Selasa, 12 Februari 2008

Menyalahkan Orang, Hobi Kejiwaan yang Tak Diakui

Banyak hobi yang bisa membuat bahagia dan bangga orang yang
mengklaimnya. Seperti hobi membaca, olahraga, mendesain, masak dan
masih banyak lagi hobi-hobi yang panjang sekali ragamnya jika
dituliskan disini.

Tetapi dari sekian banyak hobi yang kita akui. Ada hobi yang tidak
pernah kita akui baik secara tertulis maupun lisan, yaitu hobi
menyalahkan orang atau pihak lain. Ternyata penganut hobi yang tidak
diakui oleh diri siempunya hobi ini, banyak jumlahnya.

Coba kita lihat tayangan televisi atau membaca koran, mulai dari
menyalahkan orang lain yang buang sampah sembarangan, dan menjadi
penyebab banjir, bahkan menyalahkan alam yang tidak becus mengatur
iklim. Kita mengklaim diri, sebagai yang selalu benar!, yang salah
sich orang atau pihak lain.

Suatu kesan di mana banyak orang, terjebak kebiasaan yang akhirnya
menjadi kesukaannya, sebagai hobi tak terakui, bahwa dirinya, selalu
menyalahkan orang lain, terutama untuk hal yang tidak mengenakan yang
terjadi untuk dirinya, jarang bahkan mungkin sulit ditemui seseorang,
mau mengakui dan mengatakan hobi saya adalah "menyalahkan diri saya
sendiri, jika didapat hal yang tidak enak atau tidak diharapkan
terjadi pada saya!"

James Salam, seorang pengamat sosial yang bermukim di Belanda, dengan
latar belakang berpengalaman sebagai personal manager perusahaan
Multinasional Belanda, dan sebagai konsultan tamu di Inspiration
Centre, yang bergerak dalam pelatihan interaksi personal dengan
konsep Inspirasi Manajemen.

Di mana beliau mengamati tingkah laku orang, dalam bersosialisasi,
interaksi relasi sebagai adaptasi dengan pasangan barunya, atau
tempat kerja barunya, bahkan negara baru yang sekarang mereka hidup,
dalam sebuah kesempatan wawancara dengan penulis mengatakan: "Banyak
orang selalu menempati dirinya menjadi 'sentralisasi' kata lain,
minta diperhatikan, sementara masalah orang lain di-masabodoh- kan,
dan senangnya menempatkan diri dalam posisi menjadi "korban'' dalam
banyak situasi lingkup sosial relasi.

Dengan mengatakan hal ini, bisa saja diri kita sendiri terjebak dalam
pepatah yang mengatakan: "Satu jari menunjuk hidung orang lain, maka
keempat jarimu menunjuk hidung sendiri!"

Sebagai contoh soal jika seseorang mau menjadi pendonor ginjal,
dengan segala niat tulus orang tersebut memakai uangnya sendiri untuk
membayar segala pemeriksaan medis dan lainnya, untuk persiapan diri
sebagai donor, setelah semua pemeriksaan selesai dilakukan, didapat
kenyataan bahwa dia tidak memenuhi standar kesehatan untuk
menyumbangkan sebuah ginjalnya, dan pihak calon penerima donor tidak
mau tahu masalah keuangan yang sudah terlanjur dikeluarkan, dengan
dalih salahmu sendiri kenapa punya ginjal tidak sehat, maka proses
pendonoran tidak bisa dilakukan dan kenyataan saya tetap sakit.

Nah, melalui cerita ilustrasi ini kita bisa menilai
sikap "menyalahkan orang lain" atas apa yang tidak enak ter- jadi
pada kita.

Salahkan Vs Syukuri

Daripada kita terjebak hobi "menyalahkan pihak/orang lain" mungkin
bisa kita ambil jalan bijaksana, jika dalam perjalanan hidup kita
berinteraksi, ketika kita menginjak kerikil tajam yang melukai diri
kita, daripada kita menyalahkan kenapa ada kerikil tajam yang
menyakitkan dalam perjalanan relasi kita, lebih bijaksana kalau kita
berpikir, syukur kerikil ini terinjak sekarang, maka kita bisa
melangkah lebih hati-hati dalam meneruskan perjalanan relasi ini.

Di bawah ini saya ajak pembaca, dengan seizin penulisnya yang tidak
mau dituliskan namanya, membaca kisah ilustrasi yang bagus kita simak
bersama, bahwa dalam banyak kenyataan kita terjebak hobi tak terakui
yaitu: "menyalahkan orang lain".

Siapa Pencurinya

Pada suatu malam, seorang wanita sedang menunggu keberangkatannya di
bandara, sedangkan masih ada beberapa jam sebelum jadwal
keberangkatannya tiba. Untuk membuang waktu, ia membeli buku dan
sekantong kue di salah satu toko di bandara itu, lalu menemukan
tempat untuk duduk.

Sambil duduk, wanita tersebut membaca buku yang baru saja dibelinya.
Dalam keasyikannya tersebut ia melihat seseorang disebelahnya, dengan
begitu berani mengambil satu-dua kue yang berada diantara mereka
berdua. Wanita tersebut berusaha mengabaikan agar tidak terjadi
keributan, demikian pikirnya.

Dia membaca, mengunyah kue dan melihat jam. Sementara si "pencuri"
kue yang pemberani menghabiskan persediaannya. Ia semakin kesal
sementara menit-menit berlalu, wanita itu sempat berpikir setiap ia
mengambil satu kue, orang itu juga mengambil satu. Ketika hanya satu
kue tersisa, ia bertanya-tanya dalam hati: "Sekarang, apa yang akan
dilakukan orang itu?"

Dengan senyum tawa di wajahnya dan tawa gugup, si orang itu mengambil
kue terakhir dan membaginya menjadi dua. Orang tersebut menawarkan
separuh miliknya sementara ia makan yang separuhnya lagi.

Dan dengan kasarnya wanita itu, merebut kue itu tanpa sedikit pun
terbesit perasaan berterima kasih. Belum pernah rasanya ia begitu
kesal dalam situasi begini.

Dia menarik napas lega saat penerbangannya diumumkan, dia
mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang. Menolak untuk
menoleh pada si "pencuri yang tak tahu terima kasih itu!". Demikian
geram dia berkata dalam hatinya!

Ketika sudah di dalam pesawat dan duduk di kursinya, la berusaha
mencari buku, yang hampir selesai dibacanya. Saat ia merogoh tasnya,
ia menahan napas dengan kaget. Di situ ada sekantong kue. Kok milikku
ada di sini..? erangnya dengan patah hati.

Jadi kue tadi adalah milik orang itu dan ia mencoba berbagi kepadaku.
Terlambat sudah baginya untuk meminta maaf, sebegitu malunya
membuatnya tersandar di bangku pesawat mengingat perilakunya yang
buruk terhadap orang tadi.

Sesungguhnya dialah yang kasar, dan tidak tahu berterima kasih!
Dialah sesungguhnya pencuri kue itu.

Dalam hidup ini, kisah "pencuri kue'' seperti itu sering sekali
terjadi di kehidupan. Kita sering berprasangka dan melihat orang lain
dengan kacamata kita sendiri, serta sering kali berprasangka buruk
terhadapnya.

Orang lainlah yang selalu salah, patut disingkirkan, tak tahu diri,
berdosa, selalu bikin masalah, pantas diberi pelajaran.

Padahal, kita sendiri yang mencuri kue tadi, padahal kita sendiri
yang tidak tahu berterima kasih. Kita sering mempengaruhi, memberi
komentar, mencemooh pendapat, memberi penilaian negatif, mencela
gagasan orang lain, sementara sebetulnya kita tidak tahu betul duduk
permasalahannya.

Alam memang memberikan kita akal budi untuk berpikir, tetapi bukan
berarti setiap masalah harus diselesaikan dengan mengandalkan akal
budi semata, tetapi harus memahami apa yang ada di depan mata,
menyadari situasi dan kondisi yang ada, yang sering kali sulit dapat
dimengerti melalui akal budi, setiap penyesalan tidak akan pernah
terjadi di awal, dan kita tidak akan pernah bisa memutarnya kembali
seperti jam demi jam, waktu yang sudah terbuang per- cuma dalam
perjalanan hidup ini.

Demikian juga ulah wanita dalam kisah di atas, bagaimana bisa
menemukan orang yang sudah dia salahkan, bagaimana bisa menyampaikan
maafnya yang menuduh orang lain yang salah.

Berlatih Mengikis

Begitu juga dengan iklim yang sangat ekstrem yang terjadi belakangan,
dan ini terjadi merata diseluruh permukaan bumi, daripada kita
menyalahkan si A atau si X, lebih baik kita bersyukur bahwa alam
sudah memberi kita peringatan sedini mungkin, bahwa kelakuan manusia
terhadap alamnya sudah harus diperbaiki, maka pencegahan-pencegah an,
dan sosialisasi tentang bahaya yang bisa menyebabkan timbulnya
bencana alam, kehancuran dunia bisa laksanakan.

Maka suatu kebijaksaan untuk segera membenahi dan memberi perlakuan
yang nyata, bahwa dunia seperti apa yang akan kita wariskan kepada
generasi selanjutnya untuk mereka tempati.

Kita memang hanyalah manusia yang tidak sempurna, pepatah mengatakan,
tidak ada gading, yang tidak retak. Tetapi, hobi tak terakui yang
kita punya, yaitu senang menyalahkan orang lain atau pihak lain untuk
suatu yang tidak enak, yang tidak mau terjadi pada kita, adalah suatu
hobi yang perlu kita terus awasi dan berlatih untuk mengikisnya, agar
jiwa kita tidak menjadi penganutnya yang setia.

Sumber: Menyalahkan Orang, Hobi Kejiwaan yang Tak Diakui
oleh Lianny Hendranata