Selasa, 06 November 2007

Berkah Seorang Penipu

Oleh : Prie GS - Budayawan dan penulis SKETSA INDONESIA


Bulan puasa memang bulan penuh berkah. Begitu penuhnya berkah itu sehinga mengalir ke mana-mana termasuk kepada para penipu. Misalnya tamuku ini, seorang yang seluruh tampilannya meyakinkan sehinga kepadanya aku tidak menaruh kecurigaan. Inilah kesalahan pertamaku, terintimidasi oleh penampilan. Kesalahan ini mestinya membuatku malu.

Kenapa malu? Karena terpedaya oleh penampilan ini, hanyalah pintu dari sebuah mata rantai kekeliruan berikutnya. Jika tidak percaya, baiklah aku ceritakan saja urut-urutan imajinasiku. Karena penampilan yang meyakinkan, aku percaya orang ini menguntungkan. Jadi jelas sekal watakku ini, gembira menemui tamu, cuma jika dia dianggap menguntungkan.

Padahal yang aku bayangkan sebagai keuntungan itupun datang dari jenisnya yang mestinya aku malu mengaku karena agak tidak bermutu. Jangan-jangan orang ini hendak menawarkan kerjasama untuk sebuah proyek raksasa, misalnya. Atau minimal , ia adalah panitia seminar yang hendak mengundangku bicara di sebuah tempat megah dengan honor raksasa. Maklum, aku memang doyan bicara, sekaligus doyan duit pula. Saking seringnya aku bicara dan dibayar dengan duit sebagai imbalannya, setiap orang asing yang datang kepadaku, menggoda cuma kubayangkan hanya dari satu jurusan; ia duit bagiku!

Maka dengan segenap gairah aku menemuinya. Basa-basi seperti biasa dengan ending yang kubayangkan seperti lazimnya. Begitulah memang gaya orang menemuiku. Maklum, sudah lama aku mengemas diriku ini sebagai orang penting. Maka jika tidak sepadan dengan kepentinganku, jangan harap menemuiku. Jadi hanya orang-orang penting yang datang membawa kabar penting saja yang akhirnya datang kepadaku. Jika tidak, ia hanya akan mendapat murkaku. Orang ini, siapapun dia, pasti sudah mengerti rumus ini. Untuk itulah aku berkenan menemui.
Aku gembira dengan basa-basinya. Tertawa lepas bersama. Tak perlu saling mengerti nama karena bahasa tubuh kami berdua, sudah menggambarkan kesejajaran ini: kami sama-sama orang penting. Apalagi aku sudah terbiasa dimanja. Orang lain telah jamak mengerti namaku lebih dulu. Merasa terkenal itulah akibatnya watakku. Jadi aku sudah terbiasa bicara berlama-lama untuk kemudian berpisah tanpa mengerti dia siapa. Aku malu sebetulnya mengakui sifat ini. Tapi demi kejujuran, aku terbuka saja kepadamu. Ee siapa tahu ada orang lain yang wataknya seperti aku.

Tapi astaga, makin lama aku melayaninya, basa-basi itu tak pernah jelas ujungnya. Makin ia dilayani, makin panjang belaka kelakarnya. Padahal aku sibuk sekali. Kesibukan ini bisa kuperlonggar asal hasilnya memadai. Cuma dengan kalkulasi itulah aku sudi melayani berlama-lama orang ini. Maka ketika sampai hitungan bermenit-menit belum menunjukkan keuntungan akan tiba, jiwaku mulai gelisah. Sebagai orang yang sudah kepalang sok mulia, tak elok rasanya aku mengipas-ipas perkara, memanciing-mancing agar rahasia ini segera terbuka. Aku harus tetap terlihat sebagai pribadi yang anggun. Harus jaim sempuran meskipun hatiku mulai meronta-ronta.

Maka ketika makin lama orang ini makin tidak jelas maksudnya, kemarahanku mulai membara. Ia bukan cuma mengganggu waktuku tetapi juga menipuku. Dosanya sungguh tak terampunkan jika sampai akhir pertemuan orang ini ternyata memang tidak membawa keuntungan yang aku bayangkan. Tetapi inilah deritaku, dengan cara apa kemarahan ini hendak kusalurkan ketika aku sudah memulai dengan kesalahan. Sejak awal aku sudah kepalang ramah, kepalang mulia, dan berlagak suka menerima tamu siapa saja. Maka untuk tiba-tiba murka hanya karena tamu ini tidak membawa keuntungan apa-apa, adalah soal yang aku tak mungkin melakukannya. Jalan satu-satunya adalah mengakhiri pertemuan ini baik-baik dan melanjutkan pekerjaanku.

Naah baru di saat itulah terbuka seluruh rahasia. Orang ini diam-diam mengambil sesuatu dari tasnya dan menyodorkan kalender sera jadwal puasa untuk dibayar suka rela. ‘’Saya edarkan secara terbatas, hanya kepada orang-orang yang baik hatinya,’’ katanya gembira. Saya bayar barang itu segera dengan uap mengepul di kepala dan senyum ramah merana. Tapi selebihnya adalah pertanyaan keras kepada diriku sendiri; orang ini seorang penipu, atau aku sendiri yang mudah tertipu oleh harapan-harapanku