Oleh: Rhenald Kasali *
SEBUAH proses penting baru saja dilewati bangsa ini. Proses yang melewati masa-masa meletihkan, ditengarai sejuta kecurigaan, dan berakhir dengan keputusan pahit bagi yang sedang berkuasa.
Namun, apa pun yang terjadi, bangsa ini harus mulai menatap ke depan. Menghadapi lawan-lawan tangguh yang terkonsolidasi kuat, sementara di antara kita masih suka berhadap-hadapan. Semoga saja kemelut politik di negeri ini segera berakhir. Menghapus semua amarah dan dendam. Saya ingin mengajak Anda merenungi kisah dua negara, yang satu berhasil keluar dari kemelut dan satunya lagi terbelenggu dalam siklus dendam tiada akhir.
Zimbabwe dan Afrika Selatan
Bapak psikologi positif Seligman pernah membandingkan keduanegaraini. Afrika Selatan adalah negeri apartheid yang kental dengan tetesan darah berceceran. Mereka memenjarakan tokoh kulit hitam Nelson Mandela hampir dalam seluruh usia mudanya. Suasana berubah setelah dunia mulai menaruh perhatian pada masalah human right.Komunisme di era 1980-an bukanlah lagi musuh bagi kapitalisme.
Penindasan terhadap hak asasi manusia, itulah musuh bersama dunia.Pemerintah apartheid terus ditekan dunia dan mereka tak kuasa membendung perlawanan rakyat Afrika Selatan. Mandela pun harus dilepaskan dan apartheidberakhir. Pemerintah kulit putih yang menjalankan prinsip apartheid tentu cemas melepas Mandela.
Dunia usaha sangat khawatir,salah satunya adalah Shell, perusahaan asal Belanda yang sudah mengakar kuat di ujung selatan Afrika yang beriklim sejuk itu. Menjelang pelepasan Mandela, Shell tergopohgopoh melepas seluruh kepemilikannya pada jaringan pompa bensin di Afrika Selatan yang kelak dibeli Petronas.
Apa yang dikhawatirkan Shell dan ratusan investor riil asing lainnya di Afrika Selatan? Benar! Mereka khawatir Mandela dan rakyat kulit hitam yang meraih kemerdekaan akan membalas dendam. Begitulah jalan berpikir umum. Mandela bukan hanya membalas, melainkan juga merampas kembali hak-haknya.
Menasionalisasi perusahaan-perusaha an asing. Namun, apa yang dilakukan Mandela? Mandela ternyata memilih jalur damai. Persis seperti Megawati yang memaafkan keluarga Soeharto.Ia tidak menuruti kehendak para pengikutnya dengan membalas dendam, melainkan meneruskan apa adanya. Ia mengajak bangsanya keluar dari perilaku buruk balas-membalas. Ia memaafkan lawan-lawan politik seikhlas-ikhlasnya.
Sekarang mari kita lihat apa yang terjadi di Zimbabwe.Berbeda dengan Mandela yang mengambil jalan damai,Robert Mugabe mengambil jalan memaafkan "abuabu". Maaf oke,tapi proses hukum jalan terus. Ia mewariskan dendam, menangkap lawan-lawan politiknya, dan melakukan nasionalisasi tanpa henti. Lantas apa yang bisa kita lihat dari ekonomi kedua negara itu? Afrika Selatan telah tumbuh menjadi negeri yang stabil dan sejahtera.
Negeri ini sebentar lagi akan menjadi tuan rumah perebutan Piala Dunia sepak bola 2010.Polisi Afrika Selatan bahkan belum lama ini memberikan jaminan negerinya aman bagi semua tim sepak bola asing yang akan berlaga di sana. Saat mengunjungi Afrika Selatan beberapa waktu lalu, saya tidak menyaksikan dendam.
Semua adalah suka cita dan rakyat sibuk mengejar masa depan. Lantas, bagaimana dengan Zimbabwe? Silakan buka mesin pencari data dari komputer atau handphone Anda. Anda akan menemukan fakta-fakta yang sebaliknya.Rusuh, kumuh,konflik, rasa tidak puas,dan seterusnya.
Dendam Politik Ekonomi
Suka atau tidak suka, diakui atau tidak,krisis demi krisis politik yang dialami bangsa ini di era Reformasi erat dengan warna dendam antarpara penguasa atau antarbendera yang diwarnai berbagai kepentingan. Budaya malu yang kental di Asia ditambah unsur perasaan yang begitu dominan telah membuat kepemimpinan diwarnai dendam dan amarah.
Selain mudah tersinggung, konon, orang-orang Asia tidak mudah melupakan suatu kejadian yang mempermalukan dirinya.Gesekan- gesekan kecil dapat bermuara menjadi besar. Ditambah dengan tradisi kepatuhan dan ketaatan melakukan tugas demi kemenangan atasan menambah hubungan antarorang dan antarlembaga politik menjadi kompleks.
Saya jadi teringat dengan studi yang dilakukan Stanley Milgram pada 1960-an. Milgran ingin mengetahui apa yang menyebabkan prajurit dan elite Jerman yang cerdas itu begitu patuh terhadap Hitler semasa Perang Dunia II? Milgran melakukan eksperimen dengan menggunakan seseorang yang dilatih bersandiwara. Ia bertindak sebagai orang yang diinterogasi dan bila ia tidak menjawab apa yang diajukan seorang yang dibayar lainnya, ia akan disetrum.
Orang itu dilatih menjadi seorang aktor yang pandai bersandiwara. Padahal, kabel listrik tidak dipasang. Milgram merekrut sejumlah orang yang ditugaskan menjadi interogator. Ia harus menekan seseorang yang dicurigai.Bila ia tidak memberi jawaban,ia akan menaikkan voltage-nya dan orang itu akan mengerang kesakitan (berpura-pura tanpa diketahui interogator) . Milgran hanya ingin tahu seberapa besar "orang bayaran" menjalankan misi yang dibebankan kepadanya.
Dalam bukunya yang berjudul Obedience to Authority, Milgram menyimpulkan, seseorang yang diberi tugas bisa fokus pada perintah dan kehilangan hati nuraninya. Saya tidak tahu seperti apa teman-teman di dunia politik menjalankan misinya. Untuk siapa dan misiapayangdibawa tiaporang? Namun, saya ingin mengatakan, kita bisa saja fokus pada cita-cita dan nasionalisme menggebu-gebu dalam diri kita, tetapi sangat berbahaya bila kita tidak menyadari di balik itu semua ada balas-membalas yang dapat berkelanjutan tiada ujung.
Apa pun yang telah diambil, negeri ini harus mulai berbenah. Stop balas-membalas sampai di sini dan bersatulah! Kita sudah letih menyaksikan pertunjukan yang melemahkan bangsa ini. Mulailah memimpin dengan integritas dan jangan melakukan kecurangan untuk mengantar negeri ini ke hari esok.(*)
*) Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri Komentar sehat dan membangun