras, sementara ia sendiri secara tidak sengaja
melakukan sesuatu yang melunturkan semangat kerja
bawahan. Jansen memberi contoh, atasan yang mengritik
melulu jika bawahan berbuat keliru, tapi tak pernah
memujinya jika ia menunjukkan prestasi.

Secara manusiawi hal itu akan menyebabkan bawahan
kehilangan semangat bekerja. Buat apa bekerja keras,
toh hasil kerjanya tak akan dihargai. Ingat, pada
dasarnya manusia menyukai reward.

Konosuke Matsushita, pendiri perusahaan Matsushita
Electric Industrial (MET) punya teladan yang bagus.
Pada zaman resesi dunia tahun 1929-an, pertumbuhan
ekonomi Jepang anjiok tajam. Banyak perusahaan mem-PHK
karyawan. MEI pun terpaksa memangkas produksi hingga
separuhnya. Namun, Matsushita menjamin tak ada satu
karyawan pun yang bakal terkena PHK.

Sebagai gantinya, ia mengajak semua karyawan bekerja
keras. Karyawan-karyawan bagian produksi dilatih untuk
menjual. Hasilnya benar-benar ruarrr biasa. Mereka
bisa berubah menjadi tenaga marketing andal, yang
membuat Matsushita menjadi salah satu perusahaan
terkuat di Jepang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan beri Komentar sehat dan membangun