Saat dilamar suamiku, aku merasa menjadi wanita yang paling beruntung di muka bumi ini. Bayangkan, dari sekian juta wanita di dunia ini, aku yang dia pilih untuk jadi isterinya. Kalau aku persempit, dari sekian banyak wanita di negara ini, di provinsi ini, di kota ini, di rumah ibuku yang anak perempuannya 3, aku yang paling bungsu yang dipilih untuk jadi isterinya! Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.
Aku berusaha keras menjadi isteri yang baik, patuh pada suami, menjaga kehormatanku sebagai isterinya, menjadi ibu yang baik, membesarkan anak-anakku. Aku memanfaatkan pernikahanku sebagai ladang amalku, sebagai tiket ke surga.
Walaupun begitu, hidup seperti halnya makanan penuh dengan bumbu. Ada bumbu yang manis, yang pahit, yang pedas, dan lain-lain. Aku juga menghadapi yang namanya ketidakcocokan atau selisih paham dengan suami. Baik itu tidak sepaham, kurang sepaham, agak sepaham, hampir sepaham. Tapi aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku mencoba berpikiran terbuka, mengakui kebenaran bila suamiku memang benar dan mengakui kesalahan bila aku memang salah. Aku mencoba bertuturkata lembut menegur kesalahan suamiku dan membantunya memperbaikinya agar ia merubah sikapnya. It’s all about compromising.
Namun apalah daya, pada akhirnya, terucap pula kata itu dari bibir suamiku, “Kita cerai saja!” Hanya karena sebuah masalah kecil yang tanpa sengaja menjadi besar. Saat itu seperti kudengar suara petir menggelegar di kepala. Dan hatiku hancur berkeping-keping. Aku menjadi wanita paling pilu sedunia.
Tak ada yang kupikirkan selain, barangkali kami memang harus berpisah!
Kuingat kembali pertengkaran-pertengkaran kami sebelumnya. Kami memang sudah nggak cocok! Kupikirkan kesalahan-kesalahan apa yang telah aku lakukan namun lebih sering mengingat kesalahan-kesalahan suamiku. Aku menangis sejadi-jadinya hingga dadaku sesak dan airmataku kering. Saat itu menjadi hari paling menyedihkan dalam hidupku.
Tak kulihat suamiku di sampingku keesokan paginya. Entah kemana ia. Tanpa sadar aku, layaknya aktris berakting di sinetron-sinetron, memandangi foto-foto kami dulu dengan berlinang airmata. Ngiris hati ini. Andai saja ada lagu “Goodbye” dari Air Supply yang mengiringiku, tentu semuanya menjadi scene yang sempurna.
Sekilas kenangan lama bermunculan di benakku. Aku teringat pertama kali aku bertemu suamiku, teringat apa yang aku rasakan saat ia melamarku. Aku tersenyum kecil hingga akhirnya tertawa saat mengingat malam pertamaku. Ha ha ha.
Anak-anakku datang saat melihat ibu mereka ini tertawa, memelukku tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Mereka masih kecil-kecil. Kupandangi mereka satu per satu. Mereka mirip ayahnya. Aku jadi teringat saat pertama kali kukatakan padanya bahwa ia akan menjadi ayah. Hhmmm….
Kulalui hari-hari penuh kekhawatiran bersamanya, menunggu kelahiran buah cinta kami. Dengan penuh kasih sayang. Suamiku memegang tanganku, mencoba menenangkanku saat anakkubaru lahir, walaupun kutahu ia hampir saja pingsan. Keningku diciumnya saat semuanya berakhir walaupun wajahku penuh keringat. Saat kubuka mataku, di sampingku ia duduk menggendong bayi mungil itu. Bersamanya, kurasa, telah kubeli tiket ke surga…
“Mi, Abi mana?” suara anakku mengejutkanku. Tak sanggup kumenjawabnya. Hampir saja aku menangis lagi.
Tiba-tiba kulihat sesosok bayangan dari balik dinding. Suamiku datang. Rupanya tadi malam ia tidur di masjid. Ia melihatku bersama anak-anakku. Mereka berhamburan menyambut ayahnya, memeluk lututnya karena mereka belum cukup tinggi menggapai bahu ayahnya itu. Ia membawakan makanan untuk mereka.
Saat anak-anak sibuk dengan makanan itu, ia menghampiriku. Aku mencoba untuk biasa dan kuajak ia melihat foto-foto lama kami. Bernostalgia. Aku tertawa bersamanya. Mengingat yang telah lewat. Sesekali ia memandangku lembut. Aku tahu ia sedang berfikir. Namun aku khawatir ia sedang meyakinkan hatinya untuk benar-benar menceraikan aku dan mengatur kata-kata agar aku dapat menerima keputusannya.
Saat ia diam dan memandangku dalam-dalam, kukatakan padanya bahwa aku merindukannya sejak tadi malam. Ia tersenyum dan mengatakan bahwa ia pun merasakan hal yang sama.
Hatiku lega. Kututup album foto itu dan kukatakan padanya bahwa selain dari semua kekuranganku tentu ada kelebihanku, selain dari semua yang tidak disukainya tentu ada yang disukainya, selain dari semua ketidakcocokan kami tentu ada bagian yang cocok. “Bila tidak, apa alasan Abang mau menikahi Adik dulu? Dan, bagaimana mungkin kita bisa bertahan selama ini?”
Ia mencium keningku. Kurasakan air mata mengalir hangat di pipiku. Tapi bukan air mataku…
“Allah memang hanya menciptakan Adik buat Abang… Maafkan Abang ya?”
Kuusap air mata dari pipinya dan ia membaringkan kepalanya di pangkuanku. “”Maafkan Adik juga ya, Bang…”
Entah apa yang membuatnya berubah pikiran. Aku tak ingin menanyakannya. Hanya dengan berada di sisiku pagi itu, aku rasa aku tahu jawabannya.
Pernikahan itu bisa berumur panjang bila ada usaha untuk memanjangkannya dan bisa berumur pendek bila tidak ada yang mau berpikir panjang.
(SM)