Oleh: Hariyadi
Seperti biasanya, Sukresh mengikuti ayahnya ke hutan. Setelah menebang satu dua pohon, ayah Sukresh mengajak Sukresh beristirahat. Bekal kue beras buatan ibu, mereka lahap habis.
"Kalau kau besar nanti, kau akan mampu menebang pohon lebih banyak dari Ayah," ujar ayah Sukresh sambil membetulkan sorbannya.
Sukresh hanya terdiam.
Ketika hari menjelang siang, ayah segera memotong kayu menjadi kecil-kecil dan mengikatnya menjadi satu. Kayu-kayu itu akan diangkut dan dijual ke pasar. Pasti ibu senang melihat mereka mampu menjual kayu lebih banyak lagi pada hari itu.
Namun ketika akan mengangkut kayu ke pundaknya, tiba-tiba kaki ayah tergelincir. Tubuh ayah terperosok ke tepi tebing kecil. Sukresh terkejut. Dengan tertatih-tatih ia menuruni tebing. Diperiksanya setiap rerimbunan. Betapa terkejut ketika ia menemukan ayahnya yang pingsan. Namun lebih terkejut lagi ketika ia melihat seekor ular besar siap mematuk ayahnya.
"Jangan gigit ayahku!" teriak Sukresh keras.
Ajaib. Ular itu memandang Sukresh.
"Tubuh ayahmu menindih tiga anakku hingga mati. Maka balasan yang setimpal adalah nyawa ayahmu juga," jawab ular itu.
"Apa pun akan kulakukan asal kau tidak menggigit ayahku," pinta Sukresh.
"Baiklah. Sebagai gantinya, setiap mencari kayu bakar, kau harus menyediakan kayu bakar untukku sebanyak tiga ikat sebagai ganti nyawa tiga anakku. Kau hanya boleh membawa pulang satu ikat kayu bakar sebagai pengganti nyawa ayahmu. Dan ingat, perjanjian ini tidak boleh ada yang tahu. Termasuk ayah dan ibumu."
"Baik, kalau itu yang kau minta. Asal kau lepaskan ayahku."
Sejak saat itu Sukresh menggantikan ayahnya mencari kayu bakar di hutan. Ayahnya tidak dapat berjalan karena kakinya luka akibat tergelincir.
Hari-hari penuh kerja keras dilalui Sukresh. Setiap ia menebang empat pohon, tiga pohon dilemparkannya ke dalam jurang. Satu pohon dibawanya ke pasar untuk dijual.
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Sukresh tumbuh menjadi pemuda berbadan besar dan kuat. Namun setiap kembali dari hutan dia hanya membawa satu ikat kayu bakar. Orang-orang desa mulai berbisik-bisik mengejek. Sungguh tidak pantas bila Sukresh hanya membawa satu ikat. Tidak sepadan dengan besar tubuhnya.
"Sukresh anak pemalas. Di hutan kerjanya hanya melamun," begitu cibiran pemuda-pemuda di desa itu.
Sukresh hanya diam. Ia tidak marah, karena tidak boleh ada yang tahu kisah yang sebenarnya. Sementara itu, ayah Sukresh sedih mendengar ejekan terhadap anaknya. Dan karena hasil penjualan kayu Sukresh hanya sedikit, keluarga mereka hidup miskin.
Hingga suatu hari datanglah ke rumah reot mereka dua orang menunggangi kuda. Jubah mereka seperti yang dikenakan orang-orang kaya di sungai Indus.
"Benarkah anda yang bernama tuan Sukresh?" tanya tamu itu penuh hormat saat melihat Sukresh. "Benar," jawab Sukresh.
"Hamba diutus tuanku Raja untuk menyampaikan dua pesan. Pesan pertama, perjanjian antara tuan Sukresh dan tuanku Raja telah berakhir. Pesan kedua, apa yang saya bawa adalah milik tuan semuanya. Itu adalah hasil keikhlasan dan pengorbanan tuan selama bertahun-tahun dalam mencintai ayah Tuan," ujar tamu itu sambil menunjukkan barisan gerobak berderet-deret berisi kayu bakar.
Sukresh terkesima. Bukankah itu hasil pekerjaannya selama ini. Sukresh ingat bagaimana cara dia memotong kayu-kayu itu.
"Apakah semua ini untuk saya…" tanya Sukresh terheran-heran kepada tamunya. Namun ketika Sukresh menoleh, tamu itu telah pergi. Tinggallah Sukresh dan kedua orang tuanya yang masih kebingungan.
Sejak saat itu Sukresh menjadi orang kaya di desanya. Dialah raja kayu yang memiliki gudang-gudang berisi kayu bakar terbesar siap untuk dikirim ke seluruh pelosok negeri. (Dongeng ketiga dari Kumpulan Dongeng Kotak Kayu Hitam)