Sabtu, 03 November 2007

Ibu……..”

by Dadang Kadarusman

Dipagi hari beberapa waktu yang lalu, saya berbalas email dengan seorang sahabat melalui milist mantan aktivis di kampus. Sahabat saya itu baru saja dikaruniai kelahiran putra keduanya. Nama anaknya bagus sekali. Dan dibelakang nama anak itu ditambahkan nama bapaknya – sahabat saya itu. Saya turut berbahagia, seperti yang saya katakan kepadanya. Saya kemudian berujar; “Para lelaki tidak bisa membuat anak sendirian. Lantas, mengapa kita yang kaum pejantan ini seringkali menyabotase anak yang dilahirkan oleh istri-istri kita dengan menempelkan nama kita dibelakang nama mereka?”. Saya berani bilang begitu karena dia adalah sahabat kental yang sudah sejak jaman kuliah dulu saling canda; dan kami tak pernah tersinggung.

Beberapa jam setelah email di milist itu; saya mendapatkan email dari rekan dikantor. Kakak kelas sewaktu kuliah dulu. Beliau mengabarkan bahwa salah satu sahabat terbaik saya dikelas; meninggal dunia pagi ini, setelah mengalami komplikasi melahirkan akibat eklamsia. Saya tertegun. Pagi itu, mendadak saja saya usil pada ulah para lelaki seperti saya ini. Dan ternyata, pada saat yang sama dibelahan bumi yang lain, seorang perempuan harus meregang nyawa – benar-benar meregang nyawa – dalam usahanya untuk membawa sebuah kehidupan baru. Seorang bayi manusia yang mesti dia tebus dengan nyawanya sendiri. Perempuan itu; menukarkan nyawanya sendiri untuk sebuah kehidupan hasil dari benih kasihnya dengan sang suami. Perempuan itu, rela menutup matanya sendiri dan memberikan mata indah itu kepada mata hatinya. Kemudian menghadiahkannya kepada sang suami. Perempuan itu, seperti banyak perempuan lain dimuka bumi ini; bersedia menyerahkan hidupnya sendiri, sebagai sebuah pengorbanan yang tiada terperikan.

Saya teringat pada sebuah pelatihan tentang kreativitas belasan tahun lalu. Semua peserta adalah mahasiswa, seperti saya waktu itu. Pelatih mengatakan; ”Bayangkan saat dimana nanti anda berkeluarga. Lalu anda memiliki anak. Apa nama yang akan diberikan kepada anak anda?”. Setiap peserta lalu bermimpi. Ada yang membayangkan dirinya mempunyai 1 orang anak lelaki. Anda yang ingin sepasang buang hati. Dan ada juga yang cukup gila untuk meminta istrinya membuat kesebelasan sepak bola! Lalu mereka me-reka-reka nama sang anak. Saya perhatikan; tak seorang pun peserta pelatihan yang perempuan menempelkan nama dirinya dibelakang nama anak-anak mereka. Sebaliknya, sebagian besar peserta lelaki; menempelkan nama mereka sendiri dibelakang nama anak-anak mereka. Jika nama saya Kadarusman; maka saya meletakkan sang “Kadarusman” itu dibelakang nama anak-anak saya. Bahkan, saya boleh membubuhi kata “putra”, sehingga sure name anak saya akan menjadi “Putra Kadarusman”. Hari ini, saya merasakan; betapa egoisnya saya ini.

Saya berani menyampaikan pertanyaan usil tadi hanya kepada sahabat kental. Sedangkan kepada orang lain; saya tidak mungkin memiliki keberanian itu. Jadi, jika anda seperti sahabat saya yang merasa perlu untuk menambahkan nama anda dibelakang nama anak-anak anda; silakan saja. Saya menghormati keputusan itu. Sebab, pasti itu anda lakukan untuk tujuan yang baik-baik, bukan? Selalu ada tempat untuk setiap kebaikan.

Ketika istri saya hamil; saya memohon kepada Tuhan, agar diberi kesempatan untuk menemaninya menjalani proses persalinan. Agak musykil, karena pekerjaan menuntut saya untuk bepergian kesana kemari. Namun, Tuhan mengijinkan juga. Istri saya, harus berbaring lebih dari 24 jam di meja melahirkan sebuah klinik bersalin. Sementara selang cairan infus berisi Cyntocinon tersambung melalui pembuluh vena ditangannya. Dokter kemudian memberikan beragam alternatif untuk membantu persalinannya. Dan dengan doa, kami jalani apa yang mampu kami lakukan. Tiga kali proses kelahiran. Tuhan mengijinkan saya menemaninya. Dan semuanya, merupakan persalinan yang teramat sulit.

Ketika menyaksikan keringat, air ketuban, dan darah tercurah; saya jadi tahu, bahwa para perempuan, menempuh resiko yang begitu berat untuk melahirkan. Dan ketika sang bayi menampakkan wajah mungilnya; yang pertama kali berjingkrak dimuka bumi ini adalah para lelaki. Sekarang saya tahu; mengapa Tuhan membiarkan saya memasuki ruang bersalin ketika itu. Dia ingin agar saya tahu, bahwa resiko yang ditempuh para perempuan itu tiada terperikan. Kita para lelaki. Jika tahu sesuatu akan menyebabkan kita mati; pasti akan menjauhi. Padahal, kita jarang sekali dihadapkan pada pilihan antara hidup dan mati untuk menjaga keluarga kita.

Kaum Ibu, meski tahu bahwa mereka bisa saja mati ketika melahirkan; tapi, mereka menjalaninya juga……….

Kaum ibu, jarang mengeluh kepada suaminya. Meskipun hamil itu bukanlah saat dimana segala sesuatunya terasa nyaman. Mereka mual dan muntah-muntah. Bahkan ada yang harus diinfus karena tak sesuap makananpun dapat bertahan diperutnya. Sementara si jabang bayi terus-menerus menyerap nutrisi yang ada di tubuhnya. Tetapi, lelaki seperti kita, paling sering mengeluhkan ini dan itu. Padahal, ketika kita pergi ke kantor; kita tidak dihadapkan pada sesuatu yang bisa menyebabkan kita mati. Dalam perjalanan menuju kantor; kita tidak sambil mual muntah. Dan dikantor, kita selalu bisa makan enak.

Kaum ibu jarang mengeluh; meski mereka tahu bahwa hamil dan melahirkan itu sakit lagi perih…..

Ketika merasa sudah menjadi seorang eksekutif hebat atau pengusaha sukses, kita masih juga menggugat; apa hubungannya semua itu dengan kesuksesan kita dalam karir dan bisnis? Memang, banyak lelaki lajang yang sukses. Itu menunjukkan bahwa tanpa perempuan, kita para lelaki bisa sukses. Bisa ya, bisa tidak. Tetapi, setidaknya, itu tidak berlaku bagi para lelaki yang sudah beristri. Bagi para suami, perempuan yang mendampinginya tidak bisa dianggap sekedar pelengkap. Sekalipun mereka tetap tingal dirumah untuk menjaga anak-anak; bukannya pergi ke kantor dan bekerja seperti kita. Bukan sekedar pelengkap. Sebab, nyatanya, kita para lelaki yang menyukai kendaraan ini tidak berani mengatakan bahwa busi hanyalah sekedar pelengkap dari mobil yang kita kendarai. Busi bukan pelengkap, melainkan inti bagi segala system pembakaran dalam mesin mobil kita. Dan istri, sama sekali bukan pelengkap. Melainkan salah satu komponen penting yang menjadikan kehidupan karir kita menjadi utuh. Bahkan, seorang lajang suksespun, pada saatnya nanti, akan tahu bahwa berlabuh dalam pelukan seorang perempuan sepulang kerja; adalah hal terpenting yang dibutuhkan oleh para lelaki, agar besok pagi, pekerjaan mereka menjadi menarik lagi untuk dieksplorasi.

Dan saya tahu, mengapa Tuhan mengijinkan saya menemani istri dalam proses persalinan. Dia ingin saya mengerti bahwa; tidaklah mungkin untuk membayar semua jerih payah Ibu saya. Dan ketika siang itu saya mendapatkan kabar tentang meninggalnya sahabat saya dalam proses persalinan; saya tahu bahwa, Ibu saya, telah menempuh resiko yang sama disaat pertama kali saya menghirup udara. Karena untuk menjadikan saya hidup, Ibu saya bersedia melakukan apa saja; sekalipun itu bisa berarti menyerahkan hidupnya sendiri.

Ibu, dihari ketika aku dilahirkan; segalanya telah engkau pertaruhkan. Hanya untuk sekedar memberiku kesempatan, agar bisa berteriak dihari itu: