Oleh: Sonny Wibisono, penulis, tinggal di Jakarta
“Kunci dari perubahan adalah melepaskan diri dari rasa takut.”
-- Rosanne Cash, penyanyi, asal Amerika
Namanya Ahmad. Pekerjaan sehari-harinya sopir pribadi. Majikannya seorang pialang di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. Umur Ahmad saat ini hampir mencapai 60 tahun. Ia telah mengabdi selama lebih dari 30 tahun. Saat Ahmad datang ke Jakarta, sekitar tahun 80-an, modalnya hanya sehelai surat izin mengemudi, dan tentu saja beberapa potong pakaian. Ia direkomendasikan saudaranya yang lebih dulu bekerja sebagai pramuwisma di keluarga yang kelak menjadi majikannya. Karir pertamanya, ia melayani isteri majikannya. Tugasnya, mengantar pergi belanja, arisan, ke rumah kolega, dan pertemuan informal lainnya. Karena dinilai santun, tak banyak ulah, dan cakap dalam mengemudi, tak lebih dari setahun, Ahmad ’naik pangkat’ menjadi sopir pribadi Pak Budi. Sekitar akhir Desember tahun lalu, Ahmad meminta pensiun. Umurnya memang tak lagi muda. Kepada majikannya, dia mengaku ingin menikmati hari tuanya di kampungnya. Sang Bos pun tak bisa menolak. Namun, setelah berpamitan, Ahmad rupanya tak langsung pulang kampung, ia menginap di salah satu saudaranya di Jakarta. Ada yang mau diurus, katanya. Dua minggu berselang, dia pun ke kampung halamannya di Jawa Tengah.
Sesampainya di kota kelahirannya, ia disambut hangat oleh isteri dan anak-anaknya. Setelah beristirahat seharian karena kelelahan, keesokan harinya dia mengumpulkan seluruh keluarganya, yaitu isteri dan tiga anaknya. Ternyata ada yang ingin disampaikannya. Bila ia sudah tiada, ia akan mewariskan kekayaannya kepada keluarganya. Pada awalnya, keluarganya mendengarkan Pak Ahmad bicara hanya manggut-manggut saja. Mereka mungkin menilai Pak Ahmad bicara seperti itu karena merasa umurnya lanjut usia. Tapi ketika pembicaraan mulai mengarah pada besarnya warisan, satu persatu keluarga Pak Ahmad terkejut bukan main. Pak Ahmad ternyata mewarisi uang senilai hampir satu miliar rupiah. Uang itu tersimpan di beberapa bank dalam bentuk tabungan dan deposito. Ketika mendengarnya, isterinya kaget bukan main, sambil menutup mata, ia seakan tak percaya apa yang dibicarakan suaminya. Anak lelakinya yang paling tua, tersedak ketika meneguk minuman. Sementara itu, dua anak perempuannya hanya bengong tak dapat berkata apa-apa. Pertanyaan keluarga itu semuanya sama, dari mana Pak Ahmad mempunyai uang sebanyak itu? Ya, darimana uang itu uang itu sesungguhnya berasal.
Inilah kisahnya. Di Jakarta, sebelum pensiun tentunya, Pak Ahmad sehari-hari melayani Pak Budi majikannya. Pak Budi adalah seorang pialang saham. Di kalangan pialang saham, Pak Budi termasuk pialang yang cukup dikenal. Yang namanya pialang saham, Pak Budi biasa melakukan transaksi dimana saja, di ruang kerjanya, tempat pertemuan, rumah makan, atau bahkan di perjalanan ketika sedang berkendara. Kebiasaan Pak Budi inilah, lama-lama dipahami Ahmad. Awalnya Ahmad buta sama sekali dengan dunia saham. Ketidaktahuan dan rasa penasaran Ahmad membawanya mencoba mengetahui dunia yang baru tersebut. Kadang Ahmad membaca dari surat kabar, buku, atau pun brosur. Tapi lebih banyak ia belajar dan banyak bertanya kepada para karyawan kantor tempatnya bekerja. Sebagian besar gaji Pak Ahmad selalu diberikan isterinya di kampungnya. Walau begitu, Pak Ahmad masih bisa menyisihkan beberapa untuk ditabung. Dari uang tabungannyalah, Pak Ahmad coba-coba untuk membeli saham. Pembelian saham di lantai bursa minimal satu lot, ditambah pajak sekitar 0,3 hingga 0,4 persen. 1 lot setara dengan 500 lembar saham. Karena tak ada uang sebesar itu untuk membeli minimal saham, Pak Ahmad bergabung dengan beberapa rekannya. Keuntungan sedikit demi sedikit akhirnya dapat diraih Pak Ahmad. Hingga akhirnya ia dapat membeli minimal satu slot dari uang hasil tabungannya. Kebiasaan tuannya yang sering melakukan transaksi di dalam kendaraan membuat Ahmad akhirnya paham. Kalimat, ”saya beli sekian lot saham....” atau ”saya jual sekian lot saham.....” sangat akrab di telinga Ahmad. Jangan salahkan Ahmad kalau ia dapat curi dengar seluruh percakapan majikannya di dalam mobil. Maka ketika Pak Budi, misalnya, menjual sahamnya sekian lot, itu pulalah yang dilakukan Ahmad, walau tentu dengan skala yang lebih kecil.
Tentu tak bisa terus-terusan Ahmad berada disamping majikannya. Ia hanya dapat melakukannya hanya ketika majikannya berada di dalam mobil melakukan transaksi atau ketika berada di dekatnya. Karena tak selamanya berada disisi majikannya, Ahmad tak mau semata hanya tergantung aksi jual-beli dari majikannya. Ia pun mencoba belajar. Hingga ia pun paham kapan saatnya menjual dan kapan saatnya membeli saham. Layaknya sebuah bisnis, tak selamanya Ahmad bernasib baik, kadang ia juga mengalami kerugian. Tapi waktu jualah yang akhirnya memberikan pengalaman berharga untuk Ahmad. Dari saham yang dimilikinya hanya berjumlah puluhan, meningkat hingga menjadi ratusan.
Pertanyannya kemudian, apakah yang dilakukan Ahmad diperbolehkan? Etiskah tindakan Ahmad? Bila bicara etika, maka kita bicara ’patut’ atau ’tidak patut’, ’pantas’ atau ’tidak pantas’. Etika merupakan persoalan yang rumit. Sebagai satu patokan moralitas yang menentukan persoalan patut atau tidak patut, pantas atau tidak pantas, ia tidak mempunyai wajah yang seragam. Tidak universal. Tergantung dimana ia berada berdiri. Ada sebagian orang yang mengibaratkan bermain saham layaknya sebuah judi. Lebih banyak faktor untung-untungannya. Kadang kalau hokinya sedang bagus, maka keuntungan besar dapat diraih. Tapi kalau nasib pas jeblok, rumah pun bisa digadaikan. Tapi ada pula yang mengatakan bahwa bermain saham lebih pada menggunakan perhitungan yang matang dan juga analisa, tak hanya berdasarkan faktor keberuntungan semata. Tapi walau telah dianalisa secermat sekalipun, toh tetap saja ada pemain saham yang bernasib sial. Nasib Ahmad boleh dikatakan lebih banyak ditentukan karena faktor keberuntungan. Kalau bosnya pas lagi apes, dipastikan Ahmad ikutan apes juga, walau tentu kerugiannya tak sebesar kerugian yang diderita bosnya. Untungnya, bosnya lebih banyak meraih keuntungan dari aksi jual-beli sahamnya.
Sekarang, lupakan soal patut atau tidak patut. Pantas atau tidak pantas. Hikmah apa yang diambil dari kisah di atas? Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari kisah Ahmad, pandai-pandailah menempatkan diri di dalam suatu kondisi dan situasi. Ambilah hal yang positif, buang yang negatif. Manfaatkan segenap peluang yang berada di depan mata. Jangan takut untuk mengambil risiko. Bila Anda berada pada situasi dimana seharusnya Anda dapat memetik keuntungan, tapi Anda tidak melakukannya, maka Anda sesungguhnya mengalami kerugian yang besar. Karena kreativitas dan jeli dalam mengambil peluang, membuatnya kehidupan Ahmad berubah total. Saat ini Ahmad memang telah kembali ke kampung halamannya. Tapi tentu saja, kali ini Ahmad tak hanya membawa sehelai surat izin mengemudi dan beberapa potong pakaiannya seperti ketika ia pertama kali datang ke Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri Komentar sehat dan membangun