Oleh : Ippho Santosa
Artikel yang satu ini, saya bikin di atas pesawat Singapore Airlines (SQ). Kebetulan siang itu, saya berangkat dari Singapura menuju Hong Kong. Rencananya, saya akan merayakan malam tahun baru di sana (walaupun sendirian, selama 3 hari). Sayangnya, sepanjang perjalanan cuaca agak buruk. Pesawat pun berguncang kecil berkali-kali. Untunglah, SQ -yang merupakan salah satu penerbangan terbaik di dunia- menyediakan TV pribadi, handuk hangat, selimut, dan bantal. Kegelisahan penumpang pun sedikit diredam karenanya.
Sejenak, saya teringat saat check-in di bandara Changi beberapa jam sebelumnya. Di mana, saya disapa oleh seorang staf SQ di konter, "Pak, bagasinya ada nggak?" Perhatikan kalimat barusan baik-baik. Apakah mungkin seorang Melayu Singapura melontarkan kalimat khas Indonesia sedemikian rupa? Rasa-rasanya sih tidak mungkin. Pasti ada alasan untuk itu. Hm, apalagi kalau bukan untuk membuat si pelanggan merasa homy dan cozy. Ya akrab, ya hangat.
Begitu pula dengan malam sebelumnya, semasa saya menginap di hotel yang kaya akan estetika, Marina Mandarin. Petugas reception-nya dengan enteng menyapa saya dengan dialek Indonesia, juga terhadap tamu-tamu dari Indonesia lainnya. Yah, meskipun masih ketahuan logat Melayu Singapura-nya. Ngomong-ngomong, apa sih alasannya? Sama seperti di atas. Supaya si pelanggan merasa homy dan cozy.
Di buku World is Flat karangan Thomas Friedman, diceritakan bagaimana sebuah Call Centre di Bangalore India yang karyawannya juga orang-orang India, mampu menyapa dan menjawab pertanyaan pelanggan-pelanggan dari seluruh penjuru bumi dengan beragam aksen. Mulai dari Amerika, Kanada, Inggris dan lain sebagainya. Dan asal tahu saja, mereka dilatih untuk itu. Ada kursusnya, lho.
Nah, saat seorang pelanggan dari Amerika penasaran bertanya, "Sebenarnya, di mana sih posisi Anda?" maka staf Call Centre dengan polos menyahut, "India." Lucunya, si pelanggan malah menganggap itu bukan negara India, melainkan Indiana, salah satu negara bagian di Amerika. Yah, lantaran cara bicara staf Call Centre tersebut begitu meng-Amerika. Demikianlah, dunia tidak lagi mengenal batas. Dunia ini rata (World is Flat), istilah Thomas Friedman.
Setiba di Hong Kong, hawa dingin langsung menyergap saya. Tanpa membuang-buang waktu, saya pun berangkat menuju Holiday Inn -tepatnya di Nathan Road, Kowloon (mirip-mirip Orchard Road-nya Singapura). Ketika masuk kamar hotel, saya sempat melirik TV. Lagi-lagi saya disapa -kendati tidak secara langsung. Nama lengkap saya tertera di layar TV. Dan tiada salah satu huruf pun. Istimewa? Ya, iyalah. Di Indonesia, betapa sering nama saya salah eja di voucher hotel, tiket pesawat, surat penawaran, dan lain-lain.
Terus-terang saja, pernah nama saya diketik ngawur di kartu ucapan selamat datang di sebuah hotel di Surabaya. Padahal hotel itu menyandang predikat bintang lima. Kontan saja saya ngomel dan ngedumel kepada manajernya, "Daripada ngaco begini, mendingan tidak usah menyapa sama sekali." Mungkin Andrie Wongso dan timnya adalah salah satu pengecualian. Kebetulan, saya dikirimi buku terbarunya 18 Wisdom & Success. Yang luar biasanya, nama saya tercetak customized di sampul depannya, "Special to Ippho Santosa."
Pahamilah bahwa seseorang dengan nama amat buruk seperti 'Semprul' atau ‘Kupret' sekalipun, tetap saja tidak ingin namanya salah eja. Apalagi saya! Anda juga 'kan? Kesimpulannya, sapaan itu krusial. Namun bukan sembarang sapaan. Selain penuh hospitality dan customization, sapaan juga harus mematuhi ketepatan nama. Pokoknya, error-free setiap hurufnya. Harus itu!
Ippho Santosa adalah mantan marketer di dalam dan luar negeri, produser Andalus, penulis bestseller 10 Jurus Terlarang. Buku-bukunya (salah satunya ditulis bersama Tantowi Yahya) direkomendasikan oleh pakar-pakar bisnis dari Amerika, Singapura, dan Malaysia.