by Dadang Kadarusman
Beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dengan seorang sahabat baik. Sambil berjalan menuju sebuah restoran padang, kami berbincang-bincang. Seperti kebanyakan anak muda lainnya, pembicaraan kami tidak jauh-jauh dari wacana seputar ‘merancang masa depan yang kita inginkan’. Cieee…, agak berbau visioner gitu, deh. Tapi, bukankah memang anak-anak muda seperti kita tidak pernah kekurangan gagasan soal yang satu itu? Lagipula, ada begitu banyak sudut yang bisa kita gunakan untuk memandang masa depan. Anda mungkin masih ingat dengan nasihat Bibi Wu tentang masa depan. Itu salah satunya. Sekarang, mari kita gunakan sudut pandang yang lain.
Sahabat saya memulainya dengan berkata begini: “Memang, sudah waktunyalah kita menentukan takdir kita sendiri…” katanya.
“Wah,” saya bilang. “Menentukan takdir kita sendiri?”
Dia menatap saya. “Iya. Kenapa memangnya?” Katanya. Kami berbelok ke kanan melintasi kios-kios para penjual makanan. Dalam hati, saya mengagumi semangatnya.
“Kalau gue melakukan sesuatu sekarang, “ jawab saya. “Itu bukan karena kepingin menentukan takdir gue sendiri.”
“Kenapa?”
“Karena gue percaya bahwa takdir itu sudah terbentuk. Ada dalam buku catatan Tuhan.” Saya menjelaskan.
”Jadi?”
”Jadi. Yang gue lakukan adalah..” kata saya, ”exploring my destiny.” Saya berhenti sejenak. “Not to build it.”
“Apa bedanya?” Tanpa terasa, kami sudah duduk dihadapan meja makan yang diatasnya berjejer beragam menu masakan padang yang menggiurkan.
“Beda banget.” Kata saya. “Tugas gue bukan membentuk takdir. Karena Tuhan sudah berbaik hati membentuknya untuk masing-masing orang, bahkan mungkin jauh sebelum kita dilahirkan.” Nasi putih itu berserah pasrah dihadapan saya. “Peran kita-kita adalah; untuk mengeksplorasi sejauh mungkin takdir itu.” Sambal cabe hijau adalah menu pertama yang saya ambil. Tanpa itu, makan di restoran padang kehilangan esensi kesakralannya. Sekalipun semua masakan sudah dihidangkan; saya bersedia keluar, dan mencari tempat lain saja kalau sambal cabe hijau sampai terlewatkan.
Sebenarnya, saya mengharapkan ‘perlawanan sengit’ dari sahabat ini. Tetapi, dia terlalu mudah untuk ditaklukan. Baru dibilang begitu saja dia langsung berkata:”Oooh, gitu ya.” Dagunya yang berjanggut ikut manggut-manggut. Saya tidak tahu, apakah dia benar-benar setuju dengan argumen saya, atau…, barangkali semangat berdebatnya tiba-tiba sirna, setelah mulutnya tersumbat oleh semur babat.
Hah, bukan lawan diskusi yang berbobot. Keadaan tanpa perlawanan ini terasa hampa. Jadi, saya harus memberinya bonus penjelasan. ”Pren,” saya bilang. ”Kita tidak pernah tahu, seperti apa takdir kita ini, sampai kita benar-benar menempuhnya sendiri.” Saya menyodokkan sendok kepada sepotong daging ayam pop yang empuk.
”Kita memiliki takdir untuk’berhasil’ hanya jika kita menjalani semuanya itu sampai kita benar-benar ’berhasil’. Jika kita belum berhasil sudah berhenti; bagaimana mungkin kita bisa mengetahui bahwa ternyata kita ditakdirkan untuk berhasil?”
”Jadi, itu berarti elo memaksakan takdir supaya bikin elo berhasil?” itu sanggahan yang saya harapkan diucapkannya. Tapi, dia tidak mengatakannya. Padahal, saya sudah mempersiapkan jawaban begini:
”Bukan. Bukan berarti kita memaksakan takdir supaya jadi berhasil.” Tangan saya mengaduk-aduk nasi yang sudah dicampur dengan bumbu randang. Sendok tidak laku ditempat seperti ini.
”Lalu?”
”Itulah yang kita sebut dengan exploring our destiny.” Saya meneruskan. Boleh jadi; sebenarnya Tuhan sudah mentakdirkan sebuah keberhasilan bagi kita. Tapi, mungkin kita tidak cukup gigih berusaha untuk menggapai keberhasilan itu. Atau, kita melakukannya, tetapi kita berhenti ditengah jalan. Jadi, bagaimana bisa kita sampai kepada takdir itu?
Mungkin anda bertanya: ”Bagaimana kalau Tuhan mentakdirkan kita gagal?”
Hey, anda pikir Tuhan mau menciptakan hambanya hanya untuk sekedar menyiksa dan menyusahkannya dengan kegagalan demi kegagalan yang ditentukannya? Ya tidaklaaaah…. Memangnya anda berani mengatakan bahwa Tuhan itu sadis? Kan tidak, toh?
Jika anda percaya Tuhan sebagai pencipta anda, maka sebaiknya anda juga percaya bahwa Tuhan bersedia memberikan hal terbaik bagi mahluk ciptaanya ini. Dengan kata lain, Tuhan pasti menyediakan hal-hal terbaik bagi anda. Tugas anda hanya mengekslorasinya sampai anda menemukan semua kebaikan itu. Seberapa banyak yang bisa anda dapat, itulah yang Tuhan berikan. Semakin jauh anda bisa melangkah. Semakin banyak yang bisa anda dapatkan. Semakin banyak yang Tuhan berikan. Tuhan tidak keberatan. Dia pasti berikan. Kenapa? Karena, seperti yang anda yakini dalam hati, bahwa; kuasa Tuhan tidak terbatas. Kekayaan Tuhan tak ada takaran. Melimpah ruah, hingga tak seorangpun mampu membayangkan; sebanyak apa itu? Tak seorangpun tahu.
Jika Tuhan bilang:’Menyebarlah kamu dimuka bumi, dan bermatapencaharianlah kalian.” Maka itu berarti bahwa kita mendapatkan ijin untuk mengambil dari ladangnya; sebanyak yang kita bisa. Tetapi ingat, kata Tuhan. Ada aturan main yang mesti kita ikuti. Jika anda melakukannya dengan aturan main itu, anda akan dapatkan apa yang bisa anda dapatkan ditambah bonus kasih sayang Tuhan. Tetapi, jika anda melanggar aturan mainnya. Mengabaikan norma-normanya. Mungkin anda bisa mendapatkan apa yang anda inginkan. Hanya saja; bagaimana anda menjamin kalau Tuhan rela atas semuanya itu?
Jadi….,
Our destiny has been built already.
We only need to explore it.
With high spirit.
And, dignity.
Hore,
Hari Baru!
Catatan kaki:
Sebagian orang lebih suka menyebutnya takdir. Sebagian yang lain menyebutnya nasib. Tak masalah. Asal jangan menyalahkan takdir atau nasib saja. ”Yah, nasib gue memang udah gini kali. Mau gimana lagi…?” Nah, kalimat yang macam begini ini mesti dijauhin, nih. Nggak memberi kita energi untuk bangkit. Kecuali, kalau anda sudah seper sukses; lalu anda bilang:”Sebenarnya saya ingin hidup alakadarnya saja. Tapi, gimana ya, saya ditakdirkan menjadi orang yang sukses dan kaya raya. Apa boleh buat……” Haha, coba saja kalau bisa.
Anda pernah gagal? Pastilah itu. Iya, kan? Tenang saja. Itu hanya sekedar tanda bahwa;’ini belum saatnya untuk berleha-leha’. Bangkit lagi saja.
Masakan padang itu memang moooy. Saya tidak pernah kehilangan selera dihadapan hidangan pedas berbumbu rempah-rempah kayak gitu. Rancak bana. Kalau anda tidak suka yang pedas-pedas, ayam pop bisa jadi pilihan. Atau, sop kepala kakap. Kikil alias tunjang juga oke banget. Rasanya pas. Bahkan bagi mereka yang tak ingin lidahnya terasa panas. Pokoknya, dijamin puwas, was, was, was……
Ayo Subscribe untuk mendapatkan email alert artikel baru