Selasa, 26 Februari 2008

Pengusaha Atau Pekerja?

Saya mengira perdebatan itu sudah berakhir. Ternyata tidak. Padahal,
objeknya sama sekali tidak terlampau esensial. Premis yang paling
sering diucapkan adalah; "Anda tidak akan pernah kaya jika menjadi
pekerja. Jadilah pengusaha, maka anda akan kaya". Itu yang pertama.
Yang kedua; "Anda tidak akan bisa memiliki waktu untuk keluarga jika
jadi pekerja. Jadilah pengusaha, maka anda bisa mengatur waktu anda
sendiri". Oleh karenanya, ada yang beranggapan bahwa; menjadi
pengusaha itu lebih baik daripada menjadi pekerja. Sebaliknya, sang
pekerja menentangnya mati-matian; terutama mereka yang bagus
karirnya, tentu saja. Tetapi, sebagian besar karyawan yang biasa-
biasa saja hatinya deg-degan. Setiap kali ada pernyataan bahwa
menjadi pengusaha itu lebih baik daripada menjadi pekerja; hatinya
gundah gulana. Hingga tidurpun tidak nyenyak dibuatnya. Tetapi,
manakah sesungguhnya yang lebih baik; menjadi pengusaha, atau
pekerja?

Bagaimanapun juga, perdebatan ini sering tidak seimbang. Mereka yang
pengusaha nyaris selalu menjadi pemenangnya. Dan para pekerja yang
memiliki emotional state kurang stabil, tidak bisa segera
menetralisir pengaruh negatifnya. Setiap anggapan yang belum tentu
benar itu sangat mempengaruhi dirinya. Dimasukan kedalam hati.
Meresap. Menyerap. Dan akhirnya mereka menemukan dirinya
terperangkap. Mereka bertanya-tanya; 'jangan-jangan, memang
seharusnya aku menjadi pengusaha'. Lalu perhatiannya terkuras
kesana. Pikirannya tidak fokus kepada pekerjaan. Dan karena
berlangsung terus-menerus, maka prestasi kerjanya merosot. Mereka
hanya menjadi pekerja yang biasa-biasa saja. Dan karena prestasi
kerjanya biasa-biasa saja, dia tidak dipromosi. Karena tidak
dipromosi; dia tidak mendapatkan kenaikan gaji tinggi, apalagi
fasilitas yang memuaskan. Dia tidak mendapatkan apa-apa selain
penghasilan yang pas-pasan.

Semakin yakinlah dia bahwa; menjadi pekerja berarti menanggung
resiko untuk menjadi miskin. Maka, menjadi benarlah dimatanya bahwa
kalau mau menjadi kaya, ya jangan jadi pekerja. Jadilah pengusaha.
Satu kosong untuk mereka yang menganggap bahwa menjadi pengusaha
lebih baik dari pekerja.

Teman saya yang pengusaha, jam delapan pagi masih dirumah. Pergi ke
kantornya jam setengah sembilan. Sebelum beduk magrib berbunyi dia
sudah kembali dirumahnya. Teman saya yang lain, jam setengah enam
pagi sudah membuka pintu rumahnya. Naik ojek. Menunggu bis. Dan
sampai ke kantor jam delapan. Jam lima sore, dia keluar dari
kantornya, dan tiba dirumah jam delapan malam. Dia teringat lagi;
oh, memang nyaman menjadi pengusaha. Bisa enak leha-leha. Sementara
sang pekerja seperti saya? Bekerja banting tulang untuk memuaskan
nafsu kapitalisme mereka! Lalu, sikap negatif itu mempengaruhi
dirinya. "Ngapain gue musti banting tulang begini? Kepala jadi kaki,
kaki jadi kepala!"

Dengan cara berpikir begitu, tidak mungkin dia bisa menjadi pekerja
yang berhasil. Haha, makanya, kalau mau hidup enak; jangan jadi
pekerja. Jadilah kamu pengusaha. Dua kosong.

Manusia-manusia bermental pekerja kalah telak. 'Manusia bermental
pekerja?' Beberapa teman saya yang pekerja tulen tersinggung dengan
sebutan itu. Saya sebaliknya. Bangga saja. Sebab, jika saya benar-
benar bermental pekerja, pasti saya bisa menjadi seorang pekerja
yang sangat hebat. Ya, untuk berhasil ditempat kerja, saya harus
memiliki mental pekerja. Mengapa saya harus tersinggung dengan
sebutan itu?

Memang, perkataan orang lain bisa membuat telinga kita terasa panas.
Dan terpengaruh secara emosional.Tetapi, itu terjadi hanya jika
mental kita lemah saja. Jika mental kita kuat, tidak jadi masalah.
Lagi pula, manakah yang anda pilih; disebut 'manusia bermental
pekerja' atau 'manusia bermental lemah'? Mental anda tidak lemah.
Itulah faktanya. Jadi, santai saja. Sebaliknya, jika anda seorang
pengusaha; anda juga tidak perlu membuang waktu berharga anda itu
untuk memperdebatkannya. Tidak perlu lagi memperdebatkan; 'mana yang
lebih baik bagi manusia ?kita ini kan manusia ?apakah menjadi
pengusaha, atau pekerja?'

Masih segar dalam ingatan saya saat dimana saya
mengatakan; "Baiklah, anda menganggap bahwa menjadi pengusaha itu
lebih baik daripada menjadi pekerja." Teman saya sumeringah:" Ya,
tentu saja." katanya.

"Hanya jika anda menjadi pengusaha yang sukses, bukan?" kata saya.
"Oooh, iya dong." Jawabnya. Semua temannya yang dalam komunitas
pengusaha mendukungnya. Mereka membanggakan statusnya sebagai
pengusaha.

Mau tidak mau, saya harus mengatakan kepada teman saya ini bahwa;
untuk menjadi pengusaha sukses itu, mereka tidak bisa mengerjakannya
sendirian. Mereka tidak menyukai pernyataan saya. Tetapi, mereka
tidak memiliki pilihan lain selain sependapat dengan saya. Harus ada
orang lain yang bekerja untuk menjalankan usahanya. Jika seorang
pengusaha ingin agar usahanya benar-benar sukses - bukan sekedar
sukses-suksesan ?harus ada orang yang bersedia mencurahkan segenap
kemampuan yang dimilikinya untuk memastikan bahwa bisnis itu
berjalan. Tanpa mereka itu, tidaklah mungkin perusahaan sang
pengusaha itu bisa benar-benar berkembang dan membesar. Artinya,
tanpa manusia-manusia yang dicap sebagai mereka yang bermental
pekerja itu; bisnis sang pengusaha tidak akan pernah mencapai
kesuksesan. Pendek kata, kesuksesan para pengusaha itu sangat
ditentukan oleh kontribusi yang diberikan. Dedikasi yang dicurahkan.
Serta kompetensi yang dikerahkan. Oleh manusia-manusia dari jenis
yang bermental pekerja itu. "Tanpa mereka itu," begitu saya
melanjutkan; "Apakah usaha anda bisa benar-benar berhasil?"
Kemudian, saya mengakhiri semua pembicaraan itu dengan
mengatakan; "Jika semua orang harus menjadi pengusaha, siapa yang
akan menjadi pekerja untuk kita?"

Pentingnya keberadaan seorang pengusaha, memang tidak terbantahkan.
Namun, seperti apa yang kita pelajari dalam manajemen bisnis;
karyawan, adalah aset terpenting dalam perusahaan. Tidak ada cara
lain bagi sebuah organisasi bisnis untuk tumbuh dan berkembang;
selain dengan mejadikan karyawan-karyawanny a sebagai manusia-manusia
pekerja yang hebat. Jika tidak, tak satupun pengusaha yang bisa
mengembangkan bisnisnya. Sebab, begitulah adanya. Secara alamiah,
manusia pengusaha dan manusia pekerja ada untuk saling
berkontribusi. Seperti kanan dan kiri. Siang dan malam. Yin. Dan
Yang.

Tidak ada gunanya bagi seorang pengusaha untuk membuang-buang
waktunya membual bahwa menjadi pengusaha itu lebih baik. Tidak ada
gunanya bagi seorang pekerja untuk membuang waktunya memikirkan
dengan was-was apakah pilihannya untuk menjadi pekerja itu sudah
benar atau tidak. Pengusaha, atau pekerja; memiliki perannya masing-
masing. Sama-sama penting. Sama-sama berharga. Sama-sama baik
adanya. Jika anda pengusaha, pekerja-pekerja andalah yang akan
menjadikan usaha anda berhasil. Jika anda pekerja, pilihannya hanya
satu saja; menjadi pekerja yang hebat. Jika anda sungguh-sungguh
berkarya melalui pekerjaan yang anda miliki; anda pasti mendapatkan
semuanya itu. Jadi, tenang saja. Dan bekerja saja. Dengan segenap
kemampuan anda yang sesungguhnya; Anda pasti bisa.

Hore,
Hari Baru!
Dadang Kadarusman
http://www.dadangka darusman. com/

Catatan kaki:
Bukanlah status yang menentukan nilai hidup kita, melainkan;
kontribusi yang bisa kita berikan kepada dunia.