"Kita biasanya melampiaskan 99% kemarahan justru kepada orang yang paling kita cintai. Dan akibatnya seringkali adalah fatal"
Ajeng menunggu dengan antusias. Kaki kecilnya bolak-balik melangkah dari ruang tamu ke pintu depan.
Diliriknya jalan raya depan rumah. Belum ada. Ajeng masuk lagi. Keluar lagi. Belum ada. Masuk lagi. Keluar lagi. Begitu terus selama hampir satu jam. Suara si mbok yang menyuruhnya berulang kali untuk makan duluan tidak digubrisnya.
Pukul 18.30. Tinnn....... .... Tiiiinnnnn.. ......... ... !! Ajeng kecil melompat girang!
Mama pulang! Papa pulang! Dilihatnya dua orang yang sangat dicintainya itu masuk ke rumah. Yang satu langsung menuju ke kamar mandi. Yang satu menghempaskan diri di sofa sambil mengurut-urut kepala. Wajah-wajah yang letih sehabis bekerja seharian, mencari nafkah bagi keluarga.
Bagi si kecil Ajeng juga yang tentunya belum mengerti banyak. Di otaknya yang kecil, Ajeng cuma tahu, ia kangen Mama dan Papa, dan ia girang Mama dan Papa pulang. "Mama, mama.... Mama, mama...." Ajeng menggerak-gerakkan tangan Mama.
Mama diam saja. Dengan cemas Ajeng bertanya, "Mama sakit ya? Mananya yang sakit Mam?" Mama tidak menjawab. Hanya mengernyitkan alis sambil memejamkan mata. Ajeng makin gencar bertanya, "Mama, mama... mana yang sakit? Ajeng ambilin obat ya? Ya? Ya?"
Tiba-tiba...
"Ajeng!! Kepala mama lagi pusing! Kamu jangan berisik!" Mama membentak dengan suara tinggi. Kaget, Ajeng mundur perlahan. Matanya menyipit. Kaki kecilnya gemetar. Bingung. Ajeng salah apa? Ajeng sayang Mama... Ajeng salah apa? Takut-takut, Ajeng menyingkir ke sudut ruangan.
Mengamati Mama dari jauh, yang kembali mengurut-ngurut kepalanya. Otak kecil Ajeng terus bertanya-tanya: Mama, Ajeng salah apa? Mama tidak suka dekat-dekat Ajeng? Ajeng mengganggu Mama? Ajeng tidak boleh sayang Mama? Berbagai peristiwa sejenis terjadi. Dan otak kecil Ajeng merekam semuanya.
Maka tahun-tahun berlalu. Ajeng tidak lagi kecil. Ajeng bertambah tinggi. Ajeng remaja. Ajeng mulai beranjak menuju dewasa.
TIN TIIIN ! Mama pulang. Papa pulang. Ajeng menurunkan kaki dari meja. Mematikan TV. Buru-buru naik ke atas, ke kamarnya, dan mengunci pintu. Menghilang dari pandangan. "Ajeng mana?". "Sudah makan duluan, Tuan, Nyonya."
Malam itu mereka kembali hanya makan berdua. Dalam kesunyian berpikir dengan hati terluka: Mengapa anakku sendiri, yang kubesarkan dengan susah payah, dengan kerja keras, nampaknya tidak suka menghabiskan waktu bersama-sama denganku? Apa salahku? Apa dosaku?
Ah, anak jaman sekarang memang tidak tahu hormat sama orangtua! Tidak seperti jaman dulu.
Di atas, Ajeng mengamati dua orang yang paling dicintainya dalam diam. Dari jauh.
Dari tempat dimana ia tidak akan terluka.
Mama, Papa, katakan padaku, bagaimana caranya memeluk seekor landak?
Salam Good to Great,
TJIA IRAWAN