Jumat, 29 Februari 2008

Tradisi bisnis yang dibiasakan ?

Oleh Sabrul Jamil

Dalam salah satu pengalaman bisnis saya, saya berkesempatan menawarkan software aplikasi rumah sakit, ke salah satu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di kawasan Jawa Tengah. Kami - saya dan tim - tidak berhubungan langsung dengan pihak rumah sakit, melainkan melalui penghubung, yang memang terlatih mencari proyek-proyek.

Singkatnya, kami akhirnya bertemu dengan tim penghubung itu, untuk mengatur strategi agar software kami bisa ʽtembusʼ ke RSUD tersebut. Maklum, harga software ini memang ratusan juta rupiah. Jadi perlu strategi marketing yang terencana baik agar bisa tembus.

Sayangnya, berdiskusi tentang strategi adalah tidak melulu berdiskusi tentang kualitas dan fungsionalitas suatu software. Berdiskusi maksudnya adalah - terutama - mengatur cara ʽmeyakinkanʼ pihak-pihak yang berwenang dalam mengambil keputusan. Kualitas hampir tidak disinggung lagi.

Sebagai orang baru di lingkungan bisnis, saya dibuat terpana dengan skema ʽbagi hasilʼ yang sudah direncanakan. Tim penghubung saya ini sudah berhasil memperoleh koneksi orang dalam. Dan dari informasi orang dalam tersebut, telah dibuat semacam alokasi biaya-biaya proyek, yang sekitar empat puluh persennya masuk ke kantong-kantong para pejabat di lingkungan RSUD tersebut.

Jadi, katakanlah nilai proyek sesungguhnya sebesar seratus juta rupiah, empat puluh juta di antaranya masuk ke kantong para pejabat, dan sisanya baru untuk software.

Saya menggeleng-gelengkan kepala, dan bertanya, apakah memang harus selalu seperti ini? Teman saya di tim penghubung tadi malah mengatakan, empat puluh persen itu masih terhitung kecil.

Setelah itu, mengalirlah berbagai cerita tentang berbagai proyek, baik yang mereka alami sendiri maupun yang hanya mereka dengar. Bahkan ada kawan kami yang membuat software dengan anggaran 25 juta rupiah, namun ia hanya menerima lima juta saja!

Setelah berdiskusi sejenak, kami memutuskan tidak mau terlibat dengan permainan semacam itu. Kami hanya mengatakan, nilai software kami adalah sekian, dan harus tertulis hitam di atas putih. Adapun bagaimana cara mereka mengatur dengan orang dalam tadi, kami lepas tangan.

Kebanyakan memang strategi seperti itulah yang kami terapkan. Bagi yang masih peduli kepada kebersihan nafkah yang diperoleh, itu memang cara yang relatif paling bersih. Cara lain? Hindari bisnis dengan lingkungan pemerintah.

Pembaca yang baik, apakah semua proyek di lingkungan pemerintahan harus selalu seperti itu? Saya tidak tahu. Saya tidak punya data konkret. Yang saya tahu hanyalah dari kata orang, dan sedikit pengalaman yang saya ceritakan barusan, serta pengalaman langsung teman-teman yang bisa saya percaya. Bagaimana dengan di luar lingkungan pemerintah? Sejauh yang saya alami, memang praktek semacam itu tidak terjadi.
Namun, Saya tertarik untuk merinci dampak yang mungkin terjadi, apabila praktek seperti itu memang dilazimkan.

Pertama, kita akan menghidupi anak isteri kita dengan uang haram. Darah dan daging mereka tumbuh dengan uang haram. Praktek kolusi seperti di atas dalam Islam dikenal dengan riswah, atau suap, yaitu memberikan sejumlah uang tertentu agar produk kita bisa diterima. Menurut Islam, yang memberi dan yang menerima masuk neraka.

Dari Abdullah bin Amr, telah berkata ia: telah bersabda Rasulullah SAW, "La'nat Allah atas orang yang menyuap dan yang menerima suap." (HR Lima orang ahli kecuali Nasa'i, dan telah disahihkan oleh Tirmizi). Para ulama telah sepakat (ijma') bahwa risywah (suap) hukumnya haram. (Lihat: Muhammad Ismail Al-Kahlani, Subulussalam, Jil. IV hal. 124).

Muhammad Abdul Aziz al-Khuly di dalam bukunya Al-Adabunnabawy, membuat definisi, risywah adalah sesuatu yang diberikan sebagai untuk melicinkan terlaksananya sesuatu, atau untuk memperoleh suatu maksud. Orang yang memberi disebut "Rasyi", yang menerima disebut "Murtasyi" dan perantaranya disebut "Raisy."

Untuk lebih jelasnya, silakan Pembaca merujuk ke kitab-kitab fiqih yang membahas masalah tersebut.

Persoalan ini sesungguhnya sudah cukup jelas. Namun tantangannya adalah ketika kita berhadapan langsung dengan persoalan tersebut. Uang ratusan juta jelas sangatlah menggoda. Tidak jarang kita menggadaikan komitmen dan keimanan kita demi keuntungan sesaat. Situasi ini semakin diperparah oleh kenyataan bahwa praktek seperti itu seolah telah dilazimkan.

Kedua, kualitas barang-barang yang digunakan hanyalah separuh dari harga yang dibayarkan. Jika anggaran yang keluar adalah seratus juta, maka kualitasnya hanyalah lima puluh juta.

Jika yang dikorup adalah biaya pembangunan jalan, maka kualitas jalanan menjadi hanya separuh dari harga yang dibayarkan. Wajar jika kemudian jalan-jalan yang dibangun menjadi cepat rusak. Jika dari kerusakan jalan itu terjadi kecelakaan dan kemacetan, maka dosa orang yang meng-korup uang jalan itu akan terus bertambah.

Ketiga, produk yang benar-benar berkualitas belum tentu terpakai. Kualitas tidak lagi menentukan. Dengan kata lain, amanah atau kepercayaan penyelesaian terhadap suatu persoalan tidak diberikan kepada ahlinya.

Sabda Nabi SAW: Artinya: Apabila suatu pekerjaan/urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya. (HR Bukhari).

Semoga Allah melindungi dan senantiasa memelihara iman kita.

Sabruljamil.multiply.com