Ada kalanya seorang trainer dihadapkan pada situasi di mana ada peserta pelatihan yang begitu antusias membombardir pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang bernuansa “menguji” kepiawaian dirinya sebagai pelatih.Dalam beberapa kasus, intensitas “pengujian” itu begitu tingginya, sehingga sang trainer merasa terteror. Setiap kali sesi tertentu dimulai, “teror” pun dimulai pula sehingga lama kelamaan, sang trainer menjadi merasa sangat tidak nyaman.
Bagi umumnya trainer yunior, sikap para peserta opposan diartikan sebagai tantangan frontal. Mereka merasa sangat terusik, posisinya sebagai trainer yang bertugas untuk melatih dan mengajar audiens, terasa terancam. Ada perasaan bahwa sebagian peserta meragukan kepiawaiannya sebagai pengajar.Menghadapi keadaaan demikian, trainer-trainer muda biasanya menjadi “groggy”, sehingga sebagai kompensasi, mereka cenderung mempertontonkan pengetahuan dan keahlian yang dimilikinya, termasuk dengan menyebut-nyebut berbagai istilah “keren” serta berusaha untuk selalu mematahkan argumentasi yang diajukan peserta.
Celakanya, kerap terjadi bahwa ada saja peserta yang memang benar-benar lebih piawai, lebih tinggi ilmu pengetahuannya serta lebih berpengalaman. Terhadap peserta jenis ini, trainer yang berusaha “pamer kehebatan” untuk mendapatkan pengakuan audiens, pasti ketemu batunya.Ketika argumentasi-argumentasi, referensi-referensi dan juga teori-teori yang mereka ajukan ternyata dimentahkan oleh peserta peneror, dengan serta-merta sang trainer menjadi frustrasi, salah tingkah, tidak tahu harus berbuat apa sehingga terlihat begitu “bodoh” di depan orang banyak. Itulah situasi yang paling dibenci dan ditakuti oleh para trainer, dan tidak terlalu berlebihan kalau disebut sebagai “neraka”nya para trainer muda.
Trainer senior yang sudah cukup makan asam garam pelatihan, berpegang pada basis pemikiran bahwa menjadi seorang trainer tidak perlu berpretensi sebagai figur yang harus selalu lebih pandai dari pesertanya. Mereka siap menghadapi keadaan, di mana pada sesi-sesi tertentu akan ada peserta yang lebih piawai dari mereka.Lalu, bagaimana caranya mengatasi situasi-situasi kritis seperti di atas?
Dalam dunia pelatihan, para pelatih unggulan mempunyai jurus pamungkas yang handal.
Pertama, kehadiran peserta tukang teror yang memang lebih pandai, tidak dipandang sebagai “duri dalam daging” yang akan mengacaukan unjuk kerjanya sebagai trainer di depan kelas. Mereka justru menerima keadaan ini sebagai keuntungan, yang akan memungkinkan kualitas pelatihan menjadi lebih baik lagi.
Kedua, pelatih unggul dapat membaca apa motivasi yang ada dibalik ulah seorang peneror. Yang paling umum, peserta tersebut biasanya hanya ingin mencari pengakuan bahwa dia orang pintar. Dia butuh perhatian dan pujian, oleh sebab itu perlu diakomodir. Kemungkinan lainnya adalah bahwa benar ada orang-orang pintar yang sangat idealis. Orang-orang ini menginginkan bahwa program pelatihan yang mereka peroleh benar-benar berkualitas serta bermanfaat, sehingga mereka merasa perlu mengetahui apakah sang pelatih memang cukup piawai.
Itulah alasan mengapa mereka melancarkan “teror pertanyaan” pada trainernya.Seorang trainer tidak perlu merasa khawatir bahwa dirinya akan dianggap tidak cakap, hanya karena kehadiran peserta yang lebih pintar pada sesi-sesi tertentu. Sebab apa?Sebab, sebelum sebuah program pelatihan digelar, ada sebuah tahapan yang disebut tahap “pre-assessment”. Pada tahap ini, lembaga penyelenggara pelatihan mengadakan penyaringan dan evaluasi tentang klasifikasi para peserta training.
Kriteria-kriteria tertentu yang diterapkan pada para calon peserta di tahap pre-assessment seharusnya akan membentuk sebuah kelompok peserta yang memiliki klasifikasi seragam. Dengan demikian, lembaga pelatihan juga akan tahu klasifikasi trainer seperti apa yang diperlukan untuk menangani kelompok tersebut.
Oleh sebab itu, bila ternyata pada saat pelatihan digelar ada orang-orang yang memiliki klasifikasi lebih tinggi “terselip” dalam kelas, itu bukanlah kesalahan trainer bersangkutan.
Dengan alasan ini, seorang trainer seyogyanya tetap tenang dan tidak perlu merasa terganggu oleh kehadiran mereka.Bahkan sebaliknya, seorang “smart trainer” akan mendapatkan kesempatan untuk memanfaatkan peserta istimewa tersebut.
Yang biasa dilakukan oleh trainer berpengalaman adalah, pada saat “teror” mulai dilancarkan oleh sang peserta, dengan sangat bijak sang trainer akan mempersilahkan orang tersebut maju ke depan podium untuk berbicara menyampaikan argumentasinya.Bila argumentasi yang disampaikan ternyata benar, trainer akan mengajak semua hadirin untuk memberikan applause (tepuk tangan meriah) seraya ia sendiri juga melontarkan pujian-pujian tulus kepada peserta itu. Sejak saat itulah, setiap kali ada pertanyaan yang sedikit “canggih” dilontarkan peserta lain, sang trainer akan mempersilahkan peserta istimewa itu untuk terlebih dahulu menjawabnya.
Dengan jalan ini, pelatih yang bijak sudah mampu mengatasi beberapa persoalan yang dihadapinya secara sekaligus. Bila si peneror merupakan peserta yang hanya ingin diakui sebagai orang pintar, obsesinya segera terpenuhi saat pertama kali ia diberi kesempatan berbicara di depan audiens.Nafsu terornya biasanya akan segera berkurang banyak. Bahkan, ketika setiap kali ada pertanyaan ia diminta menjawab, orang ini akan sadar bahwa dirinya sedang “dikontra-teror” oleh sang pelatih, sehingga nafsu terornya pun hilang.
Di sisi lain, bila peneror adalah peserta idealis yang menginginkan kualitas, sejak pertama kali diberi kehormatan maju ke depan podium, biasanya orang tersebut akan bersedia bekerja sama dengan memberikan informasi serta masukan-masukan yang bermanfaat.
Tidak jarang bahwa peserta jenis ini akhirnya secara sukarela menempatkan diri bagaikan seorang asisten pelatih. Tanpa diminta, tanpa dibayar!Nah, bila saat ini Anda adalah seorang trainer yunior, ada baiknya melatih diri dengan trik seperti di atas, dan Anda segera menjadi seorang Smart Trainer !!
Rusman Hakim