Kamis, 08 November 2007

Memoirs of Geisha



: Direkomendasikan Untuk Ditonton dan Juga Dibaca!

Mata biru Chiyo--nama kecil Sayuri--yang indah, terlihat redup. Beban hidup berat membuatnya sedih. Di jembatan ia duduk melamun. Orang ramai lalu-lalang, tapi ia bergeming.

Seorang pria menyambutnya dengan senyum. Sang Ketua, begitu orang menyebut lelaki itu, menghampiri untuk menghibur Chiyo yang hampa. Semangkuk es disodorkannya untuk Chiyo. Matanya melirik tergoda. Kelezatan es itu akhirnya mencairkan kesedihannya.

Pak Ketua, laki-laki penuh pesona itu, muncul di saat yang tepat, ketika hati si bocah tengah linglung tanpa pegangan. Pertemuan singkat tersebut begitu berkesan buat Chiyo. Darinya semangat hidup mekar merekah kembali di dada Si Imut.

Dua geisha, perempuan penghibur, yang elok dan mendampingi Ketua, diliriknya tajam. Betapa beruntung mereka, pikir Chiyo, bisa mendampangi Ketua yang baik hati. Hal itulah yang menggiring Chiyo bertekad menjadi geisha. Uang kembalian yang diterimanya dari Ketua, disedekahkannya di kuil sembari mengucap doa. Ya, impian kini telah ditorehnya--hidup sebagai geisha.

Menjadi pembantu di rumah geisha adalah keseharian Chiyo. Dari sinilah gambaran geisha yang mencorong, terkenal, dan diidolakan, menjadi bara yang bergelora dalam hati Chiyo.

Waktu berlalu. Chiyo kini telah berganti nama menjadi Sayuri, ketika Mameha mendidiknya menjadi seorang geisha. Lima belas tahun usianya kini. Ia tumbuh menjadi gadis jelita. Wajah eloknya membuat Mameha--yang juga seorang geisha--kepincut.

Harkatnya diangkat. Dari hanya seorang pelayan geisha, Sayuri dilatih menjadi seorang geisha, yang memiliki keahlian seni yang mumpuni. Wajah cantik dan mata indah menjadi bekal baginya bisa membuat lelaki kelimpungan.

Dengan satu lirikan, Sayuri kini bisa membuat lelaki klepek-klepek. Dari Mameha, dunia geisha kini mulai direngkuhnya. Kerja keras dan keyakinan, itulah yang akhirnya menggiring Sayuri mencapai mimpinya.

Kyoto pada 1930an, latar cerita ini dihadirkan oleh Marshall. Sayuri tua mengantar kisah ini lewat sebuah narasi.

Betapa Sayuri seorang geisha sejati. Ia paham betul apa yang harus dilakoninya sebagai seorang geisha. Ini sebuah cerita yang menarik disimak. Betapa profesi geisha pada akhirnya dipandang sebagai pekerjaan hina. Pihak Barat memandang status geisha tak ubahnya sebagai perempuan gatal yang bisa dicicipi bak piala bergilir.

Lewat Memoirs of Geisha, jawaban disodorkan. Geisha bukanlah pelacur. Ia tak lain adalah seniman atau artis yang dituntut menguasai berbagai keahlian menghibur, main musik dan menari.( Eh, diolah dari Kompas Cyber Media)


Pernah dengar adagium klasik tentang Hollywood ini:

Bacalah buku asli yang diangkat menjadi film oleh Hollywood, sebelum cerita buku tersebut dirusak oleh Hollywood!

Adagium tersebut 100% benar! Namun untuk pertama kalinya aku harus mengakui bahwa ternyata, saat ini adagium tersebut tidak terbukti pada film Memoirs of Geisha. Ya...film yang diangkat dari buku Arthur Golden itu sangatlah akurat, sesuai dengan cerita dalam buku aslinya. Aku mengacungkan jempol buat Rob Marshall, yang berhasil memvisualkan cerita dalam buku tersebut, menjadi sebuah film yang yang bernuansakan Jepang, lengkap dengan penggambaran musim-musimnya yang indah, juga pengembangan karakter tokoh-tokohnya yang kuat. Benang merah antara film dan buku ceritanya terlihat dan terasa dengan jelas.

Pemilihan Gong Li sebagai Hatsumoto, Zang Ziyi sebagai Nitta Sayuri, dan Michelle Yeoh sebagai Mameha, tiga tokoh sentarl dalam buku tersebut, dapat dijiwai dengan baik oleh trio aktris Asia yang semakin naik daun kalangan perfilman internasional.Karakter Mameha yang anggun, Hatsumoto yang impulsif, dan Nitta Sayuri yang innocent, dapat ditangkap dalam menikmati alur film itu. Aku suka scene ketika Sayuri untuk pertama kali muncul di publik, menari, dan membius para laki-laki Jepang untuk tergerak memperebutkan mizuage-nya (keperawanan). Artistik banget.

Buku Memoirs of Geisha itu sendiri telah kubaca lama banget. Sekitar tahun 2001 atau 2002 kali. Aku juga berkesan sama buku itu. Selama ini, dunia Geisha adalah dunia yang penuh misteri. Gak semua orang tahu tentang Geisha secara detail, dan memang sepertinya ada semacam kode etik tidak tertulis bagi mantan Geisha untuk tidak menceritakan perihal seluk-beluk kehidupan Geisha. Kalau gak salah, pertama kali buku ini keluar sempet bikin heboh juga, karena buku ini dutulis oleh seorang pria kebangsaan Amerika. Lulusan Columbia University untuk jurusan sejarah Jepang ini mendobrak budaya yang enggan dibicarakan oleh bangsa Jepang sendiri, yakni Geisha.

Sebelum membaca buku itu, aku sebenarnya sudah tahu juga sedikit mengenai Geisha. Namun, dalam definisi ataupun uraian yang aku baca, Geisha seringkali dianggap sama dengan seorang pelacur. Geisha itu ya...bahasa jepang-nya pelacur. Tapi setelah membaca buku Memoir of Geisha, terlebih lagi setelah menonton filmnya, ternyata aku salah. Geisha adalah produk budaya bangsa Jepang. Geisha lahir dari kultur budaya lama kaum borjuis Jepang. Malah bisa dibilang, Geisha adalah penjaga kebudayaan tradisional Jepang.

Seorang Geisha haruslah dituntut untuk mahir dalam menari tarian tradisional, dan mahir memainkan alat musik tradisional Jepang. Geisha juga harus memiliki etika bergaul, berjalan, dan berbicara yang halus, penuh dengan pakem-pakem adat budaya Jepang. Dengan kata lain, tidak semua wanita Jepang bisa menjadi Geisha, karena ada pendidikan khusus untuk itu. Ada semacan kebanggaan maupun harga diri yang emban oleh seorang Geisha, terlepas Geisha harus juga menemani pria-pria kaya maupun Danna (yang bertanggungjawab atas biaya sehari-hari para Geisha) mereka untuk tidur dan juga melakukan hubungan seksual. Masyarakat Jepang lama pun menghargai sosok dari Geisha, yang merupakan produk kultur kaum borjuis mereka. Mungkin karena kultur Geisha untuk masa sekarang berbeda, maka bangsa Jepang agak risih untuk mengangkat masalah ini secara terbuka.

Ya itulah budaya, kebiasaan yang berkembang dan dialami oleh tiap penduduk sedunia. Entah baik atau buruk, itulah kenyataannya(http://rangkaianhari.blogspot.com/).