Oleh: Agung Praptapa *
Dalam teori ekonomi manusia dimasukkan sebagai faktor produksi, sama halnya bahan baku, mesin, dan uang. Akibatnya banyak teori turunannya yang menempatkan manusia sebagai alat produksi juga. Ilustrasi logikanya begini: "Kamu bekerja di sini digaji Rp. 5 juta maka kamu harus menghasilkan untuk perusahaan Rp. 8 juta sehingga perusahaan untung Rp. 3 juta. Kalau kamu menghasilkan dibawah Rp. 5 juta berarti perusahaan rugi, dan kamu harus digantikan orang lain yang akan mampu menghasilkan melebihi yang aku keluarkan untuk menggaji orang tersebut." Logika tersebut diberlakukan kepada semua orang sehingga total keuntungan tinggal dihitung saja. Setiap orang berkontribusi terhadap keuntungan sehingga semakin banyak orang akan semakin banyak keuntungan didapat. Seperti halnya mesin, kalau satu mesin dapat menghasilkan 100 unit produk maka lima mesin akan menghasilkan 500 unit produk. Rasakan bagaimana kalau kita bekerja pada suatu perusahaan yang menggunakan logika tersebut? Akan nyamankah kita? Maukah Anda diberlakukan seperti itu?
Anda pasti merasa ngeri dengan perlakuan manusia sebagai faktor produksi seperti itu. Manusia dianggap seperti halnya mesin saja. Ini tentunya tidak manusiawi. Untuk itulah maka banyak pendekatan manajemen yang kemudian memberikan perlakuan tersendiri terhadap faktor produksi yang satu ini. Manusia di tempatkan sebagai manusia. Namun tetap saja manusia dituntut memberikan keuntungan ekonomis terhadap perusahaan. Manusia dirangsang dengan berbagai cara agar bekerja lebih giat. Munculah kemudian konsep reward and punishment, bahkan ada yang menggunakan istilah carrot and stick. Agar termotivasi bekerja lebih baik, manusia dirangsang dengan wortel (sebagai simbol dari reward) dan ditakut-takuti dengan tongkat pemukul (sebagai simbol dari punishment). Kalau begini, komplit sudah penderitaan manusia, yang tidak dimanusiakan dalam dunia kerja!
Konsep yang tumbuh dan dikembangkan sejak jaman revolusi industri tersebut terus digunakan sampai sekarang. Konsep itu dianggap paling pas untuk mengendalikan orang. Namun manusia adalah manusia. Tetap saja ada rasa. Ada jiwa. Rasa dan jiwa tersebut perlu disirami, dibelai, dan diberi kasih sayang agar tidak mati. Manusia harus dimanusiakan. Konsep pendekatan memanusiakan manusia inilah yang dalam kearifan lokal jawa disebut dengan istilah "nguwongke".
Nguwongke berasal dari kata "uwong", kata dalam bahasa jawa yang berarti orang atau manusia. Sehingga nguwongke dapat diterjemahkan sebagai memanusiakan, atau menempatkan manusia sebagai manusia. Seorang manusia berbeda antara satu dengan lainnya. Tidak ada yang sama persis. Oleh karenanya dalam menangani manusia terdapat aspek yang sifatnya "customized" , yang berbeda antara menangani satu orang dengan orang lain. Namun sekali lagi manusia adalah manusia. Disamping memiliki kekhasan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain, terdapat pula kesamaan antara seorang manusia dengan manusia lain.
Setiap manusia ingin hidup nyaman, ingin dicintai, ingin dihargai, ingin dimengerti. Mari kita kaitkan dengan masalah pengendalian. Dalam konsep pengendalian, apabila kita berhasil memberikan apa yang diperlukan oleh orang-orang disekitar kita, maka orang-orang disekitar kita akan lebih mudah dan lebih merasa nyaman saat harus kita kendalikan. Dengan kata lain, karena manusia ingin hidup nyaman maka apabila kita berhasil memberikan kenyamanan, kita akan lebih mudah mengendalikan orang tersebut. Jadi, karena mereka ingin cinta, maka berikanlah cinta. Mereka ingin dihargai, maka berikan penghargaan. Mereka ingin dimengerti, maka berikan pengertian. Itu kiatnya. Berikan apa yang mereka inginkan, karena sebagian besar yang mereka inginkan sebetulnya kita mampu untuk memberikannya.
Tapi kan sebenarnya yang dibutuhkan oleh orang-orang di sekitar kita adalah uang? Iya, benar. Mereka butuh uang. Untuk hal ini mari kita renungkan sejenak. Mereka memang butuh uang. Tetapi mereka butuh juga yang lainnya bukan? Kalau kita mampu memberikan `uang' seperti yang mereka inginkan, itu bagus. Tetapi itu juga tidak secara otomatis akan membuat mereka kemudian mudah dan nyaman kita kendalikan. Ada tipe-tipe orang yang prinsip bekerjanya adalah transaksional. Ada uang saya bekerja, kalau tidak ada uang ya maaf saja. Ada pula orang yang dalam bekerja lebih mementingkan kehangatan, dimana mereka memerlukan uang tetapi keharmonisan hubungan lebih mereka utamakan. Disinilah mulai nampak bahwa setiap orang memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Prioritas seseorang dengan orang lain berbeda-beda.
Nah, kalau kita berhadapan dengan kekhasan orang, maka kita perlu memiliki soft skill untuk memahami orang per orang. Dari kebutuhan umum orang-orang disekitar kita yang dapat kita generalisasikan, ternyata ada prioritas yang berbeda antara satu dengan lainnya. Secara umum orang ingin kaya, ingin memiliki kekuasaan, ingin terkenal, ingin dihormati, ingin didengar, ingin dikagumi, dan ingin-ingin yang lainnya. Coba kita amati, dari daftar keinginan tersebut ternyata prioritas satu orang dengan orang lainnya tidak selalu sama. Kalaupun sama, terkadang juga sama secara umum saja, detailnya biasanya berbeda. Inilah yang menjadikan antara satu orang dengan orang lainnya memiliki kekhasan yang tersendiri.
Keragaman keinginan yang berbeda-beda ini memberikan kesempatan kepada kita untuk bisa menjadikan mereka di bawah kendali kita. Di bawah kendali di sini bukan berarti kemudian mereka bisa kita perbudak. Bukan begitu. Di bawah kendali kita berarti mereka dapat bersama-sama kita mendapatkan apa yang kita mau. Mereka menjadi ada kerelaan untuk bersama-sama kita mencapai tujuan bersama. Mengapa saya sebut sebagai kesempatan? Karena tidak semua orang mampu memahami perbedaan-perbedaan tersebut. Padahal, memahami perbedaan tersebut sebenarnya tidaklah sulit. Hanya diperlukan kerelaan kita untuk mau mengerti. Dan sekali seseorang merasa dipahami, dimengerti, dihargai, dan merasa dimanusiakan, maka ada kecenderungan mereka merasa kita ada di pihak mereka, sehingga mereka juga akan menempatkan diri di pihak kita pula. Terjadilah di sini perasaan bahwa kita adalah "kita", atau "we", bukan "You and I".
Kalau ingin dihargai, hargailah orang lain. Kalau ingin dimengerti, cobalah mengerti orang lain. Manusia adalah manusia. Perlakukan mereka sebagai manusia. Mari kita coba untuk selalu "nguwongke" orang-orang di sekitar kita sehingga mereka juga akan "nguwongke" kita. Setelah itu, lihat saja, mereka akan dengan rela bersama-sama kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. They will be under our influence. They will be under our control. We will be "us" not "You and I".
*) Agung Praptapa, adalah penulis buku "The art of controlling people" (Gramedia, 2009). Seorang dosen, konsultan, dan trainer untuk pengembangan diri maupun pengembangan organisasi. Alumni Proaktif Schoolen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan beri Komentar sehat dan membangun