Suatu hari empat sekawan berjanji satu sama lain untuk bermeditasi tanpa
berbicara sepatah kata pun selama tujuh hari. Pada hari pertama semuanya
tutup mulut, dan meditasi berjalan sesuai rencana. Ketika malam tiba, lampu
minyak mulai kering, dan cahaya mulai redup. Seorang pelayan tertidur di
dekat situ.
Salah satu dari mereka tidak tahan untuk tidak bersuara, “Isi lampu itu,”
katanya.
Orang kedua kaget mendengar suara temannya, “Hus! Kita kan tak boleh bicara,
ingat nggak?”
“Kalian berdua bodoh! Kenapa bicara?” sergah orang ketiga.
Dengan suara lirih orang keempat menggumam, “Cuma saya yang tidak bicara.”
Sejak lahir, kita memiliki hasrat bawaan untuk berkomunikasi dengan
orang-orang di sekitar kita. Jika digunakan dengan benar, kata-kata tentu
akan banyak membantu. Namun sering kali kita kelepasan bicara tanpa
memikirkan terlebih dahulu apa yang seharusnya kita katakan atau apakah
sebenarnya kita perlu bicara atau tidak.
Seperti empat sekawan tadi, kita sering berharap untuk tidak mengatakan apa
yang terlanjur kita katakan. Pada saat itu, sudah terlambat karena kata-kata
yang telah dikeluarkan tak dapat ditarik kembali. Kita mungkin saja meminta
maaf, namun kerusakan telah terjadi.
Kita seyogianya menjadi tuan atas lidah kita. Lidah harus mengucapkan apa
yang ingin kita ucapkan saja, bukannya berceloteh tak terkendali. Sayangnya,
sering kali lidahlah yang menjadi tuan dan kita menjadi budaknya; kita
terpaksa mendengar apa yang lidah ucapkan atas nama kita dan sering kita tak
mampu menghentikan ocehannya. Kurangnya kesadaran dan kendali semacam itu
kadang dapat membawa bencana.
Kesadaran, lagi-lagi, adalah kuncinya. Terlepas dari kita akhirnya akan
bicara atau tidak bicara, sadarilah itu sebelum, selama, dan sesudahnya.
Sehingga, tak ada sesal, tak ada tangis dan kecewa (unkown/SM)