Senin, 11 Oktober 2010

Rahasia Anti Frustasi: "Semeleh"

Oleh: Agung Praptapa *

Pernahkah Anda memiliki suatu keinginan tetapi tidak kunjung tercapai? Apa yang Anda rasakan? Marah pada diri sendiri? Menyalahkan keadaan? Patah semangat? Frustasi? Demikian pula pada saat kita dihadapkan pada suatu keadaan sulit seperti ditekan, diberi target berat, ataupun mendapat limpahan amarah dari orang lain. Apa gejolak yang ada pada hati kita? Marah? Depresi? Dalam dunia kerja yang sangat kompetitif seperti sekarang ini setiap hari kita dihadapkan pada situasi yang menyesakkan nafas. Tidak mengenakkan, bahkan menyakitkan. Tapi itu tidak untuk semua orang. Beberapa orang pandai menyiasatinya. Siasat seperti apa yang harus kita terapkan agar tidak terlarut dalam kesulitan, kemarahan, dan frustasi? Bagaimana kita harus menempatkan diri kita dan menata emosi kita agar sukses dan nyaman dalam menjalankan kehidupan?

Kearifan lokal jawa mengajarkan kita agar dalam menjalankan kehidupan ini kita harus "semeleh". Semeleh berasal dari akar kata "seleh" yang berarti letak. Dengan demikian "semeleh" bisa kita terjemahkan secara umum sebagai suatu keadaan dimana kita meletakkan segala sesuatu apa adanya, pada tempatnya. Terimalah segala sesuatu seperti apa adanya. Kurang lebih demikian pesan yang terkandung dalam kata "semeleh". Apakah ini berarti kita harus mengalah saja pada keadaan saat kita mendapatkan kesulitan? Apakah ini relevan dalam dunia kerja yang saat ini semakin kompetitif? Bukannya kalau kita diam tidak bergerak akan menjadikan kita tergilas dalam arus bola salju kompetisi yang semakin hari semakin dahsyat? Nah, pertanyaan seperti itulah yang akan saya jawab disini. Saya akan mencoba meluruskan kesalah-pahaman tentang pengertian semeleh agar kita tidak mengaplikasikan semeleh secara keliru. Saya pastikan bahwa semeleh justru mengandung kekuatan dan kearifan yang luar biasa agar kita bisa menjadi pemenang dalam era kompetisi seperti sekarang ini.

Beberapa mahasiswa saya pada pertemuan pertama menampakkan wajah tegangnya melihat kontrak pembelajaran yang saya tawarkan. Mulai dari literatur yang wajib mereka baca, sistem penilaian yang akan saya aplikasikan, dan juga rule of the game dalam proses belajar mengajar dalam mata kuliah tersebut. Saya memang memasang standar kualitas yang cukup tinggi pada mata kuliah yang saya ampu. Bukan saya sok hebat atau mempersulit mahasiswa, tetapi saya ingin siapa saja yang pernah saya ajar kelak menjadi orang hebat dan sukses. Melihat ketegangan beberapa mahasiswa, saya coba cairkan dengan beberapa statement motivasi. Disini saya bisa melihat bahwa beberapa mahasiswa yang tegang tersebut takut pada bayangan sendiri. Setelah saya motivasi baru mereka kelihatan tenang dan tatapan matanya sudah mulai berseri menandakan tumbuhnya perasaan optimistik dalam dirinya. Mengapa sebagian mahasiswa tegang dan sebagian lainnya tidak demikian? Hal tersebut karena sebagian mahasiswa yang tegang tadi menempatkan sesuatu tidak pada porsinya. Mereka ngeri oleh bayangan sendiri. Apa isi motivasi yang saya sampaikan? Saya menyampaikan agar dalam hidup ini kita hendaknya "semeleh".

Semeleh bukan berarti kita harus menerima segala sesuatu apa adanya kemudian kita paksakan diri kita untuk menerima situasi tersebut tanpa melakukan perjuangan apapun. Menerima sesuatu apa adanya sebenarnya merupakan penataan diri agar kita tahu posisi kita yang sebenarnya. Semeleh justru mengandung unsur "keberanian" yang luar biasa, yaitu melihat dan mengakui segala sesuatu seperti apa adanya. Saya tidak secerdas teman saya, misalnya. Ya sudah, terima saja, akui saja kalau memang keadaannya demikian. Namun jangan salah, bahwa walaupun teman kita lebih cerdas bukan berarti mereka akan lebih berhasil dari pada kita. Sukses atau tidak sangat bergantung pada bagaimana kita memanage diri kita sendiri dengan segala resources yang kita miliki. Orang cerdas yang tidak bisa memanage dirinya sendiri tidak akan jadi apa-apa. Ibarat kita memiliki pisau tetapi tidak tahu bagaimana cara menggunakannya, maka pisau tersebut hanya sebilah besi yang menggeletak. Akan sama seperti sepotong kayu yang tidak kita gunakan. Dalam kasus "merasa" orang lain lebih cerdas ini, yang penting adalah bagaimana kita mendayagunakan kecerdasan yang kita miliki untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Toh ini juga kita baru "merasa" orang lain lebih cerdas. Jadi yang harus kita akui juga "saya merasa mereka lebih cerdas", karena belum kita ukur tingkat kecerdasan dengan cara pengukuran yang akurat oleh psikolog misalnya. Dengan semeleh hidup kita menjadi lebih ringan karena kita tidak dibebani oleh ketakutan. Terima saja apa adanya, kemudian berbuat yang terbaik dari apa yang kita punya.

Semeleh juga berarti kita harus lentur dan fleksibel menghadapi keadaan. Dunia ini tidak kotak. Segala kejadian tidak linier. Kehidupan ini tidak seperti rumus matematika yang serba pasti. Beban hidup yang ringan bisa saja dirasakan berat oleh sebagian orang. Sebaliknya, beban yang berat bisa dirasakan ringan oleh sebagian orang lain. Apa artinya? Artinya berat atau ringan itu bergantung pada cara pandang kita pada suatu masalah. Namun, menganggap ringan suatu masalah yang berat tidaklah baik. Sebaliknya, menganggap berat suatu masalah yang ringan juga membebani hidup kita. Oleh karenanya diperlukan skill untuk menempatkan sesuatu pada porsinya, yaitu melalui semeleh. Mengapa harus lentur dan fleksibel? Sekali lagi karena tidak ada rumusan tunggal untuk mengatasi berbagai masalah. Unsur timing bicara. Ada momentum. Jadi, lentur saja menghadapi hidup ini. Fleksibel saja.

Dari uraian yang saya sajikan tadi, nampaknya sangat disayangkan kalau kita sampai merasa frustasi menghadapi sesuatu. Semeleh saja. Kebanyakan perasaan frustasi adalah ciptaan sendiri. Kitalah yang sering menobatkan diri sebagai orang yang frustasi, yang tidak kuat menghadapi tekanan. Padahal keadaan yang sebenarnya belum tentu demikian adanya. Kalaupun kita sudah berhasil melihat sesuatu dengan obyektif seperti apa adanya, hal tersebut juga tidak bisa dipastikan akibat berikutnya. Jadi tidak ada sesuatu yang pasti? Iya. Tentu. Hanya Tuhanlah yang bisa memberikan jaminan 100%. Oleh karena itu, dalam menghadapi hidup ini kita harus semeleh. Yang penting kita selalu "Do the best. Lets God does the rest". Semeleh saja.

*) Agung Praptapa, adalah seorang dosen, pengelola Program Pascasarjana Manajemen di Universitas Jenderal Soedirman, dan juga sebagai konsultan dan trainer profesional di bidang personal and organizational development.

1 komentar:

silahkan beri Komentar sehat dan membangun