Membaca otobiografinya Sugiharto, Menteri BUMN saat ini, yang disusun oleh Zaim Uchrowi (2005) satu hal yang bisa saya catat adalah be a winner (jadilah pemenang atau yang terbaik). Sugiharto lahir dari keluarga miskin, untuk sekedar biaya sekolah ia harus menyambi jadi pengasong, tukang parkir, dan bahkan pernah menjadi pembantu rumah tangga (PRT).
Bagi Sugiharto, segala keterbatasannya itu tidak pernah menyurutkan dirinya untuk menjadi pemenang atas masalah yang dihadapinya. Baginya, menjadi mental pemenang, mental juara itu penting. Di usia sekolah meski ia harus susah payah mencari uang untuk biaya hidup dan sekolah, semangat berprestasi terus menyala. Ia belajar seoptimal mungkin dan sebaik mungkin.
Ketika ia lulus dari SMU-nya, ia tidak langsung kuliah seperti teman-teman sebayanya. Ia bekerja lebih dulu baru kuliah sambil kerja. Dasar mental juara, ia selalu menunjukkan prestasi terbaiknya. Dari sanalah ia menapakkan kakinya menuju masa depan yang lebih cerah. Maka setelah bergabung dengan PT Medco (perusahaan perminyakan milik Arifin Panigoro) dan berhasil mengantarkan perusahaan ini menjadi perusahaan go public, bintangnnya semakin bersinar. Hingga ia idiangkat oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono menjadi Menteri BUMN.
Memiliki mental pemenang kuncinya. Kenapa kita tidak memiliki mental pemenang? Siapa pun yang pernah menjadi pemenang—apa pun konteksnya—hampir dipastikan ia mengalahkan musuh utamanya terlebih dahulu. Menurut para pakar pengembangan diri, musuh yang paling nyata bukan apa yang berada di depan kita atau di belakang kita, melainkan yang berada di dalam diri kita, yakni ego.
Siapakah ego itu? Pak Uztad sering menyebutnya “sebagai godaan setan yang terkutuk”, para psikolog menyebutnya sebagai emosi bodoh yang manja, yang maunya hal-hal yang menyenangkan saja. Ego sukanya menikmati sesaat dan menghancurkan masa depan. Ego itu seperti monyet, maunya makan terus dan bersuka ria. Ego adalah bagian dalam tubuh manusia, yang kalau diajak untuk menghadapi tantangan, resiko dan tanggung jawab, lebih suka menghindar. Yang sulit-sulit, yang memedihkan ia selalu mengelak.
Ego selalu bertentangan dengan niat hati yang selalu baik dan bijak untuk diri seseorang. Ketika hati berkata, “Saya mulai hari ini mau belajar tekun!” Segera ego menimpali dan membujuk, “Nggak usah tekun dan nggak usah ngoyo. Rileks saja lebih nikmat!!!” Suaranya lebih kuat dan lantang. Sehingga, banyak orang lebih banyak menuruti kata ego dari pada kata hati.
Apabila Anda masih sering menuruti kata ego, Anda belum layak menyandang gelar sebagai pemenang. Apabila Anda lebih banyak bersahabat dengannya, bukan tidak mungkin Anda akan kalah terus dalam pergumulan mencapai kehidupan berkualitas.
Ada dua pilihan: 1) bersahabat dengan ego yang berarti kesenangan dan kemenangan sesaat; 2) bersahat dengan suara hati yang berarti kepedihan sesaat, kesenangan dan kemenangan selamanya. Saya pribadi memilih yang kedua, kepedihan menuju kemenangan. Saya lebih suka memilih berubah hari ini meski sakit dan pedih rasanya, dari pada sengsara selamanya.
Kenapa manusia cenderung kalah melawan ego? Secara kodrati manusia mudah dalam rayuan setan, manusia cenderung mencari yang mudah-mudah dari pada yang sulit. Padahal—kita tahu—kemudahan akan diperoleh di balik kesulitan, sukses diperoleh di balik kegagalan/kepedihan.
Di samping itu, suara ego jauh lebih keras dan intens dari pada suara hati. Ego yang selalu berada di balik emosi-emosi negatif manusia, suaranya sangat lantang. Ego terus menyuarakannya, namun sayangnya pemiliknya (kita semua) lemah dan mentolerir keberadaannya.
Ego terus-menerus mengisi ruang-ruang pikiran bawah sadar kita. Pikiran bawah sadar kita penuh dengan bisikan (setan) ego yang menyesatkan. Ketika pemiliknya terus melemah, mengiyakan masuknya bisikan itu, akhirnya alam pikir kita adalah alam pikir bawah sadar yang bersumber dari bisikan (setan) ego.
Bagaimana agar bisa mengalahkannya? Suara hati kita harus lebih keras dan lebih intens. Jangan beri kesempatan ego masuk, meracuni hati kita. Kita isi alam pikir bawah sadar kita dengan pikiran positif sebanyak-banyaknya. Kita harus berani menolak kuat-kuat rayuan (setan) ego itu. Sebab, lengah sedikit saja, ego pasti masuk.
Begitu suara hati Anda mengatakan, “Saya ingin belajar tekun!” Jangan beri kesempatan ego masuk menggodanya. Kalau ia sampai masuk dan Anda mulai tergiur dengan godaaanya, segera lipat gandakan penolakan Anda. Kuatkan dan keraskan suara hati Anda sembilan pupuh sembilan kali lipat begitu suara (setan) ego masuk. Bila Anda berani melawannya, Anda akan menjadi pemenang!
Benarkah demikian? Saya percaya Pak Sugiharto yang awalnya miskin kemudaian jadi menteri, hampir setiap saat tergoda oleh egonya, “Miskin tidak mungkin sukses besar!” Tapi, ia tidak mendengarkan suara itu, yang ia dengar adalah suara hatinya yang amat kuat dan nyaring, “Belajar dan bekerja sebaik-baiknya.”
Apabila Anda dan saya hari ini belum sukses, boleh jadi karena Anda dan saya termasuk orang-orang yang belum bisa mengusai godaan (setan) ego. Satu-satu jalan adalah lawan ego itu. Kalau tidak, ia akan menjadi memperlakukan diri kita sebagai budaknya![w]
* Waidi, Penulis buku “On Becoming A Personal Excellent” dan buku “The Art of Re-engineering Your Mind for success by NLP”; buku “Self Empowerment by NLP: Jangan Mau Seumur-umur Dibodohi Diri Sendiri”;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri Komentar sehat dan membangun