Rabu, 29 Agustus 2007

Belajar Dari Tukul

"Bug…!, bug…bug! Tiba-tiba penjaga pintu (kondektur) Busway itu dipukul di wajahnya beberapa kali oleh seorang pemuda yang agak kekar dan pendek. Si kondektur hanya sempat bertahan dan tidak sempat menyerang balik karena tidak menduga akan mendapat serangan mendadak. Beberapa penumpang lain juga agak kaget dan tidak sadar apa yang sedang terjadi. Dalam hitungan detik, pemukul tsb sudah meloncat keluar lalu lari menyeberangi jalan masuk ke gang agak kecil. Beberapa orang segera berteriak dan mengejar tapi kehilangan jejak karena hari sudah gelap.



Balik ke Busway, kondektur tersebut sedang memegang wajahnya yang lecet dan sedikit berdarah. Setelah mengobrol sedikit, ternyata pemukul tersebut agak ngotot karena disuruh bergeser ke dalam oleh si kondektur supaya penumpang yang baru naik bisa mendapat tempat. Biasanya jika busway penuh, penumpang yang berdiri lebih suka menumpuk di dekat pintu supaya mudah keluar. Mungkin pemuda itu tersinggung atau mungkin juga caranya menyuruh si kondektur yang membuat naik darah. Apapun alasannya, kemungkinan besar ada pihak yang tersinggung harga dirinya.



Sesekali kita menjumpai seorang ibu yang marah-marah di depan kasir supermarket karena merasa tersinggung harga dirinya. Di tempat lain sahabat karib bisa bertengkar dengan pemicunya hanya karena dimulai dari bercanda yang kebablasan. Di rumah biasanya pertengkaran bisa muncul antar anggota keluarga akibat kurangnya komunikasi atau karena saling mencampuri urusan masing-masing.
Jika kita melihat di jalanan, orang-orang yang bertengkar dapat dijumpai setiap hari dan tidak jarang melibatkan perkelahian fisik. Perkelahian antara pengemudi kendaraan, penumpang, calo, preman dan mungkin petugas. Penyebabnya bermacam-macam mulai dari hal sepele hingga kriminal seperti salib menyalib, senggolan sampai pemerasan atau penodongan.



Suka atau tidak, adegan kekerasan dan luapan emosi telah mewarnai kehidupan kita sehari-hari terutama di kota-kota besar yang siklusnya berputar seperti mesin, semakin jauh dari manusiawi. Setiap orang berlomba mencapai tujuannya masing-masing, termasuk sebagian orang yang menghalalkan segala cara dan siap menghantam semua yang menghalanginya. Entah disadari atau tidak, ego tampil paling depan tanpa malu-malu. Lalu harga diri ditempatkan terlalu tinggi dan tidak proporsional sehingga rentan terjadi gesekan dengan pihak lain. Singkatnya orang-orang di kota besar menjadi lebih cepat tersinggung karena merasa harga dirinya tersentuh atau direndahkan.



Lalu apa hubungannya dengan Tukul? Sekarang ini hampir setiap hari Tukul muncul menghibur pemirsa di TV. Sebenarnya selain menghibur Ia juga mempertunjukkan hal yang positif. Yang membedakan acaranya dibanding yang lain adalah Tukul mau mengolok-olok dan menertawakan diri sendiri. Sementara entertainer lain lebih banyak mengolok-olok rekannya ataupun orang lain. Tanpa malu-malu Tukul menyebut dirinya sebagai orang desa yang katro dan norak. Ia bahkan menyediakan dirinya ditelanjangi sebagai bahan ledekan untuk pemirsanya. Apakah lantas seorang Tukul lantas menjadi tidak bernilai atau tidak punya harga diri? Tentu tidak, jika diukur dari materi, konon seorang Tukul sudah bernilai lebih dari 18 milyar sekarang ini. Otomatis popularitas serta gayanya juga telah membawa kharisma tersendiri dan siapapun layak angkat topi untuk kesuksesannya.

Dengan ikut larut menertawakan Tukul, saya jadi bercermin dan bertanya ke dalam diri sendiri:
"Apakah saya tidak lebih norak, ndeso atau katro dari Tukul?"
Maka, saya mau belajar dari seorang Tukul Arwana!


Oleh : Herman Kwok - Director of SemutApi Colony