Banyak orang mengatakan bahwa seburuk apapun keadaan rumah kita, rumah kita tetaplah istana kita. Rumahlah satu-satunya tempat yang dapat memberikan kedamaian, ketenteraman serta kebahagiaan hakiki. Tidak ada tempat lain di dunia ini yang bisa memberikan kebebasan untuk melepaskan diri dari segala belenggu dan topeng-topeng kehidupan, selain di rumah sendiri.
Maka, sungguh indah dan sungguh tepatlah ungkapan: “Home Sweet Home..!”
Namun demikian, kebahagiaan di rumah belum tentu bisa dibawa ke tempat lain, kantor misalnya. Bahagia di rumah, belum tentu bahagia di kantor. Kenyataannya, banyak orang merasa sangat-sangat sulit untuk mengadaptasi kebahagiaan di rumah, ke tempat mereka bekerja. Terlalu banyak intrik dan provokasi yang muncul dan terjadi di lingkungan kerja.
Simaklah apa yang dirasakan oleh mereka yang berprofesi sebagai karyawan profesional. Mereka sering kali merasa “ada ancaman” bahwa sewaktu-waktu mereka bisa di PHK. Perasaan tidak nyaman juga datang dari “ulah” para atasan, para bos (atau bukan bos tapi sangat “bossy”) yang terasa semena-mena memerintah ini dan itu.
Belum lagi persaingan antar karyawan yang begitu ketat, sampai-sampai mencuatkan manuver-manuver tidak sehat mulai dari trik-trik “carmuk” alias “cari muka”, sampai pada pergunjingan dan fitnah terselubung.
Kejadian-kejadian semacam itu, sedikit banyak akan mendistorsi suasana kebahagiaan yang kita bawa dari rumah ke tempat di mana kita berkarir.
Sayangnya, buat kebanyakan orang, tekanan dan stres di tempat kerja sudah dianggap lumrah. Memang itulah budaya hidup di tempat kerja, mau apa lagi?
Hampir semua orang menghabiskan sebagian besar dari waktunya di tempat kerja. Katakanlah, rata-rata orang sekarang bekerja selama 10 – 12 jam sehari. Ini artinya mereka mendedikasikan 50% dari 24 jam waktu yang dimilikinya untuk fokus di sektor karir. Sedangkan 50% lagi dibagi-bagi untuk kegiatan-kegiatan lainnya, seperti bercengkerama dengan keluarga di rumah, bersosialisasi dengan masyarakat, beribadah, belajar, pergi ke gym untuk olahraga dan lain-lain.
Dari situ kita dapat menyimpulkan bahwa manusia masa kini rata-rata hidup tidak bahagia, karena waktunya dominan berada di tempat yang tidak bahagia, yaitu di kantor atau di lingkungan kerja yang penuh dengan tekanan dan stres.
Namun toh orang tidak bisa menghindar dari keharusan kerja, sebab, inilah satu-satunya aktivitas yang merupakan “earning center”, pusat penghasilan yang membiayai semua kegiatan orang yang bersangkutan. Aktivitas-aktivitas lainnya yang berhubungan dengan keluarga, kegiatan sosial, spiritual, kesehatan fisik-mental, semuanya merupakan “cost centers” alias pusat-pusat biaya.
Jadi wajarlah kalau mengingat kepentingannya, kita semua mengalokasikan waktu terbanyak untuk membina karir. Lantas bagaimana caranya agar dalam bekerja kita pun bisa tetap berbahagia? Kalau di rumah kita dapat membangun “home sweet home”, mengapa di kantor kita tidak bisa membangun “work sweet work”?
Berdasarkan observasi, kebanyakan orang bekerja semata-mata dilatarbelakangi motivasi untuk mencari nafkah (subsistence motivation). Mereka merasa harus bekerja karena harus memberi makan diri dan keluarganya. Harus menyekolahkan anak-anaknya. Dan harus membiaya semua kebutuhan operasional rumah tangganya. Harus dan harus..
Dengan motivasi yang “serba harus” ini, tidak heran kalau suasana kerja menjadi sangat tegang dan stres. Kuatir kalau gaji tak mencukupi, tentu tidak bisa lagi memberi makan dan menyekolahkan anak. Kuatir akan ancaman PHK, sama dahsyatnya dengan kuatir akan kiamat.
Bagaimana orang bisa bahagia kalau setiap hari dicekam ketakutan seperti itu?
Untuk membangun suasana “work sweet work”, perlu dilakukan perubahan total atas paradigma dan motivasi kita untuk bekerja. Jangan berfikir bahwa bekerja hanya semata-mata untuk mencari nafkah. Kita harus berfikir jauh lebih besar dari itu. “Think Big”, kata David J. Schwarz.
Bekerja juga harus “enjoyable”, bisa dinikmati semaksimal mungkin. Oleh sebab itu, ada 2 langkah sederhana untuk dapat menjadikan kita bahagia dalam pekerjaan. Yang pertama: cari atau pindah kerja yang bidangnya sesuai dengan kesenangan kita. Tinggalkan saja pekerjaan yang sekarang kalau kita merasa tidak bahagia di situ. Jangan takut, karena dengan bekerja di bidang yang kita senangi, peluang untuk maju akan lebih besar sekian kali lipat. Kalau perlu, bila kita sekarang berstatus karyawan, jadilah seorang usahawan!
Langkah kedua: jadilah raja di sana! Guna menjadi nomor satu di suatu bidang, tentu kita harus piawai. Nah, untuk belajar dan menjadi piawai di suatu bidang yang kita senangi, akan sangat mudah dibanding belajar dan menjadi piawai di bidang yang kita benci. Akan lebih ideal lagi kalau bidang yang disenangi itu adalah juga bidang hobi kita.
Kita akan menjadi seekor harimau yang tumbuh sayap! Dalam kondisi ini, tidak perlu lagi takut di PHK. Tidak perlu lagi stres karena diperintah-perintah orang lain. Dan tidak usah lagi “carmuk” atau sikut-sikutan bersaing dengan teman sejawat.
Selama ini, “Work Sweet Work” jarang menjadi perhatian orang, berbeda dengan “Home Sweet Home” yang selalu didamba dan dibicarakan di berbagai media. Namun demikian seyogyanya kita menyadari bahwa “Work Sweet Work” merupakan energi alamiah yang vital bagi kehidupan setiap orang.
Kadang kita merasa ganjil ketika menyaksikan seorang dokter gigi yang lebih suka main film daripada membuka praktek perawatan gigi. Atau melihat insinyur yang lebih senang bermain musik katimbang menggeluti profesi keteknikan. Aneh ketika tahu bahwa ada pengacara yang ahli hukum eh.. malah getol jadi bintang sinetron.
Saya menangkap bahwa itulah gejala bekerjanya fenomena “Work Sweet Work”, di mana secara disadari atau tidak, beberapa orang yang peka telah mengikuti suara hati nuraninya untuk mencari dan membangun dunia serta kerajaannya sendiri. Di dunia dan kerajaan yang di dalamnya mereka bisa menemukan kebahagiaan sejati.
Maka sebaliknya dari mencibir dengan perasaan aneh, saya justru ingin memberi acungan jempol. Mereka berani tampil beda, dan dengan itu mereka berbahagia.
“Work Sweet Work” adalah sebuah wahana earning center yang subur, kehadirannya akan mendukung “Home Sweet Home” yang indah. Sebaliknya, tanpa “Work Sweet Work”, rona keindahan “Home Sweet Home” akan meredup dan pudar tanpa bisa memberikan kebahagiaan yang berarti. (rh)
Rusman Hakim
"Dengan ILMU hidup menjadi MUDAH, dengan IMAN hidup menjadi TERARAH dengan SENI hidup menjadi INDAH" Dari berbagai sumber.... semoga bermanfaat