Senin, 04 Februari 2008

Damai dalam Setiap Langkah

Di Bali ada cerita tentang seorang anak yang pintar, cerdas, dan
ganteng bernama Nyoman. Ia disayangi orang. Bosan dengan semua ini,
ia pergi ke hutan menemui penyihir. Dan Nyoman diberi seruling waktu
yang hanya bisa diputar ke depan. Mulailah ia bereksperimen.

Pertama-tama seruling itu diputar ke masa remaja. Bosan, lalu
diputar ke masa tua. Ia melihat seorang ayah dengan istrinya yang
menua. Ini lebih membosankan. Ia putar ke masa lebih tua lagi. Di
sini baru timbul penyesalan. Ada banyak momen kekinian yang lupa
dinikmati. Masa kanak-kanak yang penuh tawa, masa remaja yang penuh
persahabatan, masa kuliah yang penuh perdebatan. Nyoman pergi ke
hutan, menangis, dan minta penyihir untuk mengembalikan hidupnya.

Kalau boleh jujur, setengah lebih manusia berperilaku seperti
Nyoman, buru-buru ke masa depan. Sesampai di sana, baru menyesal ada
banyak masa kini yang sudah jadi masa lalu dan lupa dinikmati.
Manusia cerdas dan keras sekali menyiapkan diri menyongsong masa
depan, tetapi sering gagal menikmati dan mensyukurinya. Dalam bahasa
kawan yang suka mengeluh, dulu tidak bisa makan enak karena tidak
punya uang. Kini tidak bisa makan enak karena keburu stroke.

Bangsa ini serupa. Pengap dengan Orde Lama, lalu ditumbangkan.
Datang Orde Baru yang nikmatnya sebentar dan harus ditumbangkan
diganti Orde Reformasi. Ada tanda-tanda kuat, ini pun sudah membawa
kebosanan banyak orang.

Peradaban manusia setali tiga uang. Bergerak dari satu kebosanan ke
kebosanan lain: perang dunia pertama, perang dunia kedua, perang
dingin antara dua negeri adikuasa, hantaman bom teroris.

Hari ini sebagai hadiah

Mungkin karena lelah dengan kehidupan yang terus berkejaran ke masa
depan, banyak guru meditasi mengajari muridnya berpelukan dengan
masa kini. Tanpa perlu menunggu dengan syarat berat dan sulit,
dengan badan sekarang, umur sekarang, kekayaan materi sekarang
belajarlah memeluk semuanya dengan senyuman dan persahabatan.

Sebagaimana telah dibuktikan, lebih mudah menemukan kesehatan dan
kebahagiaan dengan senyuman dan persahabatan dibanding dengan
kemarahan dan kebencian. Maka, tidak sedikit penulis (contoh Spencer
Johnson dalam buku The Present) menyimpulkan bahwa hari ini sama
dengan the present (hadiah).

Suami, istri, anak-anak, orang tua, rumah, pekerjaan, kesehatan
sekarang memang tidak sempurna, tetapi semuanya perlu disyukuri.
Sebagai rumah banyak manusia, Indonesia juga tidak sempurna, tetapi
menyisakan banyak hal yang layak disyukuri. Dari matahari terbit dan
terbenam, membawa keindahan; dengan pendapatan sedang, bisa menggaji
pembantu lebih dari seorang, godaan bencana sering membukakan bukti
bahwa manusia Indonesia masih peduli dan punya hati.

Ada sahabat yang berfantasi seperti ini. Andaikan kita tersesat di
luar angkasa, mimpi terindah yang ingin segera terwujud adalah
melangkahkan kaki di planet bumi ini. Politik Pakistan boleh
bergelora, Timur Tengah boleh bergolak, tetapi di bumi ini masih
tersedia berlimpah hal yang layak disyukuri.

Pernapasan adalah keindahan

Pertanyaannya, mengapa susah menikmati masa kini? Ibarat rumah,
tubuh manusia berisi banyak jendela terbuka. Mata, telinga, mulut,
hidung, pikiran, keinginan, perasaan tiap hari terbuka tanpa dijaga
dan membiarkannya menonton acara-acara menakutkan di televisi,
mendengarkan dialog penuh kekerasan di radio. Jadilah kehidupan
seperti rumah berantakan.

Dengan pemahaman mendalam, banyak orang menjaga jendela kehidupannya
dengan penjaga yang bernama kesadaran dan kewaspadaan. Mengaktifkan
penjaga ini amat sederhana, murah meriah. Hanya dengan memerhatikan
napas. Bagi siapa pun, yang perjalanan meditasinya sudah jauh, akan
tahu saat manusia rajin memerhatikan napas, tidak saja penjaga
bernama kesadaran dan kewaspadaan mulai bekerja, tetapi juga
menemukan ada yang indah dalam bernapas penuh kesadaran: berpelukan
dengan masa kini yang abadi.

Masa lalu telah berlalu, masa depan belum datang, keduanya tidak
dalam genggaman. Satu-satunya waktu kehidupan yang menyediakan diri
untuk bisa dipeluk adalah masa kini. Untuk memeluknya, ia
sesederhana tersenyum, lihat, nikmati, syukuri udara masuk dan
keluar melalui lubang hidung.

Akan lebih mudah melakukannya jika seseorang sudah bisa
semengagumkan Jalalludin Rumi: all are sent as guides from the
beyond. Semua yang terjadi membawa bimbingan-bimbingan dan tuntunan-
tuntunan.

Sukses indah, gagal juga indah. Bukankah kegagalan memberi tahu
batas-batas kemampuan diri? Disebut suci baik, disebut munafik juga
baik. Bukankah sebutan munafik membuat kita jadi rendah hati?
Semuanya menyediakan tuntunan-tuntunan.

Bila begini cara memandangnya, menyatu dengan masa kini yang abadi
bisa dilakukan dengan lebih mudah sekaligus indah. Ketenangan
membuat semuanya lebih menawan.

Ini tidak hanya bisa dilakukan di ruang meditasi. Dari membuka mata
di pagi hari, menyatu dengan air dari wastafel, tersenyum pada
kemacetan, memimpin rapat, pulang memeluk pipi orang rumah. Inilah
yang disebut damai dalam setiap langkah.

Dalam bahasa Dalai Lama, transformasi kedamaian dunia melalui
kedamaian diri memang sulit, tetapi itu satu-satunya cara. Maka,
perlu melengkapi keindahan pernapasan dengan kesadaran dalam setiap
kontak. Saat mata mengalami kontak (misalnya melihat orang
menjengkelkan) , ia menimbulkan perasaan tertentu. Latihannya,
perasaan ini bersahabat dengan kewaspadaan atau bersahabat dengan
kebodohan.

Diterangi kesadaran dan kewaspadaan, tiap langkah menjadi langkah
kedamaian sekaligus langkah kesucian. Thich Nhat Hanh tak memiliki
saingan dalam hal ini. Dalam sejumlah karyanya (dari Present moment
wonderful moment sampai Peace is every step), ia senantiasa
menggarisbawahi pentingnya kedamaian saat ini. Di mana pun penulis
akan terdiam sebentar, menarik napas, terhubung dengan kekinian
setiap mendengar bunyi bel. Di ruang meditasinya di desa Plum
Perancis, ia menulis "bernapaslah, engkau masih hidup!"

Sumber: Damai dalam Setiap Langkah oleh Gede Prama, Bekerja di
Jakarta, Tinggal di Perbukitan Desa Tajun, Bali Utara