Senin, 27 Agustus 2007

JODOH & KEDEWASAAN KITA.......

Jodoh adalah problema serius. Kemana pun
mereka melangkah, pertanyaan-
pertanyaan "kreatif" tiada henti membayangi.
Kapan aku menikah? Aku rindu seorang
pendamping, namun siapa? Aku iri melihat wanita
muda menggendong bayi, kapan giliranku dipanggil
ibu? Aku jadi ragu, benarkah aku punya jodoh?
Atau jangan-jangan Tuhan berlaku tidak adil?

Jodoh serasa ringan diucap, tapi rumit dalam
realita. Kebanyakan orang ketika berbicara soal
jodoh selalu bertolak dari sebuah gambaran ideal
tentang kehidupan rumah tangga. Otomatis dia lalu
berpikir serius tentang kriteria calon idaman. Nah,
di sinilah segala sedu-sedan pembicaraan soal
jodoh itu berawal. Pada mulanya, kriteria calon
hanya menjadi 'bagian masalah', namun kemudian
justru menjadi inti permasalahan itu sendiri.

Di sini orang berlomba mengajukan "standardisasi"
calon: wajah rupawan, berpendidikan tinggi,
wawasan luas, orang tua kaya, profesi mapan,
latar belakang keluarga harmonis, dan tentu saja
kualitas keshalihan.

Ketika ditanya, haruskah seideal itu? Jawabnya
ringan, "Apa salahnya? Ikhtiar tidak apa, kan ?"
Memang, ada juga jawaban lain, "Saya tidak
pernah menuntut. Yang penting bagi saya calon
yang shalih saja." Sayangnya, jawaban itu
diucapkan ketika gurat-gurat keriput mulai
menghiasi wajah. Dulu ketika masih fresh, sekadar
senyum pun mahal.

Tidak ada satu pun dalih, bahwa peluang jodoh
lebih cepat didapatkan oleh mereka yang memiliki
sifat superior (serba unggul), namun kriteria tidak
pernah menjadi penentu sulit atau mudahnya orang
menikah. Pengalaman riil di lapangan kerap kali
menjungkirbalikkan prasangka-prasangka kita
selama ini.

Jodoh, jika direnungkan, sebenarnya lebih
bergantung pada kedewasaan kita. Banyak orang
merintih pilu, menghiba dalam doa, memohon
kemurahan Allah, sekaligus menuntut keadilan-
Nya. Namun prestasi terbaik mereka hanya
sebatas menuntut, tidak tampak bukti
kesungguhan untuk menjemput kehidupan rumah
tangga.

Mereka bayangkan kehidupan rumah tangga itu
indah, bahkan lebih indah dari film-film picisan ala
bintang India , Sahrukh Khan. Mereka tidak
memandang bahwa kehidupan keluarga adalah
arena perjuangan, penuh liku dan ujian, dibutuhkan
napas kesabaran panjang, kadang kegetiran
mampir susul-menyusul. Mereka hanya siap
menjadi raja atau ratu, tidak pernah menyiapkan
diri untuk berletih-letih membina keluarga.

Kehidupan keluarga tidak berbeda dengan
kehidupan individu, hanya dalam soal ujian dan
beban jauh lebih berat. Jika seseorang masih
single, lalu dibuai penyakit malas dan manja,
kehidupan keluarga macam apa yang dia impikan?

Pendidikan, lingkungan, dan media membesarkan
generasi muda kita menjadi manusia-manusia
yang rapuh. Mereka sangat pakar dalam
memahami sebuah gambar kehidupan yang ideal,
namun lemah nyali ketika didesak untuk meraih
keidealan itu dengan pengorbanan. Jika harus
ideal, mereka menuntut orang lain yang
menyediakannya. Adapun mereka cukup ongkang-
ongkang kaki. Kesulitan itu pada akhirnya kita
ciptakan sendiri, bukan dari siapa pun.

Bagaimana mungkin Allah akan memberi jodoh,
jika kita tidak pernah siap untuk itu? "Tidaklah
Allah membebani seseorang melainkan sekadar
sesuai kesanggupannya


Ketika sifat kedewasaan telah menjadi jiwa, jodoh
itu akan datang tanpa harus dirintihkan. Kala itu
hati seseorang telah bulat utuh, siap menerima
realita kehidupan rumah tangga, manis atau
getirnya, dengan lapang dada. Jangan pernah lagi
bertanya, mana jodohku? Namun bertanyalah,
sudah dewasakah aku?





Cheers

Novi