Rabu, 22 Agustus 2007

Kini, Terbuka Mata Batinku...


Penyesalan memang selalu datang belakangan. Dan selalu lebih sering tak
berguna. Apalagi jika rasa sesal dan maaf itu tak lagi bisa diungkapkan
langsung kepada yang bersangkutan. Rasanya semakin menyesakkan, membuat
sesal dan salah jadi gunung yang membebani, sepanjang hidup.

Kisahku sebenarnya sederhana. Aku gadis, tinggal di kota J. Bekerja
sebagai
kasir di salah satu pusat perbelanjaan. Usiaku cukup matang, tahun depan
akan masuk 30. Karena itu, tiap pulang ke rumah orangtua, acap pertanyaan
tentang pernikahan datang dari ibu. Bapak sih cuma ketawa saja kalau aku
hanya diam atau menggeleng. Tapi kutahu, sebagai anak tertua, bapak pun
sebenarnya punya pengharapan yang sama dengan ibu. Pernikahanku akan
menarik
"gerbong" kereta di belakang, adik-adikku yang juga sudah berusia matang.

Pada dasarnya aku cuek dengan segala "rengekan" ibu. Tapi, bagaimanapun
akhirnya terpikir juga. Masa iya, aku harus melajang terus sampai tua?
Masa
iya tak ada lelaki yang mau padaku? Masa iya aku terlalu jelek, sehingga
begitu susah mencari lelaki? Kok rasanya aku tidak seperti itu deh.
Kuingat,
sedari SMP, aku cukup populer. SMA pacarku berderet. Mengambil D3, daftar
pacar seperti struk belanja, merenteng, hehehe... Tapi itulah, aku memang
sedari awal tak pernah serius kalau berpacaran. Rasanya kok tenang-tenang
aja, tanpa keinginan untuk menikah atau merumuskan lebih jauh ke arah mana
hubungan itu. Senang-senang aja. Tapi, ketika dua tahun lalu, dan berpisah
dari Mas Andri, "pasaranku" sepi. Tak ada lelaki yang melirik dan pedekate
lagi. Kata adikku, Sam, lelaki mulai takut mendekatiku. "Usia Mbak itu
udah
gak cocok untuk pacaran, tapi kawin. Nah, kalau gak niat serius, lelaki
akan
mikir dua kali dekatin." Aku tertawa. Tapi percaya, omongan Sam ada
benarnya.

Karena itu, iseng aku buka-buka "biro jodoh" di lembaran koran nasional.
Awalnya aku tertawa. Kok ada ya lelaki atau perempuan yang memasang wajah
untuk mencari jodoh. Apa gak malu? Atau mencari jodoh itu bukan lagi
perkara
yang sakral ya, sehingga bisa pasang kriteria dan wajah di mana-mana.
Hahaha... Dan karena iseng juga, aku pun menghubungi salah seorang di biro
itu, yang mengiklankan dirinya dengan pedenya: S1, mapan, mencari yang
serius. Suku bebas, min SLTA, pengertian, sabar, menerima apa adanya,
segera
menikah. Aku surati nomor yang tercantum di situ. Kutulis surat pendek,
ingin berkenalan, siapa tahu berjodoh, hahaha... Dan dua minggu kemudian,
balasan kuterima. dia menyambut uluran tanganku, dan sepertiku, dia pun
ingin mengenalku lebih jauh. Katanya, "siapa tahu, tangan Tuhan yang
menggerakkan kita untuk saling terikat dengan cara seperti ini." Amboyy...
Tulisan tangannya bagus. Rapi. Sayang, tak ada foto dia sertakan. Aku
membalasnya, kami balas-balasan.

Tiga-empat surat, aku merasa klop juga. Tak disangka, nyaman juga
bersurat-surat dengannya. Karena itu, aku pun mulai membuka diri,
mengikuti
dirinya. Kutanyakan nomor phonenya, dan kami pun mulai bertelpon,
melupakan
surat. Suaranya, amboii... lembut. Sering ketika mendengar dia bicara, aku
tersenyum. Dia memang berpendidikan, sehingga bicara pun rapi, dan sabar.
Kalau bertelpon, aku sering memancingnya bercerita, karena suka merasakan
getar suaranya. Sayang, seperti melalui surat, dalam phone dia pun selalu
mendeskripsikan dirinya sebagai lelaki yang tak sempurna. Dan terkadang,
ucapan itu membuatku sebel. Siapa sih yang sempurna di dunia ini? Kalau
dia
sempurna, tentu dia tak akan "bersamaku" saat itu. Namun penjelasannya,
rasa
mindernya, membuatku kadang marah. Masa dia merasa aku akan pergi kalau
tahu
dia yang sebenarnya? Gila apa?! Jangan-jangan dia yang ngacir karena
melihat
tahi lalat di dekat daguku, dagu ranokarno di wajah perempuan, hehehe...
Dan
dalam suatu kemarahan yang emosional, karena dia selalu merendahkan
dirinya
sebagai lelaki yang hanya indah sebelum pertemuan, aku minta kami bertemu.
Dia bersedia. Aku bersorak! Kupilihkan hari di saat aku libur. Dia
mengangguk. Dia akan ke kotaku satu hari sebelumnya. Meski, jarak kotaku
dengannya, dia di kota B, hanya satu jam lebih saja.

Selama menunggu hari itu, anganku melayang. Lelaki itu pasti merendah.
Mencoba keseriusanku. Masa ada sosok yang tak menarik di balik suara yang
begitu menenangkan? Kesabaran yang santun? Apalagi, melihat kerjanya
sebagai
pengajar di sebuah SLTA di kota B. Tidaklah, dia hanya bercanda. Padahal,
sebenarnya, akulah yang sedikit minder. Kasir di toko pakaian, tak makan
sekolahan, "nafsu" sama dia. Karena agak minder dan sedikit main-main,
waktu
dia menelpon dan bertanya aku bercirikan apa, kusamarkan diriku. Kukatakan
pakaian yang aku kenakan, dia juga, lengkap dengan sepatu dan potongan
rambutnya. Aku memakai kuncir dua, kataku. Dia tertawa.

Setengah jam sebelum waktu yang dijanjikan, aku sudah nongkrong di
restoran
itu. Mengambil posisi di sudut kiri, leluasa memandang ke arah pintu,
kupesan minum, dan kubuka buku. Membaca, sembari mata plirak-plirik ke ke
arah pintu. Biar tidak kentara. Dan kurang lima menit dari waktu yang
dijanjikan, seorang lelaki masuk. Sisiran rambutnya, sama. Warna kemeja
dan
celananya, sama. Tinggi dan berat badannya, tak jauh beda. Aku tersenyum,
dia tak sejelek yang selalu dideskripsikannya. Aku hampir bergerak
mendatanginya, ketika mataku melihat geraknya yang limbung dari pintu. Ya
Tuhan... dia berjalan seperti limbung. Kakinya yang kiri seperti tak dapat
menyangga berat tubuhnya. Setiap melangkah, tangannya yang kiri akan
memegang lututnya. Dan posisi telapak kakinya menyerong, membentuk susut
miring ke dalam. Tanpa sadar aku terduduk lagi, dan bengong. Dia, dia...
dia
cacat. Sepertinya, kakinya yang kiri lebih kecil dari yang kanan. Mungkin
waktu kecil, dia pernah kena polio, meski tidak sampai lumpuh.

Kurasakan tubuhku berkeringat. Kulihat dia duduk, menggapai pelayan, dan
memesan minum. Matanya melirik jam di tangannya, dan memandang pintu. Aku
mulai ragu. Haruskah aku menyampirinya? Siapkah aku melihat dan berjalan
dengannya yang tertatih dan doyong? Tuhan... kenapa harus begini?
Keringatku
mulai membanjir. Kecamuk di hatiku terus membuat keraguanku membesar.
Kulirik jam, aku telah terlambat 20 menit dari waktu yang kami janjikan.
Kulihat dia merogoh sakunya, mengeluarkan ponselnya. Oh Tuhan, jangan...
Seperti berlomba kuraih ponselku, dan kumatikan, di saat kulihat dia
meletakkan ponsel itu di telinganya. Ohh... selamat! Apa jadinya jika dia
berhasil menghubungiku, di situ, hanya empat meja dari duduknya? Bisa mati
berdiri aku! Kurasakan dia gelisah, melirik jam dan pintu, memencet
telepon
lagi, sepertinya dia mengirimkan SMS. Memesan minum lagi, semua geraknya
aku
catat. Dia menyeka keringat di keningnya. Tampaknya, sepertiku, dia pun
berkeringat, di ruangan sejuk ini. Aku sendiri sudah mengambil keputusan,
untuk tak menjumpainya. Barangkali aku tidak siap saat ini. Aku butuh
waktu
untuk dapat bersamanya, tanpa merasa menjadi bahan tontonan. Maka, dengan
rasa tak enak, kulihat saja dia, lelaki yang suaranya telah memesonaku
itu.

Satu jam, tampaknya kesabarannya habis. Dia menelpon lagi. Dan tak lama,
seorang perempuan, lima meja dari duduknya, datang. Mereka bicara
sebentar.
Kulihat perempuan itu menepuk-nepuk pundaknya, merangkulnya. Kulihat
betapa
sayang perempuan berwajah ayu dan sabar itu. Dia lalu memanggil pelayan.
Tapi, matanya menatapku, lama sekali. Aku sampai gugup. Barangkali, dia
yang
juga duduk di sudut itu, melihat keteganganku, dan mulai menduga, akulah
perempuan yang ditunggu adiknya. Barangkali dia masih ragu. Tapi.. kenapa
dia berdiri? Haa... tidak, dia menuju ke arahku. Mati! Mati aku. Upsh! Oh,
dia berhenti, menatapku yang segera membuang pandangan ke arah buku. Dan
dari lirikanku, tampak dia mundur, kembali ke lelaki itu, meletakkan uang,
dan membimbing lelakiku itu pergi. Langkah lelaki itu seperti tak ada
tenaga, dia bergelayut ketika berjalan. Aku lega. Juga merasa berdosa.

Dua hari kemudian, kuterima surat, kilat khusus, darinya. Tapi, kutahu
yang
menulis bukan dia. Kalimat dan kerapiannya berbeda. *"Aku tahu kamu di
pujasera itu, aku melihatmu. Sebenarnya, aku ingin mendatangimu, dan
mempermalukanmu. Tapi kupikir, adikku tentu tak ingin orang yang dia
sayangi
mendapatkan malu. Adikku memang cacat. Tapi dia cacat fisiknya, cacat di
luarnya. Tapi kamu, kamu itu cacat di dalam dirimu, cacat hati dan
batinmu.
Kamu lebih cacat daripada adikku. Dan demi tuhan, kamu lebih patut
dikasihani daripada adikku. Kudoakan kamu sembuh!"*

Aku tak marah membaca surat itu. Aku bahkan menangis. Ya, aku sebenarnya
yang cacat, bukan dia. Dia begitu ksatria, begitu menepati janjinya.
Sedang
aku?? Mengapa aku sepengecut itu?! Kutelepon dia, tak tersambung. Mungkin
dia berganti ponsel. Kusurati dia, kotak posnya tak lagi tercatat.
Suratkembali. Dan aku tak tahu nama sekolahnya. Kutelpon beberapa SLTA
di
kota B, menanyakan namanya, tak ada yang kenal. Aku putus asa. Rasa salah
kian menerkamku. Aku tak punya kesempatan untuk meminta maaf padanya. Aku
kehilangan semua jalan untuk dapat meminta maaf padanya.

Untuk Mas Dwi, di manapun engkau berada, jika kamu membaca kisahku ini,
demi
Tuhan, aku sungguh menyesal. Aku tak ada maksud menghinamu. Aku hanya
merasa
"tak siap" saat itu. Maafkanlah aku, karena memang akulah yang lebih layak
dikasihani, lebih tak tahu diri. Percayalah, aku tetap menghormati kamu,
dan
di dalam hatiku, jika engkau percaya, aku masih berharap dapat mengenalmu
lagi, untuk menghapus semua kebodohanku.