Oleh: Sonny Wibisono *
"Anda harus membayangkan diri Anda dulu sebagai orang sukses, agar dapat meraih kesuksesan."
-- Rosa Diaz, eksekutif bisnis
MIMPI. Karena alasan itu pulalah seorang perempuan muda asal Medan terbang ke Jakarta. Tujuannya hanya satu: mengikuti seleksi sebuah pemilihan bintang dangdut di televisi. Di Medan, kota tempat tinggalnya berasal, dia sudah tak kebagian waktu. Saat seleksi digelar disana, mendadak suaranya hilang. Terkena flu katanya. Entah karena grogi, entah karena memang kondisi tubuhnya kurang fit. Dengan diantar mama tercinta, ia berangkat terbang dan langsung datang ke studio di kawasan Taman Mini. Hasilnya? Maaf, suaranya sama sekali tak membius para juri di sana untuk memilihnya.
Perempuan dari Medan itu tidaklah sendirian. Di luar gedung studio, ratusan orang yang sama-sama muda seperti tak habis lelah untuk menunggu giliran masuk ke studio dan bertarung di depan juri. Mereka datang tak hanya dari Ibu Kota, tapi juga dari kawasan lain di sekitar Jakarta, termasuk Cianjur, Bandung, bahkan dari Lombok. Hujan tak membuat mereka memutuskan pulang. Mereka tetap bertahan di sana sampai dapat unjuk kebolehan di depan juri. Yang dapat membuat mereka pulang adalah keputusan juri yang tak berkenan dengan suara dan penampilan mereka.
Kisah-kisah ini tentu akan berderet lagi. Maklum, di zaman persaingan program televisi yang makin ramai dan kadang tak masuk akal, para pembuat program berlomba-lomba menawarkan sebuah mimpi bagi siapa saja untuk menjadi seleb terkenal di tabung kaca. Siapapun tahu, ketenaran dalam waktu sekejap dapat segera melambungkan nama mereka. Nah, siapa yang tak kepingin?
Orang bilang ini jalan pintas menuju sukses. Orang pun gampang mencibir dengan fenomena ini. Mendadak menjadi seleb tak hanya milik kaum dewasa saja. Sebuah kontes pentas menyanyi untuk anak-anak di televisi menuai hujan kritik. Mereka diminta menyanyikan lagu-lagu orang dewasa, yang boleh jadi arti dari lirik lagunya sendiripun mereka tidak tahu. Bahkan, para anak tersebut, dengan terpaksa tak mengikuti pelajaran di sekolah karena ikut dalam kontes ini. Kritik yang tidak keliru. Namun dalam hal ini, perlu digarisbawahi sesuatu hal. Bahwa untuk mencapai tujuan, seinstan apa pun, ternyata upaya mereka untuk mencapai itu tidaklah instan.
Ada kisah menarik dari teman saya. Salah seorang tetangganya, seorang remaja yang mengadu peruntungan di sebuah film berusaha 'di luar kebiasaan'. Film yang mengambil kisah di Mesir itu mewajibkan mereka yang ikut audisi untuk dapat membaca kitab suci. Sang remaja yang masih tergolong ABG itupun melakukan kursus mengaji secara kilat. Orang tuanya tentu saja senang bukan main melihat anaknya tiba-tiba rajin beribadah.
Nah, sesudah lolos, toh mereka pun tak lantas ongkang-ongkang kaki. Mereka dilatih spartan untuk berakting, menghapal dialog, bahkan juga harus menguruskan badan bila terlihat karakter yang mereka mainkan meminta itu. Jadi dalam mengejar impian, yang kata orang: instan alias cepat, bak membuat susu, ternyata tidaklah pula membutuhkan usaha instan.
Usaha mereka untuk mencapai itu tetap merupakan upaya yang dinilai tidak sia-sia. Mereka, setidaknya, jauh lebih baik ketimbang mereka yang ketiban rezeki nomplok, semisal gara-gara mengantar teman casting, malah dia yang mendapatkan peran tersebut. Maaf, mereka itu yang biasanya sudah dari sononya punya tampang cakep atau cantik. Itu anugerah namanya.
Yang ideal tentu saja, mereka yang merintis karir dari bawah. Inul Daratista, misalnya. Semula Inul hanyalah penari yang berasal dari pelosok. Nasib jualah yang membawa Inul menjadi sukses. Kesuksesan Inul sendiri ditolong oleh bakat menyanyi dan menarinya yang memang sudah ada dari sononya. Rumah mewah di Pondok Indah dan bisnis karaoke merupakan hasil jerih payahnya selama ini. Memang begitulah seharusnya suatu kesuksesan, bagaimana dapat menjaga dan memanage kesuksesan tersebut dengan baik, berkelanjutan, dan tentu saja, berdaya guna bagi yang lain.
Nah, kembali ke soal bintang instan. Mereka boleh-boleh saja bermimpi sukses dalam sekejap. Tak ada larangan. Asalkan tentu saja mereka juga harus siap lahir batin menanggung risiko yang menyertainya. Namanya juga kontes, ya siap-siap saja bila sinar itu pun redup dalam sekejap. Anda mungkin masih ingat Jupriadi? Jupriadi merupakan pemenang kedua Kontes Dangdut Mania yang ditayangkan TPI. Pria 39 tahun tersebut pada awalnya kebanjiran panggilan untuk manggung disana-sini. Tapi sayangnya, hal itu hanya berlaku sebulan saja. Setelah itu, Jupriadi pun menganggur.
Jadi apapun namanya sebuah kesuksesan, apakah didapat dalam sekejap ataupun dengan perjuangan yang lama, tetap saja ia membutuhkan pengorbanan. Intinya, untuk mencapai suatu kesuksesan tetap dibutuhkan kerja keras. Jalan pintas, no way!
*) Sonny Wibisono, penulis buku 'Message of Monday', PT Elex Media
Komputindo, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri Komentar sehat dan membangun